IBL

Pasang surut kondisi tim sudah pernah dirasakan CLS. Dalam 70 tahun perjalanan, puluhan nama atlet nasional sudah mereka hasilkan. Membanggakan. Namun, juga sempat menjadi dilema. (Baca tulisan pertama)

---

SEJAK Kompetisi Bola Basket Utama (Kobatama) menggelar musim pertamanya pada 1982, CLS sudah menjadi salah satu klub peserta. Sampai liga tersebut diputar kali terakhir pada 2002, CLS tidak pernah absen walau semusim. ''Kami selalu ikut dan tidak pernah degradasi,'' ucap Ketua Umum POR CLS Ming Sudarsono.

Di Kobatama, CLS Putra tidak pernah juara. Capaian maksimal mereka adalah big four. Namun, torehan tersebut membanggakan. Sebab, ada catatan penting. Semua pemain CLS berstatus sukarela alias tanpa bayaran.

''CLS hanya sediakan mes dan makan untuk pemain. Tidak ada gaji. Zaman sekarang mana ada pemain mau digituin,'' ucap Ming, lantas tertawa. Pria 46 tahun tersebut pernah menjadi bagian tim Kobatama CLS pada era 80-an.

Padahal, di sisi lain, tim-tim lain Kobatama dalam era tersebut habis-habisan merogoh kocek. Mereka memburu pemain terbaik demi menjadi juara. Bidikan pun diarahkan kepada para pemain CLS yang menunjukkan bakat besar, namun tak mendapat bayaran atas bakatnya itu.

Di CLS, uang operasional tim didapat dari iuran arisan anggota yayasan. ''Tetap gotong royong seperti dulu (kali pertama berdiri),'' jelas Jongky Indiarto, Dewan Pembina Yayasan CLS. Jongky kini berusia 81 tahun. Dia salah seorang tetua CLS yang paling senior.

Namun, kebijakan tersebut memunculkan dilema bagi CLS. Banyak pemain terbaik yang dibina CLS sejak junior memilih hengkang ke klub lain. Mereka tidak tahan dengan rayuan tawaran gaji besar oleh tim lain. ''Itu wajar. Kami tidak bisa menghalangi mereka,'' ucap Ming.

Sebagai klub yang masih berbentuk yayasan dan dimiliki banyak orang, CLS disebut kalah modal dengan tim-tim tersebut. Kebanyakan tim berkantong tebal dimiliki perorangan atau perusahaan besar. Salah satu contohnya, Halim Kediri. Klub tersebut disokong dana perusahaan rokok besar asal kota tersebut.

Dengan segala pasang surut keadaan, CLS membuktikan mampu terus mewarnai pentas bola basket tanah air hingga saat ini. Dan, belakangan satu per satu tim yang dimiliki perseorangan maupun perusahaan pada era Kobatama malah menghilang tanpa kabar.

''Awetnya CLS ini karena jiwa kebersamaan yang dibangun sejak awal. Semua merasa memiliki. Hubungan pemain dan pengurus bukan hanya yang membayar dan dibayar. Semua bagian dari keluarga besar,'' tutur Ming.

Pada era awal Kobatama, beberapa pemain didikan CLS yang sekaligus pemain sukarela tetap mampu menembus persaingan skuad tim nasional. Jumlahnya puluhan, bergantian di beberapa era. Di antaranya, Filix Bendatu, Hardono Putro, Rudi Wijaya, dan Ming sendiri.

Nama-nama itu belum termasuk generasi 1990-an ke atas. Beberapa pemain didikan CLS bersinar, misalnya Rony Gunawan, Agung Sunarko, dan Hari Suharsono.

(bersambung) *Tulisan ini juga tampil di koran Jawa Pos.

Foto: IBL

Komentar