Alhamdulillah. "Eksperimen" yang dilakukan di Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat, bisa dibilang berjalan lancar. Kompetisi basket pelajar DBL di provinsi itu telah berjalan, berakhir pada 26 Februari lalu. Rasanya, inilah kompetisi formal olahraga pertama yang diselenggarakan di Indonesia sejak pandemi menerpa kita semua.
Ini bukan liga profesional. Ini bukan di kota besar. Tapi menurut saya ini sangat signifikan. Karena ini bisa jadi contoh bagaimana kita semua bisa move forward, bukan sekadar move on, dari pandemi. Sejarah itu dilaksanakan di Lombok.
Terus terang, perasaan tegang terus kami rasakan selama event tersebut berlangsung di Lombok. Ketika akhirnya berakhir, perasaan terbesar adalah lega. Dengan sedikit tegang tersisa, sambil menunggu kepastian bahwa kompetisi pembuka ini tidak menyisakan masalah.
Sekarang, itu semua sudah terlewati. Sekarang, kami bisa bercerita. Bagaimana kompetisi itu berjalan, bagaimana protokol kesehatannya dibuat dan diterapkan, serta bagaimana eksekusinya di lapangan.
Sebelum saya cerita, perlu ditegaskan lagi pentingnya "move forward" itu. Beda dengan "move on." Kalau sekadar "move on," bisa diartikan melupakan, mengabaikan, dan meninggalkan begitu saja. Ya sudahlah, kita move on saja!
Kalau "move forward," itu kita harus bergerak atau melangkah maju. Bukan sekadar sikap, melainkan tindakan. "Move on" bisa berarti cuek dan tidak berbuat apa-apa. "Move forward" harus berbuat sesuatu.
Sebagai orang yang terlibat di industri olahraga, di berbagai cabang, terus terang saya mulai bosan. Berkali-kali membaca atau mendengar wacana, ungkapan niatan, tapi tak kunjung ada action-nya.
Nanti kita akan begini. Nanti harus begini.
Hanya ucapan. Tidak ada tindakannya.
Repotnya lagi. Bagi yang benar-benar ingin bergerak maju, kadang sudah tidak tahan dengan kegaduhannya terlebih dahulu. Kita semua harus mengakui kalau negara kita ini negara gaduh. Apa-apa ribut dulu sebelum ada perbuatan apa-apa. Kita mengekang diri sendiri. Kita saling menahan satu sama lain. Alhasil, banyak dari kita mending diam saja daripada dianggap salah.
Lucunya (di mata saya), akhirnya banyak pihak mencoba mensiasati. Karena dilarang bikin balapan sepeda resmi, banyak pihak mengakalinya dengan bikin "latihan bersama." Walau pada akhirnya tetap balapan, tetap ada upacara podium dan pialanya. Tapi karena "latihan bersama," tidak masalah.
Ya Tuhan. Masak karena pandemi kita semua harus bohong pada diri sendiri?
Saya bersyukur punya tim yang tidak pantang menyerah, yang sangat mau repot, yang sangat siap menghadapi segala tantangan di era pandemi ini.
Selama berbulan-bulan mereka menyiapkan diri tanpa kegaduhan. Sejak tahun lalu kami sudah berdiskusi dengan semua yang terkait di era pandemi ini. Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Menpora Zainudin Amali, kepada Gugus Tugas, kepada masih banyak lagi pihak yang sama-sama ingin kita semua segera move forward dengan cara yang baik di tengah pandemi ini.
Bagaimana pun, kita tak bisa bersembunyi. Kita sedang berada di tengah pandemi yang ujungnya belum jelas kapan berakhir. Yang berakhirnya juga tidak akan spontan, melainkan melalui proses yang tidak singkat pula.
Berdiam saja tidak baik, bergerak maju harus jitu.
Saya dan teman-teman di DBL Indonesia hanya ingin bergerak maju. Kami tak ingin gaduh. Dan kami bersyukur, kami mendapatkan kesempatan itu di NTB. Di Lombok. Di Mataram. Betapa pasnya lokasi itu. Mengingat pada 2008, di Lombok-lah pergerakan DBL ke seluruh Indonesia dimulai (baca Happy Wednesday 124: Lombok Pertama).
Selama berbulan-bulan kami berkoordinasi, berkomunikasi, meminta masukan dan arahan bagaimana supaya DBL bisa terselenggara di NTB. Hasilnya adalah protokol kesehatan yang berlembar-lembar kalau di-print. Walau masih jauh dengan liga NFL di Amerika yang protokolnya 71 halaman!
Kami mengucapkan terima kasih khusus kepada Gubernur NTB Zulkieflimansyah dan Kapolda NTB Irjen Pol M. Iqbal. Saya bersyukur mereka semua merupakan tipe yang ingin move forward. Protokol khusus kami lahir bersama mereka.
