Korea Selatan menghancurkan Indonesia dalam laga pembuka Grup A Kualifikasi Piala Asia 2021 dengan skor 109-76, Kamis malam, 20 Februari 2020. Secara skor, Indonesia memang kalah telak. Namun, Indonesia berhasil memberikan perlawanan yang sangat berarti di awal gim. Bahkan, Indonesia menutup kuarter pertama dengan keunggulan 27-21. Sayangnya, Korea Selatan bangkit di sisa gim dan membawa pulang kemenangan.
Ulasan kali ini, kita akan menggunakan empat faktor kemenangan sebagai dasar untuk menghitung sejauh apa sebenarnya penyebab kekalahan Indonesia atas Korea Selatan. Sedikit garis besar tentang empat faktor kemenangan, efektivitas tembakan (eFG%) adalah faktor terbesar pembawa kemenangan untuk sebuah tim. Berdasarkan teori Dean Oliver, eFG% memiliki pengaruh 40 persen dalam sebuah kemenangan. Berturut kemudian adalah turnover (25 persen), rebound (20 persen), dan tembakan gratis (15 persen).
Dalam gim Indonesia melawan Korea Selatan, secara keseluruhan, Indonesia kalah di tiga dari empat faktor tersebut. Buruknya lagi, satu-satunya faktor yang dimenangkan Indonesia adalah tembakan gratis (FT Rate). Tabel di bawah ini menunjukkan keseluruhan perhitungan empat faktor kedua tim dalam satu pertandingan penuh.
Menariknya, begitu kami mencoba membongkar empat fakot kemenangan gim ini dalam tiap kuarter, Indonesia sebenarnya unggul di dua kuarter, pertama dan terakhir. Di kuarter pertama, Indonesia hanya kalah untuk urusan ORB% sementara di kuarter keempat, Indonesia kalah di TOV%. Sayangnya, di dalam dua keunggulan ini, selisih eFG% Indonesia atas Korea Selatan tidak cukup jauh.
Hal ini berbeda sangat jauh dengan keunggulan Korea Selatan di kuarter dua dan tiga. Serupa dengan Indonesia, Korea Selatan unggul di tiga dari empat faktor kemenangan. Akan tetapi, di dua kuarter ini, keunggulan Korea Selatan untuk faktor kemenangan terbesar (eFG%) terlalu masif. Penyebabnya tentu saja akurasi tripoin yang luar biasa menakutkan, utamanya di kuarter tiga.
Di kuarter dua, Korea Selatan unggul 65 persen berbanding 28 persen di eFG%. Hal ini disebabkan dengan akurasi tembakan dua angka yang mencapai 64 persen (9/14) dan 44 persen dari tripoin (4/9). Di kuarter tiga, kedidgdayaan Korea Selatan untuk akurasi tembakan semakin menjadi dengan catatan eFG% menyentuh 111 persen (dalam rumus perhitungan eFG%, sangat memungkinkan hasil di atas 100 persen) sedangkan Indonesia hanya 34 persen.
Secara keseluruhan kuarter tiga, Korea Selatan hanya gagal memasukkan dua tembakan mereka (12/14) yang setara dengan 86 persen. Rinciannya, Korea Selatan sempurna 5/5 dari dua poin dan memasukkan 7/9 tripoin. Maka, bila dijumlah secara keseluruhan di dua kuarter (2 dan 3), Korea Selatan memasukkan 11/18 tripoin.
Menariknya lagi, jika melihat lagi rekaman pertandingan semalam, maka kita tahu mengapa akurasi Korea Selatan bisa sebaik itu di dua kuarter tersebut. Dari 11 tembakan yang masuk, tercatat hanya ada satu tembakan masuk yang bisa dibilang contested shot atau dalam penjagaan ketat pemain Indonesia. Sedangkan 10 tembakan masuk lainnya, pemain Indonesia berjarak cukup jauh dari penembak atau tidak mengganggu proses menembak mereka.
Jika dibongkar lebih dalam lagi, maka hanya ada dua percobaan tembakan pemain Korea Selatan yang benar-benar dipersulit pemain Indonesia dan akhirnya gagal. Sisanya, pemain Korea Selatan masih bebas tapi memang gagal menemui sasaran.
Catatan lainnya, 4 dari 11 tembakan masuk Korea Selatan di dua kuarter ini berawal dari proses transisi dari bertahan ke menyerang mereka. Sedangkan 7 tembakan sisanya berasal dari upaya serangan terorganisir.
Artinya, Indonesia bermasalah pada rotasi dan transisi pertahanan. Korea Selatan sudah memamerkan aksi pergerakan bola dinamis dan tembakan jarak jauh yang mematikan sejak basket mereka berkembang dan Indonesia sudah seharusnya mengantisipasi itu. Apalagi Indonesia selalu jumpa Korea Selatan dalam dua tahun terakhir (Asian Games 2018 dan William Jones Cup 2019).
Oleh karena itu, ketimbang menyalahkan postur tubuh, kekalahan Indonesia kali ini lebih di persiapan strategi bertahan yang tidak cukup baik. Di sini, bisa jadi karena komunikasi yang tidak berjalan cukup baik, atau bahkan scouting report pemain mana yang sangat tidak boleh dilepaskan di area tripoin yang tidak memadai. Kemungkinan kedua berdasarkan seringnya pemain Indonesia melakukan bantuan bertahan di area kunci dan membiarkan deretan penembak jitu Korea Selatan berkeliaran di area-area panas (sudut dan sayap).
Jelang berhadapan dengan Filipina, Indonesia harus memperbaiki pertahanan terutama di area tripoin. Jika mengalami kesulitan untuk mengumpulkan data setiap pemain Filipina karena mereka semua adalah pemain baru, setidaknya Indonesia nanti tidak boleh membiarkan open shot dari area tripoin.
Untuk serangan, Indonesia tampaknya harus mencari opsi pemain yang mampu membahayakan lawan di area kunci. Pasalnya, melihat rotasi pemain semalam melawan Korea, pemain yang memiliki ancaman dari area dua poin bisa dibilang hanya Vincent Kosasih. Hal itu membuat para pemain Korea Selatan bisa fokus untuk menjaga area busur dan membiarkan Vincent beradu satu lawan satu dengan senter sekaligus kapten mereka Kim Jongkyu.
Foto: Hariyanto