Saya adalah salah satu orang yang tidak suka dominasi dan sejauh ini tidak pernah menungganginya. Meski saya tahu bahwa dominasi juga datang dari hasil kerja keras yang tidak mudah, kehadiran sesuatu yang dominan di sebuah kompetisi olahraga seolah membuat hilangnya tensi atau keseruan dari kompetisi itu sendiri.
Hampir 15 tahun saya menggemari basket, tim atau sosok yang berada di posisi underdog selalu lebih menarik perhatian saya. Saat Miami Heat jumpa Oklahoma City Thunder di final NBA 2012, Thunder yang kala itu masih berstatus tim muda yang dipimpin Kevin Durant, Russell Westbrook, dan James Harden adalah tim yang saya dukung. Heat membentuk trio super yang menurut saya terlalu menakutkan untuk siapa saja.
Saat Golden State Warriors pertama kali ke final, saya berharap mereka juara karena Cleveland Cavaliers juga kembali membentuk formasi Big Three. Namun, dua musim kemudian, begitu Warriors merekrut Durant, saya berharap Cavaliers yang juara. Durant di mata saya adalah salah satu pemain menyerang terbaik dalam sejarah NBA (jika bukan yang terbaik) dan ia bergabung ke tim dengan serangan yang paling tidak masuk akal. Warriors berubah dari tim yang memiliki “Cinderella Story” membentuk skuad dari NBA Draft jadi tim superior, saya harap mereka kalah di final.
(Baca juga: Lakers Terbaik di Barat, Kembali ke Final Setelah Satu Dekade)
Awal musim panas 2019 – 2020, Los Angeles Lakers memutuskan cuci gudang untuk mendatangkan Anthony Davis. Di titik ini, saya masih merasa Lakers belum jadi kandidat juara. Mengapa? Davis belum pernah teruji baik di playoff dan kerap kena cedera. Namun, begitu Lakers mendatangkan Dwight Howard, saya bicara ke salah satu penggemar terbesar Lakers di Indonesia bahwa kalian curang.
Howard adalah salah satu pemain dengan kemampuan bertahan yang hebat. Dan seperti pepatah lama yang bilang bahwa “offense win the game but defence win the championship”, kehadiran Howard akan mengubah situasi keseluruhan Lakers. Benar saja, di final Wilayah Barat playoff NBA 2020, Howard berhasil menghentikan laju andalan Denver Nuggets, Nikola Jokic.
Namun, sesuai judul dari artikel ini, baik Davis atau Howard, datang untuk melengkapi skuad yang dipimpin oleh legenda NBA, LeBron James. Ya, saya tidak salah tulis atau salah sebut, LeBron adalah legenda NBA. Di awal artikel ini, saya sudah menyebutkan bahwa saya menjagokan Thunder di final 2012 karena LeBron membentuk skuad super dengan Dwyane Wade dan Chris Bosh di Miami. Di atas kertas, mereka sudah seharusnya juara. Hal tersebut membuat saya kesal sekali kala itu dan berharap Thunder bisa menumbangkan mereka.
Di 2015 kisah pun serupa, LeBron pulang ke Cavaliers tapi tidak sendiri. Cavaliers yang kala itu sudah dihuni bintang muda baru mereka, Kyrie Irving, mendapatkan tambahan tenaga kala LeBron mengajak Kevin Love bergabung. Jika Anda tidak tahu, Love adalah mesin dobel-dobel kala itu. Love bisa dibilang salah satu power forward terbaik liga karena datang dengan paket komplet. Main pos bisa, rebound jago, tripoin juga menakutkan. Dengan skuad itu, mereka seharusnya juara tapi Kyrie dan Love cedera di final.
