Tulisan ini adalah kelanjutan dari tulisan pertama berjudul: Berapa Biaya Setahun Memiliki Tim IBL?

...

Butuh 8.303.600.000 rupiah per tahun untuk mengelola satu tim yang berkompetisi di IBL. Itulah hasil hitungan (yang rasanya) ideal dengan rincian yang bisa dilihat di tulisan pertama. Apakah semua tim mampu atau memang mengeluarkan angka sebesar itu untuk pengeluarannya?

Rasanya tidak. Walau juga, rasanya ada.

Pada tulisan kedua ini, saya ingin menerka-nerka apa saja biaya yang bisa dipangkas demi menghemat (super hemat) biaya sebuah tim. Namun, perlu diketahui, bahwa harga sebuah langkah yang kita sebut sebagai penghematan sebenarnya terdiri atas dua langkah. Pertama adalah memotong biaya yang buntutnya adalah penurunan kualitas dan atau kuantitas. Kedua, kita sebenarnya tak benar-benar memotong biaya. Melainkan ada pihak lain yang membayarkan biaya itu untuk kita.

Sebelum lanjut, saya kembali ingin menjelaskan bahwa dalam skenario ini, satu tim yang saya hitung terdiri atas 15 pemain, 1 kepala pelatih, 2 asisten pelatih, dan 5 ofisial. Total ada (yang saya sebut) 23 kru. Mari kita mulai lagi, dengan sedikit lebih realistis.

Untuk gaji, saya ambil angka ekstrim. Setiap pemain dan ofisial hanya mendapat bayaran sesuai dengan upah minimum regional (UMR). Angka UMR yang dipakai adalah milik Kota Jakarta. Saya bulatkan jadi 4 juta. Ada 15 kru menerima 4 juta per bulan. Total 720 juta setahun.

Asisten pelatih, gajinya saya pangkas jadi hanya dapat masing-masing 5 juta. Jadi 120 juta setahun. Dan kepala pelatih kita pangkas gajinya jadi 10 juta saja per bulan, total 120 juta setahun. Total gaji keseluruhan jadi hanya 960 juta.

Beberapa tim sebenarnya (seolah) tidak mengeluarkan biaya besar untuk tempat tinggal. Mereka sudah memiliki mess berupa asrama atau rumah yang ditempati bersama. Seharusnya, pembangunan fasilitas ini juga bisa dikategorikan sebagai biaya. Tetapi karena bangunan tersebut seolah sudah ada dari sananya, maka biaya yang dibayarkan hanya yang standar pemeliharaan saja. Seperti bayar listrik, air, keamanan lingkungan, dan lain-lain. Rasanya bisa sekitar 10 juta saja per bulan. Kalikan dengan 12 bulan, maka akan keluar angka 120 juta. Jelas lebih kecil daripada angka sebelumnya 552 juta.

Pengeluaran untuk makan terhitung sangat besar di tulisan pertama. Ia bisa mencapai 2,5 miliar per tahun. Dengan menugaskan beberapa orang juru masak, angka ini bisa dipangkas ekstrim. Kalau tadinya satu kru dijatah 100 ribu per hari, bisa saja “si bibi” ditugaskan belanja sejuta sehari untuk semua kru dengan menu sama. Total pengeluaran setahun, maksimal hanya 365 juta.

Sepatu adalah pengeluaran yang cukup sulit dipangkas. Kalau di tulisan pertama terjatah 1 kru mendapat 3 sepatu per tahun dengan total nilai maksimal 8 juta, maka angka ini kita pangkas ke 5 juta saja per kru per tahun. Totalnya jadi

115 juta per tahun. Angka ini masih bisa turun lagi bila tim berhasil bekerja sama dengan toko sepatu atau mengurangi lagi jumlah jatah atau harga sepatunya.

Biaya kuliah juga besar. Bisa mencapai angka 450 juta bila semua pemain berkuliah. Tapi kalau setiap tim mampu meyakinkan kampus untuk bekerja sama dengan memberikan beasiswa kepada 15 pemain, maka pengeluaran ini bisa jadi nol.

Kalau di tulisan pertama saya memukul rata harga transportasi dan akomodasi, di tulisan kedua ini kita bisa mulai memilah-milah, mana kota-kota yang bisa dicapai dengan pesawat terbang, dan mana yang cukup dengan kereta api saja. Agar tampak sedikit nyata, kita anggap tim yang sedang dihitung biayanya ini ada di Jakarta dan akan menjalankan kompetisi IBL 2020.

