Hari ini, 16 September 2019, Chrismansyah Rahadi berulang tahun ke-70. Bila Anda asing dengan nama itu, maka nama Chrisye akan terasa dekat dengan kita. Menyebut namanya akan membuka cakrawala tentang seorang legenda musik Indonesia. Warisannya abadi. Lagu-lagunya akan tak lekang oleh waktu walau ada ribuan lagu baru yang muncul.

Ibu saya memperkenalkan Chrisye semasa kecil. Beliau mengoleksi beberapa karyanya dalam bentuk kaset dan artikel majalah yang entah ada di mana sekarang. Antusiasmenya membuncah kala video klipnya diputar di televisi nasional. Setelah beranjak dewasa, saya mencari jawaban mengapa ibu begitu mengidolainya.

Tidak perlu jauh-jauh untuk menemukan teladan tentang kerja keras. Pria keturunan Tionghoa-Sunda ini bisa jadi simbol bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Perjalanan karirnya terbilang terjal. Sebelum terkenal, Chrisye menunjukkan bagaimana ia berjuang untuk hidup dari menyanyi. Ia kerap jatuh sakit ketika menggarap album demi menghasilkan karya terbaik bagi para penggemar. Albumnya berjumlah puluhan. Bayangkan berapa kali ia harus sakit demi menyajikan apa yang dinanti penggemarnya.

Menjadi bintang besar juga tak menjadikannya sebagai pribadi flamboyan. Kehidupannya jauh dari pemberitaan miring apalagi gosip kedekatan dengan banyak perempuan. Hanya satu orang yang ia cintai, Damayanti Noor, yang kemudian ia nikahi.

Kegigihan dalam bekerja adalah yang patut kita contoh. Chrisye tidak akan jadi seperti yang kita kenal bila ia tidak bekerja keras demi apa yang ia yakini. Selain itu, sosoknya dikenang sebagai pria yang dekat dengan keluarga. Setelah bertahun-tahun sakit, ia meninggal di rumahnya di samping istrinya. Seluruh honorarium karyanya juga telah diberikan bagi keempat anaknya. Bagaimanapun, kita sebagai rakyat Indonesia patut bersyukur dan menghormatinya. Perjalanan hidup Chrismansyah "Chrisye" Rahadi layak jadi inspirasi.

Chrisye adalah penyanyi dan komposer yang lahir dan besar di Jakarta. Relasinya yang luas mempertemukannya dengan nama-nama besar di kancah musik: Guruh Soekarnoputra, Addie MS, Eros Djarot, Sys N.S, Ian Antono, Erwin Gutawa, dan seterusnya. Mereka membantunya mengembangkan karir bermusik hingga masuk ke label rekaman besar. Di penghujung hidupnya, Ungu dan Peter Pan –kini Noah– adalah sebagian musisi modern yang menjadikannya kolaborator.

Alberthiene Endah dua kali mengabadikan kehidupan Chrisye dalam buku biografi. Buku “Chrisye: Sebuah Memoar Musikal” diterbitkan pada 2007 lalu “The Last Word of Chrisye” yang dirilis tiga tahun setelahnya. Buku pertama menjelaskan bagaimana cerita masa muda sementara buku kedua lebih banyak bercerita tentang sisi-sisi lain kehidupan Sang legenda.

Chrisye berpose dengan latar Patung Liberty.

Dunia musik telah dikenalnya sejak muda. Bing Crosby, Frank Sinatra, dan Nat King Cole adalah musisi Hollywood yang menghiasi ruang dengarnya memanfaatkan piringan hitam milik ayah. Setelah itu, gandrung The Beatles menjajah Indonesia. Tentu Chrisye tak ingin ketinggalan. Selang beberapa lama, ayahnya ingin memberinya hadiah gitar sebagai dukungan atas ketertarikan Chrisye pada musik. Gitar bass jadi pilihannya sementara Joris, saudara kandungnya, memilih gitar akustik. Keduanya sering bermain musik hingga beberapa kali berkesempatan menghibur di sekolah.

Suami Damayanti Noor itu terus manggung hingga ke jenjang kuliah. Kegiatan bermusiknya semasa kuliah sangat padat. Alhasil, Chrisye mengundurkan diri dari Universitas Kristen Indonesia guna bermain musik dengan sebuah band bernama Gipsy. Setelah itu, ia mencoba kembali berkuliah dengan jadwal yang lebih fleksibel. Ia kembali kesulitan membagi waktu hingga akhirnya memutuskan untuk hanya fokus bermusik.