Dua musim lalu, untuk pertama kalinya saya mendukung pihak LeBron. Irving sudah tidak ada di tim dan Love cedera, LeBron benar-benar memikul semua beban Cavaliers di playoff. Hebatnya lagi, kembali ke final untuk kali delapan beruntun! Penampilan yang paling saya ingat tanpa perlu mengecek ke internet adalah gim 7 final Wilayah Timur lawan Boston Celtics. Di usia 33 tahun, LeBron tampil 48 menit alias tidak istirahat sama sekali, orang gila.
Musim lalu, LeBron untuk kali pertama absen di final dan mungkin untuk kali pertama juga bisa menikmati cerutu dan anggur di halaman rumahnya pada bulan April atau Mei. Biasanya dia sibuk terbang sana-sini menyelesaikan misi memenangkan gim demi gim. Saya sempat bertanya pada diri saya sendiri, “Apa mungkin LeBron sudah tak punya hasrat untuk kembali ke final?”. Dan pertanyaan tersebut terjawab dengan transaksi Davis dan Howard.
(Baca juga: Los Angeles Lakers dan Tuah Gelar Juara Akhir Dekade)
Jalan musim 2019 – 2020, Frank Vogel mengumumkan bahwa point guard utama Lakers adalah LeBron. Sepanjang kariernya, LeBron tak pernah mendapat predikat point guard. Namun, kita tahu bahwa bola selalu berpusat kepadanya, serangan akan dimulai darinya, atau ujung-ujungnya berakhir dengan eksekusinya. Jadi, apakah ini benar-benar peran yang baru atau hanya predikat yang baru saja?
Lakers yang sadar mereka sudah punya duo menakutkan di liga, menambahkan deretan penembak jitu untuk melengkapi. Kentavious Caldwell-Pope dipertahankan, Danny Green dan Avery Bradley didatangkan. Lengkap sudah, Lakers memiliki trio penembak jitu yang bisa bertahan dengan baik. Tambahan ketiganya, membuat tugas LeBron sebagai point guard akan lebih mudah dengan banyaknya opsi.
Benar saja, sebelum badai pandemi datang, LeBron memimpin daftar asis liga dengan rataan 10,2 asis per gim. Saya sama sekali tak terkejut dengan LeBron memimpin asis, tapi saya terkejut dengan angkanya yang mencapai dua digit. Namun, begitu melihat penampilan LeBron dan Lakers di playoff ini, saya semakin disadarkan mengapa angka itu sangat tinggi. Angka tinggi itu sepenuhnya datang dari LeBron sendiri.
Di usia 35 tahun, bapak tiga anak ini masih dalam kondisi tubuh yang sangat prima. Ia masih bisa berlari layaknya kereta menerobos ke area kunci lawan. Saat lawan berusaha melanggarnya dengan tujuan membuatnya melakukan tembakan gratis saja karena akurasi LeBron tak cukup baik (69 persen), LeBron masih bisa mengontrol tubuhnya untu melepaskan tembakan dan berubah menjadi three point play.
Saat LeBron menerima bola di high atau low post, satu lawan satu, ia punya segudang trik untuk dimainkan. Ia bisa "cuma" sekadar jab step dan lalu menembak. Bisa juga jab step lalu menerobos. Saat seolah waktu menembak sudah akan habis dan lawan sudah membuatnya mati langkah, LeBron lantas putar badan dan melakukan fadeaway, terlalu banyak senjata.
(Baca juga: LeBron James Adalah Pemain Terbaik Sepanjang Sejarah Playoff NBA)
Atas hal-hal ini, lawan akhirnya melakukan penyesuaian dengan berbagai macam cara. Paling instan ya dobel tim. Begitu LeBron mendekat ke area perimeter, bantuan akan datang. Bantuan datang, berarti ada satu pemain bebas. Sekali lagi, pemain di sekeliling LeBron memiliki akurasi yang bagus. Jadi, LeBron “tinggal” melepaskan umpan ke rekan setimnya dan jadi asis.
