Efektivitas tembakan (eFG%) adalah salah satu dari empat faktor kemenangan yang paling penting menentukan kesuksesan sebuah tim dalam suatu kompetisi tingkat dunia. Hal tersebut terbukti pada Piala Dunia 2019 Cina. Dari seluruh kemenangan di kompetisi tersebut, sekitar 87 persen di antaranya diraih oleh tim-tim yang berhasil unggul di faktor efektivitas tembakan.
Rata-rata efektivitas tembakan dari seluruh peserta (32 negara) adalah 50 persen. Sementara rata-rata efektivitas tembakan dari 8 negara yang berhasil memasuki babak eliminasi adalah 54 persen. Sedangkan rata-rata efektivitas tembakan dari perwakilan Asia (6 negara) adalah 46 persen. Angka-angka tersebut menunjukkan jarak yang sangat jauh di antara negara-negara yang mendominasi perbasketan dunia dengan tingkat Asia.
Efektivitas tembakan negara Filipina, yang selalu mendominasi Asia Tenggara, hanya sebesar 44 persen. Demikian pula dengan efektivitas tembakan beberapa negara Asia lainnya yang cukup rendah dan di bawah rata-rata, seperti Cina (48 persen), Jepang (43 persen), Jordan (47 persen), dan Korea Selatan (44 persen). Iran menjadi satu-satunya perwakilan Asia yang memiliki nilai efektivitas tembakan yang di atas rata-rata dengan 52 persen. Seperti yang telah kita ketahui bahwa negara-negara Asia tersebut telah berulang kali menumbangkan Indonesia dengan jarak skor yang tidak sedikit.
Efektivitas tembakan negara-negara perwakilan Asia tersebut cenderung meningkat drastis ketika berkompetisi di tingkat Asia. Misalnya, efektivitas tembakan Filipina yang mencapai 59 persen dan Korea Selatan yang sebesar 55 persen ketika berkompetisi di William Jones Cup 2019. Secara tim, Filipina yang diwakili oleh Mighty Sports, memang tak berkorelasi langsung dengan tim Filipina di Piala Dunia 2019. Namun, data yang tersampaikan kurang lebih memperlihatkan kemampuan para pemain asal Filipina. Membandingkan dengan data di atas, efektivitas tembakan Indonesia ketika berpartisipasi di kompetisi yang sama adalah sebesar 47 persen. Silahkan pembaca membayangkan sendiri: “Kira-kira berapa besarkah sebaiknya efektivitas tembakan tim Indonesia apabila akan berpartisipasi di kejuaraan dunia?”
Efektivitas tembakan adalah masalah utama bagi tim-tim terkuat di dunia. Namun, masih belum menjadi masalah utama di Indonesia karena masih dikalahkan oleh faktor yang seharusnya sudah tidak menjadi masalah besar, yaitu faktor kesalahan sendiri (turnover) dan rebound. Statistik menunjukkan bahwa tim putra Indonesia tidak hanya memiliki efektivitas tembakan yang paling rendah, tapi juga memiliki persentase turonver yang paling besar dan persentase rebound yang paling rendah pada William Jones Cup 2019.
Turnover adalah masalah terbesar di Indonesia, yang tidak hanya dialami oleh timnas basket putra, tetapi juga timnas basket putri. Statistik di kompetisi Park’s Cup 2019 menunjukkan, timnas basket putri Indonesia memiliki persentase turnover tertinggi, sebesar 25 persen (rata-rata di kompetisi tersebut hanya sebesar 18 persen).
Beberapa pertandingan yang seharusnya dapat dimenangkan karena efektivitas tembakan yang lebih baik, ternyata harus berakhir dengan kekalahan karena jumlah kesalahan sendiri yang terlalu besar.
Masalah turnover tidak hanya terlihat di tingkat tim nasional, tetapi juga terlihat di tingkat Pra-PON 2019. Sekitar 82 persen kemenangan di bagian putra memiliki keunggulan di faktor persentase turnover, dibandingkan dengan keunggulan efektivitas tembakan yang hanya sebesar 64 persen. Hal tersebut memberikan gambaran bahwa kurangnya kualitas fundamental basket di kalangan atlet Indonesia secara menyeluruh.
Fundamental adalah masalah yang tidak bisa diselesaikan dengan cara beruji coba sesering mungkin ke mancanegara untuk menimba pengalaman dan belajar dari kekalahan. Fundamental dikembangkan dengan cara mengembangkan teknik dasar gerakan-gerakan basket secara disiplin. Kemudian gerakan-gerakan tersebut diaplikasikan pada berbagai skenario permainan basket bersama dengan rekan-rekan di tempat latihan masing-masing.
Dilanjutkan dengan sesi video dan diskusi antara pelatih dengan atlet atau sesama atlet untuk membahas aplikasi gerakan dasar dalam suatu skenario dan sistem permainan (diskusi harus membahas pertanyaan-pertanyaan mengenai apa, di mana, kapan, mengapa dan bagaimana eksekusi maupun antisipasi hal-hal yang mungkin terjadi). Tidak kalah pentingnya adalah latihan pengembangan fisik yang dibutuhkan untuk melakukan gerakan-gerakan tersebut dengan bertenaga dan berkekuatan besar, di samping untuk mengurangi risiko cedera.
Ketika pengembangan fundamental maupun fisik telah memenuhi target dalam jangka maktu tertentu (misalnya 3-4 bulan), barulah mulai merencanakan untuk melakukan uji coba di suatu kompetisi untuk mengevaluasi hasil pengembangannya. Sebaliknya, apabila para atlet disibukkan dengan berbagai kompetisi di mana-mana yang mengonsumsi banyak waktu dan energi, maka atlet-atlet tersebut tidak memiliki durasi waktu yang cukup untuk mengembangkan diri dan hasilnya adalah seperti yang sudah kita lihat sendiri dalam situasi dan prestasi basket Indonesia saat ini.
Tanpa adanya perubahan pola pikir dan perubahan sistem pengembangan atlet, maka prestasi basket Indonesia hanya akan terus melangkah maju ke depan tanpa menanjak ke atas. Mungkin memang sudah puas di tingkat ini, yaitu tingkat di mana sudah dapat mengaku sudah “kasih yang terbaik” dengan permasalahan kesalahan sendiri yang berulang-ulang.
Analisis data: Didik Haryadi
Foto: FIBA, Yoga Prakasita.