Basketball Without Borders, Lebih dari Sekadar Basket

| Penulis : 

FIBA dan NBA adalah dua aktor olahraga bola basket terkemuka di bumi ini. FIBA merupakan organisasi induk dari segala aktivitas kompetisi bola basket di seluruh dunia. Sementara, NBA adalah organisasi basket nasional milik negara adidaya Amerika Serikat. Liga profesionalnya sudah tersohor di seantero bumi. Bahkan, juara NBA pun dengan percaya diri mengklaim dirinya sebagai juara dunia.

Ketika dua nama tersebut bekerja sama, lahirlah sebuah program yang berjudul Basketball Without Borders (BWO). Sebuah program community outreach yang menampilkan olahraga basket sebagai atraksi utamanya.

Sejak pertama kali diinisiasi pada tahun 2001, program ini sudah berjalan di lebih dari 22 negara dan diikuti oleh para pebasket-pebasket muda paling potensial yang ada di belahan bumi. Tahun ini, panggung utama pagelaran BWO akan diselenggarakan di kota Geelong, yang terletak tidak jauh dari kota Melbourne, Australia pada akhir pekan -mulai hari ini- 24-26 Juni.



Ada nama satu pebasket muda Indonesia di daftar peserta tahun ini, yakni Komang Arya Parta Wijaya.

Dipilihnya Australia sebagai negara destinasi BWO pun dilatarbelakangi oleh banyak hal. Pertama, Australia merupakan salah satu negara dengan tingkat multikulturalisme yang tinggi.

Faktor ini akan memungkinkan program BWO untuk menjangkau individu dengan latar belakang yang berbeda.

Kedua, tidak bisa dipungkiri bahwa aroma bisnis juga menyertai pemilihan ini. Australia adalah pasar yang tengah berkembang di NBA. Banyak pemain Australia seperti Patty Mills, Andrew Bogut, Matthew Dellavedova, Dante Exum dan juga yang digadang-gadang akan menjadi "The next Lebron James" Ben Simmons, berkompetisi di ranah NBA dengan tingkat kompetivitas yang cukup baik.

Di balik kemasannya yang mengusung basket sebagai komoditas utama dari acara ini, Basketball Without Border merupakan sebuah program yang juga dapat berkontribusi positif terhadap pertumbuhan perdamaian di muka bumi ini. Berlebihan? Tidak juga.

Dalam kajian teoritis, apa yang dilakukan oleh NBA dan FIBA ini bisa dinamakan sebagai praktik dari konsep "Diplomacy track 2 & 3" yang dikenalkan oleh peneliti John McDonald dan Louise Diamond. Diplomasi jalur 2 adalah upaya diplomatik yang dilakukan oleh individual. Sementara, jalur 3 lebih mengacu pada upaya diplomatik yang dilakukan oleh suatu bisnis.



Ya, diplomasi bukan melulu hanya persoalan politik dan ekonomi yang menghiasi hubungan antar negara dan dilakukan oleh orang-orang dengan setelan formal. Namun juga upaya nir-kekerasan yang bisa dilakukan oleh siapapun dan berkontribusi terhadap terciptanya situasi yang aman dan kondusif.

Program ini memberi kita contoh bahwa olahraga juga dapat dimanfaatkan untuk kegiatan sosial dan kemanusiaan. Jika masih ragu mengenai peran aktor non-negara dalam diplomasi, mungkin kita bisa tengok kontribusi tim negosiator independen yang beberapa pekan lalu berhasil menyelamatkan 10 anak buah kapal Indonesia yang disandera oleh kelompok Abu Sayyaf di Filipina.

Dalam perjalanannya, program BWO juga diselingi oleh tindakan pengembangan komunitas lokal dalam lingkup kesejahteraan sosial, kesehatan dan juga kewaspadaan terhadap pendidikan.

Ketika BWO mengunjungi Afrika tahun lalu, para bintang dan legenda NBA semacam Chris Paul, Dikembe Mutombo dan Patrick Ewing, berinteraksi dan berkampanye mengenai bahaya laten dari virus HIV/AIDS yang memang persebarannya di benua Afrika cukup parah.



Selain itu, mengumpulkan pebasket-pebasket muda dari berbagai macam tempat juga menjadi suatu momen yang berdampak positif terhadap pemahaman individu atas satu sama lain. Di tengah-tengah situasi dunia kini yang justru kian terkotak-kotak dalam perbedaan ras dan agama, kegiatan semacam BWO ini adalah sebuah tempat bagi para generasi muda manusia untuk berinteraksi dengan mereka yang berasal dari tempat berbeda, mempelajari keanekaragaman dan berujung dengan pemahaman akan sikap toleransi yang tinggi.

Mungkin, terlalu berlebihan untuk menyebut bahwa program BWO ini akan menjadi senjata ampuh yang bisa secara cepat dapat mengobati situasi permusuhan dan kebencian yang masih menggerogoti manusia di beberapa tempat di muka bumi. Namun, untuk mengatasi persoalan yang besar, dibutuhkan langkah kecil yang secara teratur dapat menghambat kontinuitas permasalahan tersebut.

Membina dan menanamkan nilai-nilai toleransi kepada generasi muda lewat basket, dan memberdayakan komunitas lewat gerakan akar rumput tentu merupakan sebuah gerakan kecil yang suatu waktu nanti akan berdampak pada masa depan dunia ini. Sesuai dengan judul tulisan, tindakan mulia ini lebih dari sekadar basket.

Foto: NBA

Populer

Scotty Pippen Jr. Bangkitkan Memori Sang Ayah di Chicago
Tembakan Lebih Efisien, Nuggets Benamkan Lakers
Wemby Kembali, Spurs Menggilas Warriors
Takluk 41 Poin! Thailand Menambah Derita Indonesia
50 Poin LaMelo Ball Tidak Berarti Dihadapan Bucks
Trae Young Pilih Jordan Brand
James Harden: Setidaknya Ada 2 Gelar Jika Thunder Tidak Menukar Saya
Kelemahan Kings Makin Jelas Saat Takluk dari Clippers
Nasihat Ice Cube untuk Bronny James
Nike Air Force 1 Low "Black Mamba" Hadir Kembali