Beberapa waktu terakhir, dunia basket Indonesia terus disibukkan tentang wacana persiapan tim nasional (timnas) yang juga berpengaruh ke penyelenggaraan liga profesional Indonesian Basketball League (IBL). Berbagai wacana tersebut berujung pada mundurnya Stapac Jakarta dari IBL 2020 dan membuat IBL total kehilangan dua tim untuk musim depan. Sebelum Stapac, Bogor Siliwangi juga mundur dengan permasalahan operasional yang berantakan.
Stapac mundur lantaran mereka tidak memiliki pemain untuk mengarungi musim baru. Hal tersebut terjadi usai lima pemain mereka dipanggil dalam proyeksi jangka panjang timnas Indonesia untuk tampil di berbagai ajang. SEA Games 2019 yang terdekat, lalu ada kualifikasi Asia, hingga acara puncak yang digadang-gadang dan dinanti, Piala Dunia FIBA 2023 yang akan digelar di Jepang, Filipina, dan Indonesia.
Badan Tim Nasional (BTN), Perbasi, dan IBL lantas bersinergi dan sudah mengumumkan bahwa timnas Indonesia akan turun berlaga di IBL 2020. Hal itu membuat IBL 2020 akan diikuti oleh sembilan tim, tidak jadi delapan usai mundurnya Stapac dan Siliwangi. Nantinya, setiap tim IBL selain timnas akan diperbolehkan menggunakan tiga pemain asing. Namun, hanya dua yang boleh berada di lapangan secara bersamaan.
Segala fakta di atas terus membuat saya bertanya, seberapa besar urgensi timnas Indonesia untuk tampil di Piala Dunia 2023? Apakah urgensi tersebut layak membuat mereka mengesampingkan hal-hal lain salah satunya level kompetisi liga dan pertumbuhan basket itu sendiri?
Perkara urgensi Indonesia tampil di Piala Dunia 2023, ucapan yang selalu terucap dari para pemegang keputusan di timnas adalah, “Kita tidak ingin sekadar menjadi tuan rumah, kita juga ingin berlaga.”
Pertanyaan yang terus berputar di kepala saya adalah, “Apa yang salah dengan menjadi tuan rumah saja?”
Menjadi tuan rumah bukanlah hal mudah, saya rasa pihak BTN dan Perbasi lebih tahu banyak tentang itu. Kalau memang mudah, maka semua negara bisa menjadi tuan rumah, tak perlulah negara seperti Jepang, Spanyol, Brasil, dan Argentina terpilih dua kali menjadi tuan rumah sejak pertama kali Piala Dunia digelar 1950 lalu.
Dari sisi sini, bisa disimpulkan bahwa menjadi tuan rumah bukanlah hal mudah, dan ada baiknya kita mempersiapkan dengan baik serta total untuk menjadi tuan rumah tersebut. Karena pada akhirnya, kesiapan dan cara kita menjamu para pemain hingga penggemar akan menjadi sorotan masyarakat luas.
Sebagai pembanding, kita bisa menengok ke Piala Dunia Sepak Bola (FIFA) di Afrika Selatan 2010 lalu. Kala itu, banyak sekali permasalahan yang terjadi di sana. Mulai dari sarana, prasarana, hingga banyaknya kriminalitas yang terjadi. Hal itu memancing ketakutan banyak pihak juga untuk kembali menggelar acara-acara penting di sana dan citra buruk untuk bangsa sendiri.
Jadi, rasanya tak perlu malu untuk tidak tampil di Piala Dunia 2023. Apalagi jika melihat skuat yang ada, rasanya kita juga menemui kesulitan bersaing jika rencana jangka panjang timnas hanya bermain di IBL. Timnas adalah tim yang dihuni deretan pemain terbaik di satu negara. Jika mereka digabungkan dalam satu tim dan bermain melawan pemain lain yang tidak terpilih, besar kemungkinan timnas akan menang, mudah atau tidaknya relatif.
Gap pemain lokal ini lantas berusaha dikurangi oleh IBL dan BTN dengan kebijakan tiga pemain asing. Hal ini juga tak melulu baik apalagi hasil pertandingan dengan timnas tetap dihitung. Hal ini akan membuat setiap tim mengejar kemenangan dan memaksa pemain asing bermain lebih banyak dan mengesampingkan pemain lokal.
Tak sampai di situ, persoalan pemain asing juga harusnya mendapat sorotan lebih. Sejauh ini, sejak pemain asing pertama kali digunakan IBL, hanya beberapa yang secara ketangkasan bisa dibilang mumpuni dan mampu memberi transfer ilmu ke pemain-pemain.
