Akhirnya kita tiba di bagian terakhir dari pembahasan mengenai batas pengeluaran atau ruang gaji atau "salary cap" di Indonesian Basketball League (IBL). Seperti yang sudah kita bahas sebelumnya, salary cap -salah satunya- berguna untuk menjaga level kompetisi liga. Salary cap membuat tidak ada lagi tim yang memiliki kemampuan finansial berlebih di atas tim lainnya sehingga mereka bisa jadi semena-mena di liga.

Pada artikel kedua kita juga sudah membahas bagaimana kondisi liga. Khususnya apa yang pernah terjadi di tahun 2017 silam. Dengan mengusung semangat profesionalitas, liga kini berada di naungan Perseroan Terbatas. Hal ini membuat peran Dewan Komisaris (Dekom) menghilang secara perlahan dan pasti. 

(Baca juga: Bolaharam: "Salary Cap" demi Liga yang Lebih Baik)

Di bagian ketiga ini, pertanyaan terbesarnya adalah bagaimana cara menerapkan salary cap di IBL. Kami (tim Mainbasket) berdiskusi serius mengenai hal ini. Mengingat besarnya keraguan dari banyak pihak mengenai penerapan salary cap di Indonesia, kami justru menemukan hal sebaliknya. Mewujudkan dan menjalankan sistem salary cap di IBL sangatlah mungkin.

Langkah pertama yang harus dilakukan oleh penyelenggara liga dan tim-tim peserta adalah transparansi. Penyelenggara liga harus membuka ke para pemilik tim (atau syukur-syukur bahkan ke masyarakat) tentang kegiatan finansial keseluruhan mereka. Begitu juga tim-tim peserta.

Berapa ongkos operasional satu tahun musim kompetisi, berapa pemasukannya, berapa keuntungannya, dan atau juga berapa kerugiannya. Selaiknya liga-liga profesional di negara maju, semua pihak harus sama-sama tahu. 

Transparansi membangkitkan kesadaran penyelenggara, tim-tim peserta, dan para pemain tentang posisi mereka. Tentunya secara keuangan. Selain itu, transparansi memberi wawasan atau pengetahuan tentang kemampuan atau ketidakmampuan sebuah tim dalam menjalankan satu musim kompetisi penuh dengan standar tertentu. Baik ketika kompetisi sedang berjalan, atau saat jeda antarmusim (yang di kita biasanya lebih panjang daripada berjalannya kompetisi).

Jika transparansi sudah tercapai, kita akan tahu berapa biaya yang dibutuhkan untuk menjalankan satu musim kompetisi (bagi operator liga), dan berapa ongkos menjalankan sebuah tim di satu musim (bagi para tim).

Terkait kesejahteraan pemain, sejak awal, liga maupun tim, dan juga para pemain, sudah tahu berapa biaya minimal yang harus dikeluarkan untuk menggaji para pemain (yang nantinya jadi patokan dalam menggaji para pemain sesuai kapasitasnya dan menjadi acuan dalam proses tukar-menukar pemain). Standar gaji pemain baik secara total (keseluruhan) maupun gaji per pemain yang berbeda-beda sesuai kapasitas keunggulannya sudah ditentukan sejak awal sehingga ia menjadi biaya pasti (fixed cost). Ada jumlah yang disepakati sejak awal dan semua tim peserta harus menyanggupi angka tersebut.

Ketika angka-angka (uang) standar yang dibutuhkan untuk menjalankan sebuah tim sudah terlihat, maka kita akan bisa mengetahui, atau menanyakan kesanggupan setiap tim. Apakah mereka mampu memenuhi angka biaya standar per tahun yang disepakati tersebut atau tidak.

Akhirnya, tidak ada lagi omongan simpang-siur yang mengatakan bahwa misalnya Tim A menghabiskan 10 miliar per musim, sementara Tim B hanya mengeluarkan 1 miliar. Ketimpangan pengeluaran tak boleh terjadi. Sesuatu yang pastinya berlawanan dengan sistem salary cap

Jika kita melihat gambaran besar, satu liga IBL dengan seluruh pesertanya, memiliki nilai pengeluaran yang tidak kecil. Salah satu masalah utamanya ada di distribusi keuangan yang kemudian membuat label "tim besar" dan "tim kecil" tersemat pada tim-tim tertentu.

