Bolaharam: Akhir Era Ketua Umum

| Penulis : 

Kalau Anda semua penggemar olahraga di Indonesia, dan punya harapan atau keinginan olahraga kita benar-benar maju, ayo kita berdiam sejenak. Berdoa bersama sejenak. Semoga setelah 2020 ini, akan ada kesadaran baru dan perubahan fundamental di tanah air.

Bukan, yang harus berubah secara fundamental bukanlah atlet atau pelaku industri olahraganya. Yang harus berubah secara fundamental adalah sikap pucuk pimpinan federasinya, atau sikap pucuk pimpinan organisasi apa pun yang terlibat di dunia olahraga kita.

Sudah waktunya kita mengubur istilah "ketua umum." Kubur dalam-dalam. Sedalam-dalamnya sehingga tidak bisa lagi digali dan muncul lagi ke permukaan. Sudah waktunya semua organisasi olahraga di Indonesia dikelola oleh CEO. Ya, chief executive officer, seperti perusahaan-perusahaan dan organisasi profesional.

Tenang, ini bukan sesuatu yang kontroversial. Kalau ingin maju, ini bukan sesuatu yang kontroversial.

Kalau kita melihat negara-negara maju, yang notabene olahraganya juga maju, tidak ada organisasi olahraga yang dipimpin oleh "ketua umum." Yang ada justru CEO. Federasi olahraga apa pun di Amerika Serikat, pucuk pimpinannya adalah CEO. Inggris dan Australia sama. Tidak ada "ketua umum," yang entah bahasa Inggrisnya apa. Yang ada ya CEO.

Jabatan CEO ini jabatan profesional. Dia bisa ditunjuk oleh anggota federasi, atau ditunjuk lewat perwakilan anggota federasi. Tapi ini jabatan profesional. Bukan jabatan "pejabat."

Ketika dia ditunjuk sebagai CEO, maka dia harus bekerja dan berfungsi seperti CEO perusahaan. Memastikan organisasi sehat secara finansial, dengan cara-cara yang profesional. Memastikan segala tugas dan kewajiban organisasi terselenggara secara profesional.

Kalau CEO bekerja seperti CEO perusahaan, maka dia harus membuat segala keputusan berdasarkan "hidup-mati" organisasi. Dalam hal ini, bergantung pada kesehatan finansial dan sustanaibility organisasi itu. Mungkin ada elemen-elemen politis, tapi yang utama adalah berdasarkan penentuan "hidup-mati" organisasi dan anggota-anggotanya.

Seorang CEO tidak bertugas untuk membuat orang-orang bahagia. Seorang CEO harus berani membuat keputusan yang membuat banyak orang tidak senang, kalau itu demi pertimbangan "hidup-mati" organisasinya. Toh ini jabatan yang profesional. Kalau dia tidak mampu memenuhi tugasnya, atau memenuhi target yang ditetapkan, ya dia bisa diganti.

Bagi seorang CEO, bukan hal penting mengirim ucapan selamat ulang tahun, ucapan belasungkawa. Yang terpenting adalah menyampaikan keputusan-keputusan yang berdasarkan kebutuhan dan kebaikan masa depan organisasi dan anggota-anggotanya.

Seorang CEO tahu kapan harus membuat keputusan-keputusan drastis. Yang mungkin menyakitkan dan membuat orang tidak senang. Misalnya, memutuskan untuk menghentikan sebuah kompetisi di tengah jalan, kalau itu demi kebaikan jangka panjang organisasi dan seluruh anggotanya.

Seorang CEO akan bisa membedakan berbagai varian dari "rugi" dan apa itu "cut loss." Pengusaha pasti tahu, kadang lebih baik menghentikan kerugian sampai titik tertentu, asalkan bisa menata lagi untuk ke depan. Daripada terus menumpuk kerugian dan mengajak seluruh anggotanya untuk ikut rugi sama-sama berkelanjutan.

Seorang CEO akan tahu, bahwa kepastian jadwal, kepastian regulasi, dan berbagai kepastian adalah kunci untuk kemajuan. Dan CEO tahu itu bukan sekadar dalam tahap tataran. Melainkan sampai tahap praktis pelaksanaan.

Seorang CEO tidak akan khawatir dengan image pribadinya di depan publik. Karena ini jabatan profesional. Bukan jabatan untuk menuju jabatan yang lain.

Tentu saja, jauh lebih mudah bagi saya untuk menulis ini daripada penerapannya nanti. Apalagi untuk negara seperti di Indonesia. Di mana seorang ketua umum nasional seringkali harus dipilih oleh "ketua umum-ketua umum" lain di level provinsi dan/atau kota.

