Setelah film dokumenter “The Last Dance” disiarkan, perdebatan tentang pemangku gelar pemain terbaik sepanjang masa alias greatest of all time (GOAT) mencuat kembali. Bahkan, pada hari-hari biasa, perdebatannya bisa ramai sekali. Michael Jordan selalu dibanding-bandingkan dengan Kobe Bryant dan LeBron James. Ketiganya sama-sama megabintang.
Perdebatan tentang pemain terbaik sepanjang masa agaknya menjadi perdebatan yang tidak pernah berujung pada satu kesimpulan yang ajeg. Sebab, membandingkan Jordan, Bryant, dan James memang sulit sekali. Mereka punya kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Meski begitu, saya ingin menawarkan perspektif yang bisa saja menarik untuk pembaca sekalian. Bagi saya, Jordan adalah pemain terbaik sepanjang masa. Profil sang pemain sebenarnya sudah mengatakannya sendiri.
Secara prestasi, Jordan memiliki cincin juara lebih banyak dari Bryant (5) dan James (3). Ia setidaknya mengantungi enam gelar juara selama bermain di NBA. Sayangnya, membandingkan cincin bukan hal yang elok untuk dilakukan. Sebab, seandainya jumlah cincin masuk sebagai standar kelayakan pemain terbaik sepanjang masa, maka Bill Russell (11) mestinya seorang GOAT. Robert Horry (7), yang tidak pernah masuk dalam perdebatan, bahkan punya lebih banyak cincin daripada Jordan, Bryant, dan James.
Maka dengan itu, mari kita singkirkan masalah prestasi, terutama cincin juara. Lemari Jordan, Bryant, dan James sudah penuh dengan penghargaan demi penghargaan. Namun, ada satu hal menarik untuk diulas lebih lanjut, yaitu tentang pengaruh secara global. Ini berhubungan dengan nama besar.
Saat Larry O’Brien menyerahkan tampuk kepimpinan NBA kepada David Stern, fokus mereka berubah perlahan-lahan. Stern melakukan modifikasi perhatian dengan mengedepankan sosok daripada klub atau liga itu sendiri. Ia berusaha menjadikan pemain sebagai wajah-wajah baru NBA. Apa pun klub dan dari mana asalnya.
Ibaratnya, jika Disney punya tokoh-tokoh kartun seperti Mickey Mouse, maka NBA punya pemain-pemain seperti Jordan. Mereka berusaha menjadikan sosoknya sebagai ikon. Dengan begitu, NBA juga bisa semakin terkenal.
Pada masa kepemimpinan Stern, beberapa nama pemain NBA mencuat. Salah duanya Larry Bird dan Magic Johnson. Rivalitas keduanya saat kuliah sampai berlanjut di liga profesional. Serunya bukan main. Kisah mereka abadi sampai saat ini.
Jordan sendiri muncul tepat saat Stern mengambil alih posisi komisioner dari O’Brien. Stern beruntung karena sang pemain datang dengan berbagai hal menarik. Salah satunya mengenai masalah komersialisasi.
Sebagai sosok yang besar karena pengaruhnya di dalam dan di luar lapangan, Jordan menarik perhatian nasional bahkan internasional. Sosoknya telah membuat NBA semakin terkenal. Orang-orang bisa mengenalnya tanpa mengetahui identitas lengkapnya. Nama Michael Jordan sampai ke seantero dunia. Apalagi dengan segala kontroversinya uniknya kala bekerja sama dengan Nike.
Kehadiran Jordan menjadi semacam pengantar kepada era baru yang mengasyikan. Jordan dan Nike menjadikan sepatu-sepatunya sebuah terobosan yang fenomenal. Secara finansial, Jordan mungkin atlet paling sukses sedunia. Kesuksesan itu menular kepada liganya sendiri.
Thomas Hausser, penulis biografi Muhammad Ali: A Tribute to the Greatest, agaknya sepakat tentang hal tersebut. Sebab, ia sempat menyinggung Jordan dalam bukunya itu. Hausser memasukkan sang pemain ke dalam daftar tiga atlet besar dunia sepanjang masa bersama Muhammad Ali (tinju) dan Babe Ruth (baseball). Ia memercayai bahwa Jordan adalah representasi dari atlet yang sukses secara ekonomi.
Jordan juga besar pada era yang berbeda dengan Bryant dan James. Ia hadir saat media sosial belum marak. Tidak ada Instagram, Twitter, dan Facebook. Medium penyebaran informasi dalam bentuk video saja terbatas. Namun, nama Jordan tetap besar.
Sebagai bukti, saya ingat Luis Scola menceritakan tentang kultur bola basket Argentina pada akhir 1980-an sampai awal 1990-an. Ia mengatakan bahwa siaran televisi kabel belum ada di sana saat itu. Scola dkk. hanya memanfaatkan kaset yang dikenal dengan sebutan VCR untuk belajar bermain bola basket. Pemain-pemain Argentina mengenal Jordan lewat sana.
Setelah televisi kabel muncul di mana-mana, orang-orang mulai bisa menyaksikan NBA dengan leluasa. Scola ingat betul ia pernah menonton Final NBA 1992. Saat itu, Chicago Bulls mesti berhadapan dengan Portland Trail Blazers. Jordan menjadi Most Valuable Player (MVP). Bulls juara dengan kedudukan 4-2.
Bayangkan, seandainya media sosial seperti sekarang sudah ada sejak era Jordan, mungkin namanya bisa lebih besar lagi. Pada 1990-an saja Jordan sudah besar sekali. Ia bisa menarik perhatian secara global.
Maka, dari sudut pandang itu, seharusnya Jordan adalah pemain terbaik sepanjang masa. Sebab, ia tidak hanya berhasil membuat klubnya berprestasi, tetapi juga berhasil membuat liganya semakin berkembang. Lebih jauh lagi, Jordan telah membuat bola basket semakin mendunia.
Foto: NBA