Banyak yang miris dengan masa depan (pensiun) atlet Indonesia, khususnya mereka yang pernah membawa nama negara di puncak tertinggi.

Berita-berita atlet renta yang terlantar bak jadi sinetron manis yang membuat kita mengeluarkan komentar menuduh sang antagonis, pemerintah. Pemerintah, kita tuduh tidak memperhatikan para pahlawan yang pernah mengharumkan nama bangsa tersebut.

Pemerintah kemudian kebakaran jenggot. Merasa –mungkin- bersalah karena menelantarkan para pahlawan olahraga. Lalu keluarlah berbagai macam program kompensasi. Bonus bermiliar rupiah untuk peraih medali olimpiade, ratusan juta untuk prestasi-prestasi lainnya di ajang seperti SEA Games dan Asian Games. Ajang-ajang seperti Pekan Olahraga Nasional pun menawarkan bonus tak sedikit untuk mereka yang pulang berkalung medali.

Kalau tak salah dengar, pemerintah juga memberikan jaminan berupa subsidi seumur hidup bagi beberapa mereka yang berprestasi sangat tinggi seperti olimpiade. Alhamdulillaah. Senang mendengarnya.

Apakah jawaban-jawaban pemerintah tersebut kelak akan menghapus berita-berita tentang atlet yang terlantar atau susah-susah di masa tuanya? Semoga. Amiin.

Hari ini, terkait masa depan seorang atlet pasca-pensiun, ada kabar menarik dari Amerika Serikat. Darius Miles, pemain yang 16 tahun lalu masuk ke NBA langsung dari SMA dan mendapatkan duit sembilan juta dolar AS dari Los Angeles Clippers mengumumkan kebangkrutannya. Seorang mantan bintang NBA lagi-lagi mengumumkan bahwa ia dirundung kebangkrutan.

Ketika berjaya, Miles menerima kontrak besar dari Clippers yang merekrutnya pada urutan ketiga putaran pertama NBA Draft 2000. Ia sempat didapuk menjadi wakil merek Jordan, bahkan sempat bermain film bersama Scarlett johanson dan Ryan Reynolds. Ya, pundi-pundi Miles pernah terisi deras oleh gemerincing harta, alias uang. Tajir.

Memiliki banyak uang dan mengelola uang banyak ternyata dua hal yang berbeda. Ketika melaporkan diri bangkrut, Miles tercatat masih memiliki aset senilai 460.385 dolar AS. Tetapi juga memiliki tanggungan yang harus diselesaikan senilai 1,57 juta dolar. Liabilitas Miles lebih dari dua kali lipat lebih besar daripada asetnya. Angka yang akan membuat Robert T. Kiyosaki gusar.

Dari seorang yang bergelimang harta dan uang, bagaimana mungkin Miles bisa terperosok sampai ke lembah kebangkrutan?

Menurut survey yang pernah dilakukan majalah olahraga Sports Illustrated, 60 persen pemain NBA bangkrut setelah melewati masa lima tahun sejak pertama kali pensiun. Salah satunya jelas terjadi pada Miles.

Penyebabnya bermacam-macam. Umumnya gaya hidup bermewah-mewah, bisnis yang gagal, investasi yang keliru dan perceraian yang berujung terkurasnya harta benda. Di Amerika Serikat, risiko perceraian sangatlah mahal. Apalagi bila pasangan yang berpisah memiliki anak.

Dalam kasus Miles, ia memiliki tanggungan utang pengasuhan anak sebesar 20.000 dolar. Miles juga merugi 100.000 dolar di tahun 2008 karena bisnis real estate. Banyak lagi kerugian-kerugian lainnya.

Bagi seorang pemain dengan begitu banyak uang yang dimiliki, menurut Adonal Foyle, mantan Wakil Presiden Asosiasi Pemain-pemain NBA, seorang pemain harus memiliki seorang agen yang mengurusi bisnis mereka, seorang akuntan yang menangani persoalan pajak, konsultan keuangan untuk membantu investasi dan pengacara untuk mengulas dan mengawasi kontrak-kontrak. Seorang pemain juga harus atau sebaiknya memiliki seorang mentor sebagai pembimbing.

Yup, tidak sedikit dan butuh biaya juga untuk semua kebutuhan di atas.