Langkah besar yang harus dilakukan oleh liga (IBL) adalah menegaskan berapa biaya yang harus disetorkan pemilik tim untuk menjalankan satu musim kompetisi. Setoran ke liga bukan semata "uang pendaftaran", tetapi memang uang operasional. Kumpulkan di penyelenggara liga untuk kemudian dikembalikan berkala (misalnya per bulan) sebagai ongkos operasional tim.

Tindakan-tindakan pengeluaran tambahan (di luar aturan) yang dilakukan tim (di luar uang dari IBL) harus mendapat pengawasan ketat (ini kemudian menjadi dasar munculnya kebijakan "luxury tax" di NBA).

Katakanlah, misalnya, batas setoran sebuah tim per musim ke IBL adalah 8 miliar. Maka pemilik tim yang tidak mampu memberikan 8 miliar tidak bisa ikut.

“Lah, kalau seperti itu, tim peserta kita akan semakin sedikit dong?” 

Jawabannya adalah, "Ya."

Sebenarnya, setiap tim peserta memiliki pengeluaran tahunan masing-masing. Intinya, bagaimana agar pengeluaran tersebut distandarisasi, transparan, dan dilaksanakan dengan benar. Jadi, untuk mengikuti sebuah musim kompetisi IBL, setiap tim sudah harus mampu memastikan bahwa mereka memiliki jumlah dana operasional yang dibutuhkan sesuai standar. Ketidakmampuan memastikan jumlah pengeluaran, ditambah dengan tidak adanya transparansi inilah akar masalah yang salah satu ujungnya adalah merugikan pemain.

Mahal? Relatif. Tidak punya uang, tidak usah ikut.

Daripada menyusahkan diri bahkan menyusahkan tim-tim lain dan liga.

"Apakah bisa, nantinya uang-uang pengeluaran tersebut berasal dari sokongan liga?"

Bisa saja. Tergantung bagaimana upaya liga dan tim dalam mencari pemasukan. Ini akan jadi obrolan yang berbeda. Inilah yang terjadi di NBA. Pada situasi ideal atau yang "diimpikan", uang operasional tim-tim (termasuk gaji-gaji pemain) memang berasal dari subsidi liga, alias salary cap.

Berkaca pada pengembangan basket profesional Vietnam dan yang lebih modern lainnya, tidak masalah tim yang berlaga sedikit asal liga berhasil menjaga keberlangsungannya secara konsisten. Tim yang ikut berkompetisi, kasarnya, memang benar-benar tim yang punya uang.

Oh ya, sebelumnya, kita juga harus memiliki Dekom kembali (seperti Board of Governors di NBA) yang pada dasarnya adalah perwakilan dari tim-tim ini sendiri (biasanya pemilik). Mereka-mereka inilah yang akan memusyawarahkan seluruh keputusan di liga dan bertugas menjaga keberlangsungan liga ini sendiri.

(Baca juga: Bolaharam: Sebelum ke "Salary Cap" (atau Asosiasi Pemain) IBL, Pahami ini Dulu)

Secara teknis, (perumpamaan) uang 8 miliar dari para tim tersebut akan disetorkan ke liga, bahasanya sebagai deposit. Dalam praktiknya, mungkin bisa dicicil. Katakankah 2-3 kali pembayaran. Tetapi harus tepat waktu. Uang itu nantinya akan digunakan untuk membayar gaji pemain (yang sudah ditentukan), perjalanan tim, dan keseluruhan operasional. Ya, jadi liga yang akan membayar gaji pemain, bukan tim lagi. Namun, semua pengeluaran liga akan selalu diketahui oleh para pemilik tim karena semua keputusan akan menggunakan persetujuan Dekom.

