Apakah yang ada di pikiran sekelompok pihak yang selalu menyuarakan sudah “kasih yang terbaik” dan “tidak apa-apa” pada suatu kekalahan? Atas dasar apakah klaim sudah “kasih yang terbaik” tersebut selalu dilontarkan pada setiap hasil akhir yang tidak maksimal, yang dicapai oleh sebuah tim? Apakah memang benar adanya bahwa sudah kasih yang terbaik?
Pertanyaan tersebut muncul ketika penulis merenungkan ceramah dari seorang profesor ahli jiwa beberapa tahun silam di Negeri Paman Sam, mengenai besarnya pengaruh slogan yang berulang-ulang ditanamkan secara vokal maupun visual di media sosial, pada perkembangan mental para profesional muda dan pelajar (usia di atas 16 tahun), termasuk para atlet.
Pada dasarnya, seorang atlet profesional dapat dikatakan sudah memberikan yang terbaik apabila sudah memenuhi target sesuai dengan apa yang direncanakan berdasarkan hasil evaluasi harian, mingguan, bulanan, dan tahunan. Hal tersebut menunjukkan bahwa untuk dapat dikatakan sudah memberikan yang terbaik, berarti sudah menunjukkan kedisiplinan atau kekonsistenan yang tanpa cela dalam upaya mencapai target pada sepanjang tahunnya.
Bagi yang belum memenuhi syarat untuk disebut telah memberikan yang terbaik, tetapi memiliki prestasi yang cukup baik atau sangat baik, maka dapat dikatakan telah berusaha dengan cukup baik atau sangat baik, tergantung dari parameter yang telah ditetapkan. Sebuah kekeliruan apabila para atlet ditanamkan pemikiran bahwa mereka sudah memberikan yang terbaik, walau sebenarnya tidak demikian.
Hal lain yang sering kita dengar adalah kalimat “tidak apa-apa” yang sering disalahgunakan sebagai “tidak perlu takut berbuat salah”. Pemahaman bahwa seorang atlet dan profesional tidak perlu takut berbuat salah dalam prosesnya adalah tidak keliru, selama mengikuti prosedur dan perencanaan yang telah ditetapkan. Akan tetapi, bukan berarti melakukan kesalahan adalah sesuatu yang tidak apa-apa, melainkan harus ada konsekuensi dan harus dievaluasi.
Yang masih menjadi masalah adalah pemahaman perbuatan salah yang masih sering dihubungkan dengan hukuman yang melibatkan emosional (subjektivitas) dalam upaya penegakkannya. Menariknya, terdapat kecenderungan bahwa keterlibatan subjektivitas justru malah berpotensi memberikan hasil yang berbanding terbalik dari yang diharapkan, pada generasi milenial dan setelahnya. Dengan demikian, seharusnya perbuatan salah hanya berhubungan dengan konsekuensi yang telah ditetapkan pada perencanaan, dan tidak lebih dari itu.
Yang lebih memprihatinkan lagi adalah apabila menyuarakan “tidak apa-apa” pada suatu ketertinggalan atau ketidakunggulan dibandingkan dengan kompetitor lainnya, dengan berbagai alasan kekurangan pada berbagai faktor pendukung. Hal tersebut akan membentuk mentalitas para profesional yang pasrah apa adanya, kurang inovatif, dan kurang kreatif.
Suatu ketertinggalan sudah seharusnya dianggap sebagai suatu masalah dan bukan hal yang disikapi sebagai suatu ketidakapa-apaan dan kemakluman, yang hasilnya dapat disambut dengan senyuman, apalagi tawa dan canda.
Salah satu faktor paling mendasar yang menentukan kemajuan suatu bangsa adalah mentalitas dan edukasi. Sumber daya manusia yang bermental pekerja keras, tidak mau kalah, pantang menyerah, haus belajar, serta didukung oleh pengetahuan yang memadai, maka tidak akan pasrah dan memaklumi keadaan yang serba berkekurangan, melainkan akan berusaha berinovasi atau bahkan berkreasi di dalam lingkungannya tersebut. Disadari atau tidak, bahwa mentalitas dan edukasi adalah salah satu pembeda yang paling signifikan, antara suatu bangsa yang sudah maju dengan yang belum.
Dari pembahasan di atas, bisa timbul pertanyaan atau pernyataan di antara para pembaca, yang mungkin beberapa di antaranya adalah seperti ini:
“Bagaimana caranya membuat cabang olahraganya maju kalau kurang dukungan pemerintah?”
“Mustahil bisa maju cabang olahraganya kalau kurang sarana, kurang kompetisi, kurang dana!”
“Bicara dan berteori sih mudah, praktiknya sulit!”
Penulis hanya memiliki satu kalimat untuk menanggapi pertanyaan dan pernyataan tersebut:
Saudara-saudari tidak akan ke mana-mana dengan mentalitas demikian dan terbukti bahwa selama ini memang tidak ke mana-mana.
Pertanyaan berikut ini penulis lontarkan kepada para atlet untuk direnungkan dalam pikiran dan nurani masing-masing:
Berdasarkan skala 1-10, maka berapakah angka untuk nilai usaha Anda sejak hari pertama bulan Januari sampai hari terakhir bulan Desember pada setiap tahunnya, dalam upaya mendukung prestasi Anda sebagai atlet basket? Benarkah bahwa Anda telah disiplin, tidak hanya dalam hal latihan, tetapi juga disiplin dalam hal pola makan dan pemulihan, termasuk tidur? Benarkah bahwa selama ini Anda telah secara rutin mengembangkan wawasan dan pengetahuan, yang berhubungan dengan cabang olahraga yang Anda tekuni? Silahkan jujur pada diri sendiri demi kebaikan Anda.”
Apabila anda bisa mengulang kembali tahun-tahun yang telah Anda lewati, maka apakah sebenarnya Anda bisa memperbaiki usaha Anda dan berprestasi lebih baik lagi?
Bila jawaban Anda adalah 10, dengan performa dan prestasi yang sudah maksimal setiap tahunnya, maka ya memang benar bahwa Anda sudah kasih yang terbaik dan memang hanya segitulah kemampuan Anda.
Namun, bila jawaban untuk usaha Anda adalah kurang dari 10 dan sebenarnya Anda bisa memberikan performa dan prestasi yang lebih baik lagi, maka sebenarnya selama ini Anda belum kasih yang terbaik.
Setelah itu, sebaiknya Anda tuliskan 10 hal yang selama ini menghambat usaha Anda dalam upaya memberikan yang terbaik, dan sepuluh hal yang dapat mendukung Anda untuk menjadi lebih baik di kemudian hari. Hal-hal tersebutlah yang akan menjadi bahan evaluasi Anda sebagai atlet untuk berproses hingga menjadi lebih baik di periode akan datang.
Pertanyaan berikut ini penulis lontarkan kepada Anda sebagai orang tua:
Apakah Anda menghendaki apabila anak Anda berkembang di suatu lingkungan yang menanamkan pemikiran bahwa anak Anda selalu sudah “kasih yang terbaik” dan “tidak apa-apa” dengan apa pun hasil yang dicapai oleh buah hati Anda, termasuk berada di golongan yang tertinggal dan selalu kalah?
Silakan renungkan demi masa depan anak Anda masing-masing.
Foto: Adhyn