Menurut Foyle, seorang pemain NBA harus sadar bahwa mereka tidak hanya beraksi di lapangan. Tetapi mereka juga harus mengurus banyak hal di luar lapangan. Pemain NBA adalah seorang CEO. Seorang pemain harus memiliki wakil terpercaya untuk mengurusi kekayaan mereka dan harus mengawasi orang-orang tersebut.

Masih menurut Foyles, seorang atlet memang memiliki masa terbatas (masa jaya) dalam mengumpulkan kekayaan dan harus mengetahui cara terbaik untuk membuat kekayaan tersebut bertahan selamanya. Saya rasa, ini adalah kata kunci.

Dan kunci yang menurut Foyles boleh jadi sangat penting untuk menjaga kekayaan seorang atlet bertahan lama atau selamanya adalah pendidikan.

Saya lalu ingat cerita Azrul Ananda beberapa bulan lalu. Ia mengambil kuliah singkat di Universitas Harvard, salah satu kampus terbaik di dunia. Azrul mengikuti kuliah yang disajikan oleh Anita Elberse, seorang dosen bisnis.

Yang menarik, dalam kelas yang berisi 30 mahasiswa, dua di antaranya adalah Pau Gasol dan Chris Paul. Keduanya hadir bersama orang kepercayaan mereka dan belajar bersama demi masa depan mereka.

Azrul bercerita bahwa di dalam kelas tersebut mereka membahas banyak kasus-kasus bisnis besar terbaru. Mereka membahas kesuksesan Beyonce, kesuksesan produser film dan kesuksesan pebasket terkenal LeBron James. James adalah pemain sukses yang saat ini sangat hebat di lapangan pun di luar lapangan.

Kuncinya karena LeBron James bermain hebat di lapangan dan memiliki orang-orang hebat di dalam manajemennya. Manajemen yang mengurusi merek “LeBron James”.

Beberapa hari yang lalu, sang dosen, Anita Elberse mengunggah foto dirinya dan Isaiah Thomas. Rupanya point guard Boston Celtics ini juga menuntut ilmu kepadanya. Dan saya ingat, setelah Azrul menamatkan kelasnya, Anita Elberse mengunggah foto mahasiswa terbarunya, Maria Sharapova.

Membandingkan kisah kebangkrutan pemain-pemain NBA dengan masa depan atlet-atlet hebat di Indonesia, saya menemukan persamaan dan perbedaan. Persamaan pertama, atlet sehebat apa pun, sekaya apa pun saat berjaya sebagai atlet, ia bisa bangkrut atau jatuh miskin beberapa tahun kemudian.

Perbedaannya, di Indonesia, sang atlet mendapat simpati. Sementara di Amerika Serikat, orang mencari tahu kenapa ia bisa jatuh bangkrut setelah sempat bergelimang harta. Atlet bangkrut di Amerika, setelah bangkrut dan mengumumkannya biasanya berurusan dengan pengadilan.

Bersimpati kepada masa depan atlet tentu saja sangat baik. Mencegah agar masa depan atlet pasca-menjadi atlet tidak suram juga mulia. Tetapi sebaiknya kita, dan khususnya para atlet tidak lupa, bahwa masa depan terkadang memang berada di tangan pribadi masing-masing (dan tentu saja Tuhan).

Seorang atlet sukses dan bergelimang harta harus menyadari bahwa apa yang mereka miliki bisa saja habis bahkan habis dengan cepat. Jika mereka tak memiliki kesiapan, kehancuran kekayaan adalah hal yang nyata.

Hal ini sebenarnya tidak berlaku kepada atlet saja. Tetapi kepada semua orang.

Pendidikan memang penting. Miles, setelah pensiun melanjutkan pendidikannya. Ia masuk kuliah ke Colgate University di New York. Miles bahkan melanjutkan dengan mengambil master (S2).

Hidup kadang memang tidak sejalan dengan keinginan kita. Beruntunglah para atlet yang pernah membanggakan negara. Ketika ada "bencana" terjadi, mereka punya cadangan “kekayaan” berupa simpati masyarakat. Masyarakat tak akan tega melihat mereka terpuruk. Kita yang orang-orang biasa tak punya kelebihan itu.

Oleh karenanya, mari menjadi atlet! (*)

Komentar