Mengapa demikian? Karena pemain yang masuk dalam kolam pemain untuk dipilih juga bukanlah pemain yang memiliki catatan apik. David Seagers, Dior Lowhorn, Savon Goodman, Kendal Yancy, Gary Jacobs, Anthony Simpson, dan DaShaun Wiggins adalah deretan nama yang memiliki catatan apik di curriculum vitae mereka sebelum datang ke Indonesia. Sisanya? Nyaris sulit dilihat (silakan cari statistik mereka utamanya efisiensi).
Keputusan menggunakan pemain asing demi meningkatkan level permainan timnas bisa terjadi jika IBL dan BTN pun rela meningkatkan subsidi mereka untuk pemain asing. Dengan itu, tim bisa memilih pemain-pemain yang setidaknya memiliki kualitas lebih baik. "Ya, ada barang, ada harga". Saran lain, kolam pemain asing IBL juga selayaknya mempertimbangkan pemain di luar Amerika Serikat.
Bagi saya, masih ada hal yang jauh lebih penting untuk basket Indonesia ketimbang hanya bermain di Piala Dunia. Perbaikan sarana dan prasarana basket adalah salah satu hal utama. Lapangan basket memang sudah cukup banyak jumlahnya, tapi yang layak dan aman untuk digunakan hanya beberapa. Bahkan, lapangan yang digunakan untuk liga tertinggi saja hanya beberapa yang memiliki Air Conditioner (AC). Dana subsidi untuk pemain asing dan pemusatan latihan mungkin bisa dialokasikan ke area ini.
Lalu jelas, level permainan para pemain Indonesia masih sangat jauh dari negara-negara langganan Piala Dunia. Akuilah, saya rasa tidak akan ada yang menentang hal ini. Salah satu penghambat kita mengejar level permainan negara-negara maju itu adalah kembali ke hal-hal yang sudah saya sebutkan, sarana. Bagaimana seorang pemain ingin berlatih memasukkan 1000 tembakan tripoin jika lapangan latihan mereka saja masih bersifat menyewa dan terbatas waktu? Tidak ada AC pula.
Di pandangan saya, Indonesia tak perlu ngotot tampil di Piala Dunia 2023. Masih banyak Piala Dunia lain yang bisa kita capai jika pandangan kita jauh ke depan dan tak lagi mengharapkan hasil instan. Semua dibangun jangka panjang, yang di mana kata “panjang” sebenarnya sangat relatif (seperti semua kata sifat lainnya). Namun, saya yakin, setiap negara yang tampil di Piala Dunia tahu, bahwa lima tahun bukanlah jangka yang panjang.
Filipina yang kita kenal terkuat di Asia Tenggara bahkan Asia saja, tak bisa banyak bicara di level setinggi itu. Satu-satunya medali yang pernah diraih Filipina adalah medali perunggu, terjadi di gelaran tahun 1954, jauh dari basket yang kita kenal sekarang. Padahal, basket adalah olahraga nomor satu mereka, beberapa bahkan tak sungkan menyebut basket adalah agama. Di Indonesia? Kita masih dalam tahap memperbanyak partisipasi untuk basket, itu pun masih banyak penghalangnya.
Banyak hal yang lebih penting untuk basket Indonesia ketimbang tampil di Piala Dunia dan masyarakat tahu itu. Tampil di Piala Dunia memang keren, tapi jika tampil hanya untuk dikalahkan dengan margin lebih dari 50 poin rasanya tak ada ilmu yang kita dapat. “Kekalahan ini membuat kita tahu seberapa jauh level basket kita dibanding negara A.”
Pertanyaannya, “Jika ada sambal yang bertuliskan dibuat dari 100 buah cabai, apakah Anda perlu memakannya hanya untuk tahu itu pedas atau tidak?”
Indonesia akan menjadi jawara basket dunia, saya tahu dan yakin atas hal itu. Tapi di sisi lain, saya juga yakin bahwa itu tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Semua butuh proses, bahkan mie instan pun ada proses buka bungkus hingga masaknya. Jadi, rencanakan semuanya dengan matang, terukur, dan lebih dari 10 tahun lamanya.
Sama seperti membentuk sebuah perusahaan saja, tapi berbeda tujuan. Target timnas bukanlah profit, melainkan meraih prestasi. Prestasi yang akan terus bisa kita capai bahkan sampai 100 tahun ke depan. Mungkin bisa dibantu menggunakan metode penentuan target “SMART” yang ada banyak tersebar di dunia maya hingga buku-buku fisik dan metode “PDCA” dalam prosesnya.
“Tidak ada yang tidak mungkin,” kita semua tahu hal itu.
“Bola itu bundar, apapun bisa terjadi,” kita semua juga tahu hal itu.
Tapi mau sampai kapan kita bergantung pada kemungkinan yang tidak bisa kita kontrol? Bukankah lebih baik kita berfokus memperbaiki variabel yang bisa kita kontrol demi memperbesar kemungkinan yang kita miliki?
Foto: Yoga Prakasita, Hariyanto