Final yang (Tak Pernah) Seimbang untuk Heat

| Penulis : 

Pertemuan antara Los Angeles Lakers melawan Miami Heat di Final NBA sebenarnya membuat saya pribadi dalam kondisi bimbang. Di atas kertas, bisa sangat dilihat bahwa Lakers adalah tim yang sangat dominan dan memiliki semua talenta untuk memenangi NBA musim ini. Di sisi lain, Heat adalah tim yang memenuhi predikat “Cinderella Story”, tim yang seharusnya tak pernah ada di final, nyaris serupa dengan Toronto Raptors musim lalu.

Pemikiran di atas datang sebelum gim pertama Final NBA 2020 dimulai. Beberapa orang bertanya kepada saya tentang siapa pilihan saya untuk menjadi juara. Pertanyaan seperti ini seringnya saya pertanyakan kembali ke mereka dengan pertanyaan, “berdasarkan apa?” Secara statistik dan talenta, sekali lagi Lakers digdaya, secara narasi yang heroik, Heat layak naik.

Satu hal yang membuat saya yakin Lakers bisa melewati Heat dengan mudah adalah kehadiran Anthony Davis. Meski terdaftar dengan tinggi 6’10”, banyak yang yakin tinggi pemain dengan akronim AD ini sesungguhnya sampai 7 kaki. Selama musim reguler dan playoff AD telah menunjukkan kapasitasnya sebagai bigman dengan kemampuan paket komplet, menyerang dan bertahan.

Saya tak melihat ada lawan sebanding untuk AD dari Heat atau Boston Celtics seandainya mereka lolos ke final. Lawan yang sepadan untuk AD ada di tubuh Toronto Raptors dan Milwaukee Bucks yang punya pemain seperti Serge Ibaka, Pascal Siakam, dan Giannis Antetokounmpo. Dan satu-satunya pemain yang sepadan dengan kemampuan AD untuk menyerang (dengan postur seperti itu) hanyalah Kevin Durant.

Dan benar saja, gim pertama jadi ajang unjuk gigi AD. Satu lawan satu dengan Bam Adebayo atau pemain Heat lainnya, AD tak kesulitan mencetak angka. Heat berspekulasi dengan sistem pertahanan zona, berusaha mengepungnya di area tertentu, AD masih bisa poin, masih bisa memberi umpan kepada rekannya untuk membuat situasi ancaman lainnya. Pemain ini paket komplet. Saat mencoba mengganggunya dengan pelanggaran, AD pun sempurna dengan rasio akurasi tembakan 10/10.

Pertanyaan selanjutnya adalah,”Apakah final ini akan berakhir dengan sapu bersih empat gim tanpa balas? Apalagi dengan potensi absennya Goran Dragic dan Bam Adebayo di gim 2 atau bahkan lebih?”

Melihat catatan statistik yang ada, satu hal menarik adalah selisih akurasi kedua tim sebenarnya tak jauh-jauh sekali. Lakers memiliki efisiensi tembakan (eFG%) 54 persen sedangkan Heat 49 persen. Persentase turnover Heat bahkan lebih baik dari Lakers dengan 8 persen berbanding 12 persen. Sayangnya, hanya di faktor turnover ini Heat unggul atas Lakers. Di offensive rebound dan tembakan gratis mereka kalah telak.

Dari sini, sebenarnya peluang terbaik Heat untuk memenangkan pertandingan adalah dengan mempertahankan kedisiplinan menjaga bola (turnover rendah), meningkatkan akurasi mereka, dan menipiskan selisih tembakan gratis. Untuk offensive rebound, dengan kehadiran AD, LeBron James, Dwight Howard, dan Kentavious Caldwell-Pope, rasanya sulit untuk Heat unggul. Pemain-pemain ini sangat agresif untuk mencari rebound dan punya atletisme yang jauh lebih baik dari Heat. Jadi biarkan saja mereka mendapat rebound asal tidak berujung second chance points. Di gim pertama, 9 offensive rebound Lakers berujung 16 poin, sebuah efisiensi yang bagus dan harus diturunkan oleh Heat.

Kembali ke cara Heat untuk memenangkan pertandingan. Akurasi Heat yang menurun (sebelum final eFG% Heat 54 persen) bukannya tanpa sebab. Lakers mematikan hampir semua upaya serangan melalui hand-off yang berpusat pada Bam. Di keseluruhan playoff Bam adalah pemain dengan persentase mengumpan terbanyak di Heat dengan 16,7 persen dari keseluruhan umpan tim. Namun, untuk gim 1 final lalu, Bam hanya menyumbang 8,7 persen dari keseluruhan umpan Heat.