Saya membuat daftarnya di bawah sekalian dengan moda transportasi yang dipakai ke sana.

Musim reguler

Seri I Semarang, pesawat PP 1,2 juta per orang
Seri II Bandung, kereta api PP 300 ribu per orang
Seri III Jakarta, -
Seri IV Yogyakarta, pesawat PP 1,4 juta per orang
All-Star Yogyakarta, -
Seri V Kediri, pesawat PP 1,6 juta per orang
Seri VI Surabaya, pesawat PP 1,6 juta per orang
Seri VII Semarang, pesawat PP 1,2 juta per orang
Seri VIII Yogyakarta, pesawat PP 1,4 juta per orang

Playoff

Malang, pesawat PP 3 juta per orang
Bandung, kereta api PP 300 ribu per orang
Final home-and-away, ambil kemungkinan kota terjauh saja Surabaya, pesawat PP 1,6 juta per orang.

Total semuanya setelah dikalikan 23 kru adalah 312.800.000. Angka ini lebih besar daripada kiraan di tulisan pertama karena ada 10 seri yang harus dijalani. Di tulisan pertama hanya ada enam. Bila mengikuti jumlah seri seperti di tulisan pertama, maka angkanya kembali akan lebih menurun drastis.

Untuk penginapan atau hotel, kita ambil saja angka yang sama dengan tulisan pertama, namun serinya bertambah. Angka yang keluar adalah 288 juta.

Transportasi dan hotel ini sebenarnya masih sangat bisa diperas lagi. Dulu, dalam salah satu seri di NBL Indonesia, saya pernah datang ke penginapan salah satu tim. Mereka tidak tinggal di hotel. Melainkan hanya di asrama biasa yang harganya bisa saja sangat-sangat murah.

Demikian pula dengan transportasi. Mensubstitusi pesawat dengan kereta api walau jaraknya cukup jauh juga pernah dilakukan oleh beberapa tim. Kasus beberapa pemain tim Siliwangi yang nyetir sendiri dari Jakarta ke Surabaya di musim lalu juga bisa jadi alternatif, kalau pemilik timnya tega.

Sampai di sini, total pengeluaran tim sudah di angka 2.160.800.000. 

Mari kita lanjutkan ke pengeluaran selanjutnya, yaitu latihan.

Beberapa tim IBL sudah memiliki dua fasilitas latihan utama (lapangan basket dan pusat kebugaran). Baik itu pusat kebugaran (seadanya) yang berada di mess, serta lapangan dalam bentuk GOR milik sendiri ataupun bekerjasama dengan pihak lain. Oleh karenanya, saya memaksakan diri untuk menganggap dua pengeluaran ini di angka nol. Apalagi beberapa tim juga berhasil menjalin kerjasama dengan beberapa pusat kebugaran yang logonya mereka tampilkan di jersey masing-masing.

Untuk biaya lain-lain atau yang tak terduga, saya memilih menyamakan dengan tulisan pertama yaitu 1 miliar. Jadi total semua pengeluaran selama setahun yang cukup realistis adalah 3.160.800.000,- alias sekitar 3 miliaran.

Bagi saya, rasa-rasanya biaya itu sudah sangat ditekan. Namun, percaya atau tidak, ada tim-tim yang mendaku mengeluarkan lebih kecil daripada itu. Bahkan hingga di bawah 2 miliar.

Biaya apa lagi yang bisa dipotong?

Entahlah. Barangkali biaya tak terduga yang mencapai angka 1 miliar tadi tak sampai keluar. Angka-angka di atas juga memperhitungkan bila tim sampai ke babak final. Jadi, kalau tim tersebut tak sampai final, maka biayanya akan berkurang lagi. Tentunya, ada biaya-biaya lain yang belum disebutkan di atas. Yang angkanya bisa cukup signifikan atau tidak terlalu berpengaruh.

Kesimpulan tulisan ini, memiliki sebuah tim IBL setahun ternyata “tidak terlalu” mahal. Hanya sekitar 2M-an atau 3M-an. Pertanyaan selanjutnya, dari mana mereka yang memiliki tim saat ini mengumpulkan uang untuk membiayai timnya?

Nanti kita cari tahu lagi.(*)

(bersambung)

Foto: Hariyanto

IBL

Komentar