Keberhasilan Lakers menjadi juara Wilayah Barat dan kembali ke final untuk kali pertama sejak 2010 membuat saya semakin yakin bahwa LeBron adalah salah satu pemain terbaik yang pernah bermain basket. Saya tidak akan terpancing ke perdebatan GOAT karena sungguh ini sama sekali tidak penting dan kita membandingkan pemain-pemain yang bermain di era berbeda.
LeBron ke final sembilan kali dalam 10 tahun terakhir bersama tiga tim berbeda. Total ia 10 kali ke final. Hal yang paling aneh dari perjalanan ini adalah fakta bahwa di tiga tim tersebut, LeBron adalah pemain terbaiknya. Sekali lagi, ia adalah pemain terbaik di tiga tim berbeda yang melaju ke final dalam jarak waktu 13 tahun. Saat LeBron hadir di lapangan, Lakers seringnya menjadi lebih baik. Jika tidak percaya, saya sertakan link statistik on-off court LeBron. Statistik ini menunjukkan kondisi Lakers saat ia ada di lapangan dan saat ia isitirahat, boleh juga dibandingkan dengan Davis jika tidak percaya.
Atas penampilannya di gim 5 final Wilayah Barat melawan Nuggets, saya tergerak untuk menulis ode ini. Saya bukan penggemar Lakers dan LeBron, karena sejujurnya saya memang tidak bisa fanatik yang berlebihan. Kalau ditanya siapa pemain idola saya sepanjang masa, jawabannya adalah Rajon Rondo. Namun, laiknya deretan legenda yang pernah hadir di NBA, saya tidak ingin membiarkan LeBron berlalu sampai pensiun tanpa pengakuan.
Anda bisa bandingkan LeBron dengan siapapun, Anda bisa bandingkan rekor penampilan final dan gelar juaranya sampai kapanpun, tapi LeBron tetaplah LeBron. Prestasinya tidak akan bisa berbohong, statistiknya apalagi. Saya masih sepakat dengan Anda para peragu yang merasa LeBron kurang clutch atau mungkin tidak clutch sama sekali. Namun, ada sebuah gambar besar tentang hebatnya penampilan LeBron dari sekadar sanggupkah ia melepaskan tembakan di detik-detik akhir pertandingan.
Ode ini saya persembahkan untuk LeBron yang sudah dengan konsisten menunjukkan kehebatannya dalam kurun 17 tahun terakhir. Seorang anak yang lulus SMA dari Cleveland, Ohio, berkembang menjadi seorang legenda atau mungkin jika kita hidup di era 60-an tanpa statistik, LeBron bisa jadi adalah sebuah mitos.
(Baca juga: Pat Riley Sandingkan Heat era “Big Three” dengan “Showtime” Lakers)
Di olahraga sekeras dan sekencang basket ini, seorang pemain berusia 35 tahun menyadari bahwa ia tak bisa melulu mengandalkan fisiknya. Ia mengubah posisi dan cara bermain agar tetap relevan dan memimpin timnya kembali ke final. LeBron yang gemar menghujam ring lawan memang masih ada meski tidak sering. Namun, LeBron yang sekarang rasanya lebih menyulitkan lawan karena sangat komplet.
Satu-satunya atlet di mata saya yang bisa disandingkan dengan LeBron adalah atlet sepak bola Cristiano Ronaldo. Keduanya sama-sama berusia 35 tahun kini (LeBron akan berusia 36 tahun 31 Desember nanti) dan sama-sama masih menunjukkan dominasi mereka sebagai salah satu atlet terbaik yang pernah ada di cabang masing-masing.
Terima kasih LeBron atas segala yang kau berikan di lapangan untuk para penikmat NBA. Sedikit maaf dari saya karena saya masih tidak suka pakai Anda di NBA2K, terlalu gitu-gitu aja, ga seru. Selamat atas gelar juara Wilayah Barat pertama Anda dan semoga kita masih bisa menyaksikan LeBron Raymone James sebagai musuh bersama untuk ditaklukkan NBA di beberapa tahun ke depan.
Foto: NBA