Kapolda NTB Irjen Pol M. Iqbal memantau terus pelaksanaan DBL 2021 West Nusa Tenggara Series. Foto atas M. Iqbal saat hadir di pembukaan, dan foto bawah mantan Kadiv Humas Polri itu berkesempatan melakukan jump ball di pertandingan final tim putri.
Nah, percuma punya protokol berlembar-lembar kalau tidak bisa mengeksekusinya. Di sinilah komitmen dan ketangguhan kru DBL di Lombok diuji, yang dipegang langsung oleh wakil direktur Donny Rahardian. Didampingi senior lain di DBL seperti Roky Maghbal. Plus dokter pendamping kami, dr Pratama Wicaksana Wijaya, yang biasanya selalu mendampingi Persebaya Surabaya.Yang juga sangat repot adalah Alfian Yusni, direktur Lombok Post, beserta timnya. Merekalah partner penyelenggara DBL Indonesia di NTB.
Bagaimana pun, kesehatan dan keselamatan nomor satu. Bukan hanya peserta, tapi juga kru kami sendiri.
Karena ada elemen "eksperimen," jumlah peserta kami kurangi dulu. Tidak semua sekolah bisa ikut dulu. Supaya bisa selesai dalam sepekan.
Elemen utama protokol kami adalah testing. Bagaimana caranya supaya lapangan pertandingan, yang sakral itu, adalah green zone. Dua hari sebelum kompetisi, swab antigen peserta kami lakukan. Untuk screening dan sample awal. Lalu, semua yang di lapangan di-swab antigen lagi tiga jam sebelum bertanding. Bukan hanya pemain dan pelatih, tapi juga wasit, petugas pertandingan, bahkan personel dance team yang mendampingi di lapangan.
Kalau timnya lolos terus, maka personel tim itu akan di-swab setiap akan bertanding. Dua tim finalis putra, personelnya di-swab sampai empat kali.
Personel DBL Indonesia pun harus menjalaninya. Tim kami semuanya aman. Begitu balik Surabaya kami karantina dulu mereka sebelum boleh kembali ke keluarga masing-masing!
Total, selama di Lombok, DBL Indonesia melakukan swab antigen lebih dari 800 kali. Semua DBL Indonesia yang menanggung, bukan peserta.
Protokol ketat lain adalah disiplin pelaksanaan di lapangan. Detailnya terlalu banyak untuk ditulis di sini. Misalnya, bagaimana setiap jeda pertandingan GOR Turida Mataram selalu didisinfektan. Lapangannya, kursi-kursi pemain, meja pengawas, bahkan tribun-tribunnya. Padahal, tidak ada penontonnya! Hanya orang tua dan guru yang mendampingi yang boleh masuk, itu pun duduk tiga meter dari satu sama lain.
Ya, di era pandemi ini, realita terbesar adalah tidak ada penonton. Kalau pun kelak ada, pasti akan dibatasi dulu. Seperti di Amerika, yang dari 10 persen, ke 25 persen, dan maksimal 50 persen.
Kami pun memanfaatkan itu untuk mengoptimalkan piranti yang kami punya. Yaitu aplikasi DBL Play. Kami menggunakannya untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan semua stakeholder. Semua pertandingan ditayangkan livestreaming di channel DBL Play di YouTube. Ya, pertandingan tingkat SMA di NTB ditayangkan secara langsung. Toh ini era digital, bukan lagi era TV!
Dan ternyata, penontonnya luar biasa. Praktis semua laga mendapatkan view di YouTube lebih dari 10 ribu. Bahkan tim dari Dompu di Sumbawa pun saat bertanding view-nya mencapai angka itu! Babak finalnya istimewa, mendekati angka 30 ribu view dalam 24 jam.
Kalau dipikir, ini lebih hebat dari kalau dengan penonton tanpa livestreaming. Karena kapasitas GOR Turida Mataram hanya 1.500 orang!
Tim kami merangkum, total view semua pertandingan di Lombok itu mendekati angka 190 ribu. Dan itu akan terus bertambah. Wow! Ingat, ini laga SMA di Lombok! Stadion boleh kosong, tapi NTB bergaung ke mana-mana!
Kini, DBL di Lombok sudah berakhir. Lega rasanya. Terima kasih lagi kepada semua pihak. Terima kasih tambahan buat seluruh peserta yang mau ikut repot menjalani protokol kami. Bahkan mereka itu harus lebih repot, karena juga harus menjaga diri saat tidak bertanding.
Sekarang, waktunya move forward lagi. Contoh pertama sudah. Tinggal melangkah ke yang berikutnya. Selama pandemi berlangsung, tidak akan pernah ada yang ideal. Tapi kita tidak boleh bekerja sebatas diskusi dan wacana. Harus selalu melangkah ke depan. Walau tetap hati-hati, karena banyak pula pihak yang jago diskusi dan wacana, tapi tak punya kemampuan managerial dan eksekusi! (Azrul Ananda)
Galeri Foto Penerapan Protokol Kesehatan di DBL 2021 West Nusa Tenggara Series