IBL

Pada 20 Agustus besok, genap 70 tahun klub basket Cahaya Lestari Surabaya (CLS) eksis di pentas bola basket tanah air. Kebesaran nama CLS hari ini merupakan buah sejarah panjang.

---

SUGANDI Wijaya saat ini sudah berusia 81 tahun. Namun, saat ditemui di kediamannya untuk menceritakan pengalaman lebih dari 35 tahun aktif di klub CLS, dia tidak kehilangan sedikit pun semangat. Sugandi adalah salah satu tetua CLS masa lalu yang masih hidup.

''Sebenarnya saya bukan generasi pertama. Yang generasi pertama ya sudah meninggal semua,'' ucapnya, lantas tersenyum.

CLS didirikan pada Februari 1946. Awalnya, perkumpulan olahraga itu hanya terdiri atas beberapa pemuda etnis Tionghoa Surabaya yang gemar berolahraga basket di sekolah.

Pada 1946, mereka memberanikan diri untuk membuat yayasan olahraga. Saat awal berdiri, CLS menggunakan nama Tionghoa, Cun Lie Se.

Arti nama tersebut adalah perkumpulan yang didasari kekuatan bersama. Nama itu dipilih karena sejak awal CLS memang dibangun dengan semangat gotong royong yang kuat dari para pencinta basket Kota Surabaya.

Meski didirikan perkumpulan masyarakat etnis Tionghoa, CLS tidak pernah membatasi diri dengan penggemar basket dari etnis-etnis lain yang ingin bergabung. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya beberapa pemain CLS pada masa itu yang juga beretnis Jawa.

Namun, pada era tersebut, basket memang hanya digemari sedikit kalangan. Kebetulan, mayoritas yang menggemari olahraga itu adalah etnis Tionghoa.

Pada 1949, CLS berhasil membangun sebuah lapangan basket outdoor untuk berlatih. Lapangan yang dimaksud bukan lapangan CLS saat ini yang berlokasi di kawasan Kertajaya, Surabaya. CLS kali pertama membangun lapangan outdoor di sebidang tanah di Jalan Indrapura. ''Sekarang lapangan itu sudah nggak ada. Kalau tidak salah, di atasnya sekarang berdiri sebuah bank,'' ucap Sugandi.

Saat Orde Baru berkuasa, perkumpulan masyarakat dilarang menggunakan nama berbahasa Tionghoa. Sugandi dan kawan-kawannya waktu itu akhirnya memutar otak untuk mencari nama dengan bahasa Indonesia, namun tidak menghilangkan inisial CLS. ''Akhirnya ya ketemu nama itu, Cahaya Lestari Surabaya,'' jelas pria yang menjadi pemain, pelatih, serta pengurus di CLS tersebut.

Seiring berjalannya waktu, CLS berpindah tempat latihan ke Kertajaya. Itu terjadi setelah pada 1990 yayasan tersebut mendapat kepercayaan dari Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Jawa Timur. Mereka mendapat hibah sebidang tanah empat ribu meter persegi untuk membangun gedung olahraga tertutup (GOR) untuk basket.

Gedung itulah yang saat ini dikenal dengan nama GOR Kertajaya. Gedung tersebut dibangun juga dengan semangat gotong royong seperti kali pertama CLS berdiri. Patungan dari para donatur dikumpulkan. Nama-nama donatur tersebut masih tercatat di pintu masuk GOR sampai saat ini.

Sampai saat ini, CLS tercatat telah mampu melahirkan pemain-pemain tingkat provinsi sampai nasional yang berkualitas. Beberapa pemain CLS era 1950-an dan 1960-an yang berhasil bergabung di tim nasional adalah Sin Han dan Gatot Sugiarto. Keduanya tercatat sebagai pemain tim nasional basket Indonesia pertama yang ikut melawat ke Singapura.

(bersambung) *Tulisan ini juga tampil di koran Jawa Pos.

Foto: IBL

 

Komentar