Buruknya lagi, pengumpan terbanyak untuk Heat setelah Bam adalah Dragic. Jadi, tanpa keduanya, Heat berpeluang akan semakin kehilangan aliran bola mereka. Dengan ini, pilihannya menjadi dua, Heat harus mencari pengumpan atau pengatur serangan yang lebih baik dan mengalir, atau mengubah pola serangan mereka menjadi lebih banyak satu lawan satu.

Pilihan pertama menjadi yang paling relevan mengingat Heat adalah tim yang mengandalkan pergerakan tanpa bola dan melakukan eksekusi dengan cara catch and shoot. Sepanjang playoff, 50 persen tembakan Heat terjadi tanpa penembak melakukan lantun bola (dribble). Lebih hebatnya lagi, 50 persen percobaan ini memiliki efisiensi 60 persen.

Jika melihat potensi cara menyerang lainnya dengan satu lawan satu, saya tak melihat ada pemain Heat yang mahir dalam melakukan ini (di luar Dragic dan Bam) selain Jimmy Butler, Tyler Herro, dan Kendrick Nunn. Tim ini benar-benar dibentuk dengan semangat gotong-royong, bersama membangun serangan dan tidak ada yang namanya “Hero Ball” semacam idola kami, James Harden dengan Houston Rockets.

Atas dasar ini, maka cara terbaik Heat untuk menang adalah dengan bertahan menggunakan cara serang mereka selama ini tapi menambahkan beberapa kejutan. Cara hand-off dengan mengandalkan Duncan Robinson atau Herro berlari sudah cukup ditebak. Ada baiknya, saat keduanya berlari ke arah bola, pemain lain juga membuat gerakan memotong ke area kunci untuk merusak konsenstrasi Lakers. Hal ini tidak cukup tampak di gim 1. Tripoin dari Robinson dan Herro akan menjadi kunci kemenangan Heat. Jika keduanya berhasil menemukan ruang tembakan dan sentuhan terbaik mereka, Heat hampir pasti meraih kemenangan. Namun, untuk menemukan ruang tembak tersebut, sekali lagi para pemain Heat harus membuat situasi kacau di pertahanan Lakers dan baik Robinson serta Herro harus berlari penuh di gim nanti.

Potensi ini jadi yang terbaik dengan peluang absennya Dragic dan Bam. Namun, peluang keberhasilannya pun masih tergantung pada performa barisan garda Lakers. Ya, jika LeBron dan AD terus dipuja sepanjang playoff ini, saya ingin sedikit memberikan penghormatan untuk Kentavious Caldwell-Pope alias KCP. Pemain yang dulunya lebih banyak mengisi Shaqtin’a Fool akhirnya menunjukkan potensi sesungguhnya.

Selama playoff, KCP berhasil menjadi top skor ketiga tim (seri dengan Kyle Kuzma) dengan 10,1 poin. Namun, yang mencolok dari KCP adalah akurasi tripoinnya yang mencapai 41 persen dengan rata-rata 5 percobaan per gim. KCP juga cukup tangguh dalam menjaga (mengejar) Herro atau Robinson sepanjang gim 1 lalu.

Selain KCP, pemain lain yang layak mendapat kredit adalah Rajon Rondo dan Alex Caruso. Mereka berdua lah yang membuat barisan pemain utama Lakers tenang saat istirahat di bangku cadangan. Rondo dan Caruso menjadi dua garda dengan defensive rating terbaik di tim sepanjang playoff ini (108).

Melihat rangkaian fakta ini, setiap kali berusaha membuka peluang Heat mencuri kemenangan, fakta dan data lain tentang Lakers yang bisa menutup peluang itu juga muncul. Heat butuh lebih dari sekadar keajaiban untuk memenangi final kali ini. Mungkin, lebih tepat disebut mukjizat. Selama mentalitas Heat tetap pada mental yang selama ini mereka tunjukkan di playoff, peluang masih ada meski sangat kecil. Namun, jika mentalitas tersebut luntur sedikit saja, maka Lakers akan dengan mudah membawa pulang juara.

Foto: NBA

 

Populer

Dalton Knecht Menggila Saat Lakers Tundukkan Jazz
Lakers Selama Ini Mencari Sosok Dalton Knecht
Tripoin Franz Wagner Gagalkan Kemenangan Lakers
Hasil Rapat Sixers Bocor, Paul George & Joel Embiid Kecewa
LeBron James Hiatus dari Media Sosial
Luka Doncic Cedera, Kabar Buruk Bagi Mavericks
Shaquille O’Neal Merana Karena Tidak Masuk Perbincangan GOAT
Perlawanan Maksimal! Indonesia Kalah dari Korea di Tujuh Menit Terakhir!
Tyrese Maxey Buka-bukaan Soal Kondisi Internal Sixers
Suasana Ruang Ganti Sixers Memanas