Pada pertandingan Portland Trail Blazers melawan Utah Jazz, saya dituntut cepat beradaptasi dengan sistem yang diterapkan oleh NBA. Bagi saya, itu menjadi motivasi dan tantangan agar bisa memimpin pertandingan dengan baik.
Saat memasuki arena, kami langsung menuju ke tengah lapangan dan melakukan pemanasan. Walaupun sebenarnya kami juga sudah melakukan stretching dan pemanasan di ruang ganti.
Tiba saatnya pertandingan dimulai. Setelah beberapa saat, saya makin merasa enjoy dan nyaman dalam memimpin. Salah satu perbedaan yang sangat mencolok antara gaya mewasiti NBA dan FIBA adalah masalah komunikasi.
NBA meminimalkan penggunaan sinyal tangan, tetapi menekankan kepada komunikasi verbal. Sedangkan FIBA meminimalkan komunikasi verbal dan menggunakan banyak sinyal tangan.
Masuk akal memang. Pada pertandingan FIBA, pesertanya dari seluruh dunia dengan bahasa berbeda-beda. Sedangkan di NBA, semua berbahasa Inggris.
Bagi FIBA, untuk meminimalkan kesalahpahaman, akan lebih baik menggunakan sinyal tangan jika dibandingkan dengan memakai komunikasi verbal. Sedangkan bagi NBA, komunikasi verbal yang baik akan memperjelas keputusan. Wasit juga akan terlihat lebih tegas dan berwibawa.
Selesai pertandingan, kami melakukan post game review dengan menggunakan DVD yang langsung diberikan kepada semua wasit yang memimpin. Begitu cepatnya rekaman diberikan. Kerja yang sangat profesional.
Video review dipimpin evaluator wasit Leroy Richardson. Dia adalah wasit NBA yang sudah bertugas 21 musim. Kami membahas play-by-play, minute-by-minute.
Evaluasi yang diberikan sangat gamblang, detail, dan terperinci. Mulai positioning, lalu play calling, hingga body language, dan banyak hal yang lain. FIBA sebenarnya juga telah mengadopsi apa yang dilakukan NBA. Tetapi, penerapannya baru dilakukan pada pertandingan tingkat dunia.
Secara umum, NBA Summer Camp for Referee dimulai dengan intro meeting yang dipimpin George Toliver. Dia adalah NBA director of D-League officials.
Partisipan camp pada hari pertama terdiri atas evaluator yang merupakan wasit-wasit senior NBA. Peserta didominasi wasit NBA D-League, beberapa wasit NBA dan WNBA, enam wasit perwakilan FIBA (saya termasuk di dalamnya). Lalu, lima orang delegasi CBA (Asosiasi Basket Tiongkok) dan 10 orang dari Referee Development Program (RDP).
Kami langsung diberi materi pengenalan mekanik pergerakan dan sinyal-sinyal di dunia perwasitan NBA. Kami diberi video dan penjelasannya.
Memang tidak banyak yang diberikan. Tetapi, penjelasannya sangat detail. Setelah itu, kami melakukan simulasi di ruangan. Ruang meeting tempat aktivitas kami sangat luas, terdiri atas dua bagian. Satu ruangan dengan meja dan bangku buat peserta dan di sebelahnya terdapat ruangan kosong dengan garis-garis lapangan. Memang ukuran lebih kecil daripada lapangan sebenarnya. Tetapi, cukup luas.
Awalnya George sendiri yang memimpin simulasi. Setelah dia, wasit-wasit NBA, WNBA, dan D-League diberi kewajiban membimbing kami yang belum mengenal sistem mereka.
Mereka sangat sabar dan telaten menjelaskan dan membimbing kami dalam simulasi. Setelah simulasi, George kembali memimpin dalam sesi kelas dengan memberikan video-video fundamental pergerakan wasit NBA. Saya sangat kagum dengan penjelasan-penjelasan yang dia sampaikan. Sebab, memang sangat detail.
Sejak hari kedua, camp dipimpin langsung oleh Bob Delaney, vice president of referee development and performance NBA. Wow, kesan pertama yang saya dapat dari seorang Bob Delaney adalah dia sangat mengesankan. Penampilannya kelimis, sangat percaya diri, dan terlihat smart, tetapi juga begitu humble.
Setiap orang di dalam kelas diberi kesempatan untuk memperkenalkan dan mendeskripsikan diri masing-masing. Setelah itu, Bob mengomentari cara kami berkomunikasi dan mengekspresikan diri. Juga memberikan materi bagaimana cara berkomunikasi dan mengekspresikan diri seperti keinginan NBA. Sangat mengesankan!
Setelah itu, Bob memutar video fundamental pergerakan wasit NBA. Saya berpikir mengapa diputar lagi? Sebab, sehari sebelumnya kami melihat itu. Walaupun memang cuma sebagian.