Tahun 1973, Chrisye bersama band yang ia ikuti mendapat kesempatan bermain di New York. Mereka bermain di Ramayana Restaurant yang dikelola Pertamina. Chrisye dan seluruh personil tinggal di sebuah apartemen di area Fifth Avenue. Kini, gedung itu bertetangga dengan NBA Store terbesar di Amerika Serikat. Ia sempat pulang di akhir 1973 lalu kembali dengan band lain bernama The Pro’s.

Masa-masa kelam Chrisye terjadi pada 1975. Beberapa bulan sebelum kontraknya dengan Pertamina habis, ia mendapat kabar dari orang tuanya kalau Vicky Rahadi –adik kandungnya– meninggal akibat infeksi lambung. Ia merasa kehilangan. Keadaan diperburuk dengan jarak yang membuatnya tidak bisa pulang dengan segera. Sedangkan di sisa waktu yang ada, ia harus tetap tampil menghibur di restoran. Seketika waktu yang dinanti tiba, ia bergegas kembali dan tak berhenti menangis sepanjang New York-Jakarta. Guna menenangkan diri dari depresi, Chrisye tidak mau bersentuhan dengan musik dalam beberapa waktu.

Setelah dirasa siap, Chrisye bertemu Guruh Soekarnoputra untuk membicarakan proyek musik. Anak terakhir Ir. Soekarno itu menunjuknya menjadi vokalis untuk sebuah band yang ia dirikan bernama Guruh Gipsy. Mereka berkarya hingga menelurkan sebuah album. Dari sinilah Chrisye membangun kepercayaan diri untuk jadi penyanyi tunggal.

Lagu pertamanya sebagai solois adalah “Lilin-lilin Kecil” yang dirilis pada 1976. Selang dua tahun, Eros Djarot mengajaknya memproduksi lagu untuk film “Badai Pasti Berlalu”. Album perdana bertajuk “Sabda Alam” dirilis di tahun yang sama. Seluruh lagu direkam menggunakan metode double-recording terinspirasi dari The Beatles. Album ini sukses terjual 400.000 keping. Setelah itu ia terus berkarya dan menelurkan karya-karya akbar lainnya.

Total sudah ada 31 album yang terdiri atas satu album bersama Guruh Gipsy, 21 album solo, dan sembilan album kompilasi melansir berita dari Kantor Berita ANTARA pada 2007. Albumnya terjual lebih dari 100.000 keping dimulai pada album kedua. Chrisye meninggal pada 30 Maret 2007 akibat kanker paru-paru yang disebabkan karena kebiasaan merokok yang ia jalani sejak SMA.

Satu hal yang membuat Chrisye begitu spesial adalah tentang karyanya. Ia akan selalu dikenal dengan vokal tenor dengan timbre yang khas. Sudah banyak sosok berkompeten di industri musik nasional memujinya. Imajinasi artistiknya dalam bermusik juga mengagumkan. Lagu “Semusim” yang berkolaborasi dengan Waljinah menurut saya adalah yang terbaik.

Di zaman belum ada media sosial, Chrisye telah sukses memasarkan karyanya hingga seantero Nusantara bermodal TVRI dan radio. Soal paras? Ada banyak sekali penyanyi yang tampil lebih menarik dan modis dibanding Chrisye. Gesturnya di atas panggung pun terbilang kaku dan kurang atraktif. Namun, semuanya terbayar lunas dengan kualitas tembang yang sukses memanjakan telinga berbagai pihak. Sudah tak terhitung jumlah penghargaan yang didapat.

Ia  telah mengukuhkan diri sebagai salah satu penyanyi pria terbaik yang dimiliki Indonesia. Tak ada sensasi yang tersaji. Obrolan tentangnya tak pernah lepas seputar lagu: lirik yang mendalam, komposisi musik berkualitas, dan lainnya. Bayangkan betapa besar Chrisye andai karyanya dipasarkan dengan bantuan internet seperti sekarang.

Foto: Reproduksi sampul Album Pantulan Cinta (1981), dokumentasi pribadi Chrisye

Komentar