Dengan ini, operator liga akan memiliki fungsi yang semakin jelas. Selain membuat liga semakin menarik (secara persaingan seharusnya otomatis terjadi karena salary cap), utamanya dari segi tampilan, lebih menjual ke masyarakat, liga juga berfungsi mencari keuntungan. Hak siar, penjualan merchandise, hak komersil pemain, semuanya berada dalam tanggung jawab liga.

Nantinya, keuntungan yang didapat tersebut juga lantas dibagikan kembali ke Dekom dan operator liga. Ataupun jika dirasa masih sulit untuk mencari keuntungan, maka operator liga bisa berfungsi untuk melakukan cost reduction dengan cara menjalin kerja sama dengan sponsor-sponsor untuk mengakomodasi biaya operasional tim.

Ya, beban operator liga memang akan berat, tapi dengan sistem ini, mereka benar-benar tidak sendiri. Transparansi sekali lagi akan membuat opsi pemikiran semakin banyak. Tak perlu jauh-jauh, dengan konsep di atas, maka mereka sudah akan mendapat bantuan dari dekom. Para pemilik tim yang rela mengeluarkan (misalnya) 8 miliar semusim yang sudah jelas adalah orang yang gila basket dan ingin basket di Indonesia maju.

(Baca juga: Pentingnya Meratakan Kekuatan dalam Sebuah Liga (Berkaca pada Vietnam))

Mengingat kembali perbincangan kami dengan Manajer Tim Nasional Vietnam Connor Nguyen, memulai pengembangan basket memang butuh dana yang besar dari orang-orang yang cukup royal dan gila. Akan tetapi, jika orang-orang ini bersatu, khususnya di luar lapangan dan memikirkan sisi-sisi bisnisnya, maka liga akan perlahan mendatangkan keuntungan. Connor dan rekan-rekannya di VBA (Liga Vietnam) percaya liga mereka yang hanya diikuti tujuh tim dan digelar di satu tempat saja akan mendapat untung dua tahun lagi. VBA sendiri baru mulai digelar pada 2016.

Salary cap sangat mungkin diterapkan di Indonesia asal semua pihak memang menginginkan pemerataan kekuatan liga. Jika semua insan basket memiliki tujuan yang sama, membuat basket menjadi komoditas industri dan memajukan prestasi basket Indonesia di level internasional, maka salary cap adalah salah satu jawaban kunci dari semua ini.

Dengan salary cap, kita tidak akan lagi menemukan definisi "restricted free agent" versi IBL yang seolah dipaksakan. Setiap pemain bebas pindah ke mana saja. Para pemain bisa melihat sendiri ruang gaji dari setiap tim yang tersisa. Tim-tim yang sudah menggaji tinggi beberapa pemain, tidak bisa lagi menggaji tinggi pemain baru yang ingin masuk atau yang mereka incar. Pemain tersebut mau tak mau harus mencari tim yang sesuai dengan ekspektasi gajinya, atau menerima main di tim yang sudah "penuh" dengan gaji seadanya. Bagaimana kalau tim tersebut mau membayar luxury tax? Silakan saja. Tetapi jika banyak tim mampu membayar luxury tax, maka artinya ruang salary cap harus dilebarkan lagi.

Foto: Mei Linda

 

Populer

Dalton Knecht Menggila Saat Lakers Tundukkan Jazz
LeBron James Hiatus dari Media Sosial
Luka Doncic Cedera, Kabar Buruk Bagi Mavericks
Shaquille O’Neal Merana Karena Tidak Masuk Perbincangan GOAT
Tripoin Franz Wagner Gagalkan Kemenangan Lakers
Hasil Rapat Sixers Bocor, Paul George & Joel Embiid Kecewa
Perlawanan Maksimal! Indonesia Kalah dari Korea di Tujuh Menit Terakhir!
Tyrese Maxey Buka-bukaan Soal Kondisi Internal Sixers
Suasana Ruang Ganti Sixers Memanas
Lakers Selama Ini Mencari Sosok Dalton Knecht