Setelah melihat beberapa klip, Bob menghentikan video, lalu menanyakan kepada salah seorang wasit NBA D-League ââBerapa kali kamu melihat video ini?ââ. Dan wasit tersebut menjawab, ââRatusan kali!ââ
Seketika itu juga Bob menyatakan bahwa kontinuitas dan repetisi sangatlah penting. Dan, setiap melihat video pasti ada hal baru yang didapat.
Siang atau sorenya kami diberi kesempatan untuk memimpin pertandingan. Ada dua kompetisi yang akan kami wasiti, yaitu NBA Summer League dan NBA Global Summer League.
NBA Summer League akan diwasiti oleh wasit NBA, WNBA, dan D-League. Kami wasit FIBA akan memimpin NBA Global Summer League dengan didampingi wasit WNBA atau D-League. Namun, kami akan diberikan satu kali kesempatan memimpin di NBA Summer League pada 12 Juli waktu setempat.
Wasit-wasit D-League yang mendampingi kami wasit FIBA ternyata sangat kooperatif dan membantu. Hari-hari berikutnya saya merasa lebih mudah dan enjoy dalam memimpin pertandingan dengan sistem dan peraturan NBA.
Setiap selesai game kami langsung melakukan evaluasi dan video review yang dipimpin evaluator-evaluator NBA D-League. Misalnya, George Toliver, Scott Bolnick, dan Steven Ellinger.
Mereka memberikan evaluasi secara mendetail, memperlihatkan kepada kami apa yang salah, dan apa yang harus dilakukan. Video review biasanya berlangsung hampir dua jam. Sangat memuaskan!
Setiap hari dimulai dengan meeting pagi dan siang. Lalu, sorenya kami memimpin pertandingan. Di setiap sesi awal meeting pagi Bob Delaney memberikan materi yang berkaitan dengan psychology of officiating. Contohnya, bagaimana mendapat motivasi dan tetap termotivasi. Lalu, ada juga body language dan komunikasi.
Bob Delaney juga menjelaskan bagaimana cara seorang wasit me-review video. Sekali lagi, saya merasa kagum dengan betapa sistematis dan detailnya mereka.
Setelah itu, Bob mempersilakan para evaluator menanyangkan potongan video pilihannya yang berasal dari game NBA Summer League untuk di-review.
Nama-nama evaluator yang bertugas bukan sembarangan. Mereka berasal dari wasit-wasit top NBA, seperti Joey Crawford, wasit NBA paling kontroversial. Lalu, Monty McCutchen, salah satu wasit terbaik NBA saat ini yang memimpin game 7 final NBA musim lalu.
Ada pula Bill Kennedy, wasit NBA yang menyatakan dengan terbuka bahwa dirinya gay. Lainnya adalah Zach Zarba (salah satu wasit NBA All-Star 2016) dan Leroy Richardson, wasit NBA yang sudah bertugas 21 musim.
Evaluator akan menayangkan video pilihannya. Pertama-tama, evaluator akan mempersilakan satu per satu wasit yang memimpin mengomentari video tersebut. Kemudian, evaluator akan memberikan komentar dan penjelasan tentang apa yang ingin disampaikan tentang video tersebut. Sekali lagi, sangat jelas, terarah, dan detail. Selama enam hari kami konsisten melakukan hal itu.
Saya melihat NBA sangatlah berfokus, berjenjang, dan berkesinambungan dalam mendidik dan menciptakan wasit-wasit berkualitas. Mereka menjabarkan fundamental perwasitan secara jelas dan terstruktur. Mereka menuntut wasit-wasitnya disiplin.
Bukan hanya sampai di sana, mereka juga konsisten dan kontinu memberikan evaluasi kepada para wasit. Mereka juga berpendapat bahwa kemauan dan kedisiplinan menjalankan detail-detail kecil secara benar dan konsisten adalah hal yang membedakan wasit NBA dengan wasit yang lain di dunia.
Hal di atas rasanya bisa kita tiru untuk kemajuan wasit Indonesia. Tinggal disesuaikan dengan fundamental-fundamentalnya. Karena kita berafiliasi ke FIBA, wasit Indonesia tinggal mengidentifikasi dan menjabarkan fundamental, sesuai dengan kaidah-kaidah yang ada di FIBA.
Sistem evaluasi yang mengutamakan rekaman video seperti yang dilakukan NBA juga sangat baik untuk diadopsi oleh perwasitan Indonesia.
Kemungkinan tinggal masalah fasilitas atau peralatan yang perlu dipikirkan. Namun, saya sangat yakin kita juga bisa melakukan itu semua. Dan, saya berharap, kualitas wasit di Indonesia bisa meningkat sehingga bisa memimpin pertandingan dengan baik.
Bila pertandingan dipimpin oleh wasit yang bisa memastikan pemainnya bertanding dalam koridor peraturan yang benar, kualitas pertandingan akan meningkat. Namun, tentunya, juga diiringi dengan peningkatan kualitas pemain. (*)
Foto : Satrio Wicaksono untuk Jawa Pos