Kalau di level terendahnya saja sudah bukan jabatan profesional, bagaimana mereka bisa tahu bagaimana memilih CEO level nasional?

Dan jangan lupa, untuk memilih CEO level nasional itu syaratnya harus jelas. Kalau di negara maju, CEO federasi biasanya sudah punya pengalaman panjang MENGELOLA PERUSAHAAN. Khususnya perusahaan yang terkait dunia olahraga. Tidak harus olahraga yang sama, tapi olahraga.

Alangkah mengerikannya yang terjadi di Indonesia selama ini. Entah berapa puluh kali, atau berapa ratus kali, terpilih "ketua umum" yang sebenarnya tidak mengerti olahraganya. Lebih parah lagi, kadang juga tidak mengerti bagaimana mengelola perusahaan, karena background-nya dari dunia politik atau sekitarnya.

Tidak jarang, ketua umum-ketua umum itu mengaku terus terang kalau mereka tidak tahu dunia olahraga yang dia pimpin!

Entah berapa kali sudah kita mentolerir yang seperti ini. Kita sering mencoba menghibur diri. Misalnya dengan berharap bahwa walau ketua umum itu mungkin memang tidak mengerti, tapi dia mau belajar dan kemudian bisa berbuat baik untuk olahraga itu.

Kalau kita memilih CEO, ini pasti tidak terjadi. Karena seorang CEO harus tahu betul dunianya. Seseorang di jabatan tertinggi tidak boleh lagi "belajar." Dia sudah harus bisa mengaplikasikan visi dan langsung berbuat baik untuk organisasi, anggota, dan olahraganya.

Jabatan tertinggi kok belajar...

Mungkin, karena begitu mengakarnya sudah pola pengelolaan olahraga di Indonesia, banyak pembaca yang tidak paham dengan maksud saya di atas. Terus terang, mengenai ketua umum atau CEO ini sebenarnya juga tidak langsung tercetus dari kepala saya sendiri.

Dulu, saya pernah ditawari seorang pengusaha besar untuk mengelola sebuah federasi olahraga. Kebetulan saya pernah aktif di olahraga itu, dan waktu kecil pernah tergabung dalam klubnya selama beberapa tahun.

Ketika saya tanya kenapa dia meminta saya, dia menjawab kalau olahraganya butuh CEO, bukan ketua umum. Dia bilang, uang di olahraganya bukan masalah. Yang masalah adalah mencari orang yang bisa mengelola uang itu, menggunakannya secara strategis sehingga olahraganya jadi lebih besar lagi. Bahkan bisa mengelola uang itu untuk menambah lagi uang yang masuk ke olahraga itu. Bukan sekadar ketua umum yang bingung cari uang, atau bahkan minta-minta uang. Dan sekaya apa pun ketua umum itu, tidak mungkin dia "menyumbangkan" seluruh uangnya untuk olahraga itu.

Waktu itu, saya menolak tawaran tersebut. Bukan karena tidak mau atau merasa tidak mampu. Melainkan pada momen yang sama, saya baru saja setuju menyelamatkan liga basket tertinggi di Indonesia waktu itu. Saya ingin fokus pada hal itu.

Anyway, kalau Anda memahami maksud tulisan saya, mari kita semua berdoa. Semoga setelah 2020, ada kesadaran di mana lebih banyak orang memilih CEO, bukan ketua umum. Dari level terendah sampai nasional.

Percuma penggemar olahraga di Indonesia teriak-teriak supaya klub-klub jadi profesional. Percuma semua pihak berteriak supaya olahraga di Indonesia ini jadi industri benaran. Kalau itu semua terhalang oleh ketua umum-ketua umum yang tidak mengerti apa itu industri olahraga, apa itu jabatan profesional, dan yang terparah: Apa itu olahraga yang dia pimpin. (Azrul Ananda)

Foto: unsplash.com

*Tulisan ini juga tampil di happywednesday.id, 25 November 2020.

Populer

James Harden: Setidaknya Ada 2 Gelar Jika Thunder Tidak Menukar Saya
Kelemahan Kings Makin Jelas Saat Takluk dari Clippers
Scotty Pippen Jr. Bangkitkan Memori Sang Ayah di Chicago
Wemby Kembali, Spurs Menggilas Warriors
Nasihat Ice Cube untuk Bronny James
50 Poin LaMelo Ball Tidak Berarti Dihadapan Bucks
Trae Young Pilih Jordan Brand
Lakers Selama Ini Mencari Sosok Dalton Knecht
Tembakan Lebih Efisien, Nuggets Benamkan Lakers
Pelicans Tumbang! Warriors ke Perempat Final NBA Cup 2024