Muhammad Irman tampil impresif di IBL 2018-2019. Ia berhasil mengantarkan timnya, NSH Jakarta, ke playoff untuk pertama kali dalam sejarah. Mereka bahkan lolos dengan menjadi pemuncak klasemen Divisi Merah.
Irman sendiri mencetak sejarah sebagai individu di musim yang sama. Ia masuk ke dalam nominasi Most Improved Player of the Year. Namun, kalah oleh Widyanta Putra Teja dari Stapac Jakarta.
Meski demikian, pencapaian itu bukanlah pencapaian sembarang. Irman sudah bekerja keras untuk bisa sampai ke titik itu. NSH pun bangga dengan pencapaiannya. Sebab, perkembangan Irman berarti perkembangan NSH Juga.
Sayangnya, NSH gagal di playoff. Mereka tumbang di semifinal oleh Satria Muda Pertamina Jakarta. Irman dkk. harus libur lebih dulu.
Di jeda musim, Irman rupanya memutuskan berhenti dari dunia bola basket. Ia kembali ke kampung halamannya untuk menjalani kehidupan baru. Pemain kelahiran Denpasar, 12 Desember 1991 itu juga membuka usaha di sana. Saya sempat berbincang-bincang dengannya mengenai keputusan pensiun itu.
Saya dengar Kak Irman pensiun. Apalagi beberapa waktu lalu pemain-pemain NSH nge-post ucapan perpisahan. Apa, sih, yang bikin Kakak pensiun? Padahal musim lalu lagi improve.
Itu…bagaimana, ya, menjelaskannya?
Kebetulan kontrak saya habis sebenarnya. Okelah musim lalu saya lagi improve, tapi saya juga harus memikirkan soal ke depannya mau apa. Saya memang merencanakan itu sejak musim lalu. Saya merencanakan ingin setop dari basket sampai musim kemarin.
Pas momentumnya NSH lagi keangkat, saya juga lagi improve, di situ saya agak bingung untuk memutuskan: Lanjut atau tidak, ya?
Pada akhirnya saya memutuskan untuk berhenti saja. Cukup sampai di sini.
Waktu mau pensiun ada semacam halangan tidak dari—entah—manajemen, teman-teman, atau pelatih? Ada tidak yang mengajak lanjut?
Pasti, kalau dari klub dan teman-teman pasti ada yang begitu. Mereka pikir kami masih bisa main bareng. Cuma saya pikir tidak, deh, sudah cukup.
Saya sudah main sembilan musim di liga. Saya sudah bermain di dua tim. Saya rasa saya cukup di sini. Sekarang ingin coba—mulai start dari nol—dunia yang berbeda.
Rencananya ngapain?
Saya kerja di kantoran sekarang. Sama lagi ada usaha juga. Di Bali ada usaha.
Usaha apa?
Saya punya usaha coffee shop. Saya punya coffee shop dua. Satu sudah running, satu lagi sedang dibangun.
Kakak menilai karier selama di IBL dan NBL seperti apa? Sudah cukup puas?
Sebenarnya saya masih ada rasa penasaran untuk main. Sampai saat ini pun masih ada rasa penasaran. Kemarin lagi bagus-bagusnya, lagi improve. Saya, sih, sempat berpikir untuk satu setop lagi. Ingin bisa ke timnas.
Harapannya kemarin seperti itu. Bisa dapat kesempatan untuk dipanggil timnas. Entah itu 3x3 atau 5v5.
Harapan besarnya begitu. Tapi, mungkin belum. Belum dapat rezeki ke situ. Ya sudah, mau bagaimana lagi? Saya juga sudah berusaha untuk ke situ. Buktinya musim kemarin itu. Saya kasih yang terbaik untuk tim. Harapannya bisa sampai minimal seleksi timnas.
Kakak sudah sembilan musim di liga. Sempat juara, kan, ya dengan Aspac (kini Stapac Jakarta)?
Dua kali, pernah.
Rasanya juara seperti apa?
Sudah pasti senang banget. Terbayar. Di satu sisi, waktu juara di situ, kontribusi saya tidak terlalu besar. Minute play juga tidak terlalu banyak. Walaupun kami juara, tapi masih ada di hati, perasaan yang lebih bangga seandainya saya bisa berkontribusi lebih besar.
Senang, pasti senang, tapi ada rasa—seandainya saya bisa memberi yang lebih dari itu. Maksudnya, minute play saya masih kurang, kan. Seandainya dikasih kesempatan lebih, mungkin, akan lebih senang. Begitu, sih, waktu juara bareng Aspac.
Dulu Kakak bisa main basket profesional seperti apa ceritanya?
Saya sudah basket dari SMA. Selama saya di Bali, saya suka ikut kejuaraan ke Jakarta. Waktu itu tim-tim IBL suka scouting anak-anak berbakat. Soalnya dulu sistemnya pembinaan. Tidak seperti sekarang, kan.
Di situlah saya bertemu dengan salah satu ofisialnya Aspac—dulu Aspac, ya, bukan Stapac. Akhirnya ditanya-tanya: Mau tidak coba trial di sini?
Begitu ada jalan untuk ke situ, ya sudah saya coba. Sampai mereka sempat datang ke Bali pada 2010. Dari Bali itu, saya coba latihan, akhirnya ditawari untuk bergabung ke sana. Saya pindah ke Jakarta sampai bergabung dengan tim pertama saya, Aspac.
Apa yang Kakak dapat selama di Aspac selain gelar juara tadi?
Banyak, ya, mungkin dari pendidikan. Mereka memberi saya akses ke pendidikan. Saya diajari banyak hal, termasuk bagaimana cara bermain basket yang baik dan benar. Pengalaman dan kesempatan sudah dikasih sama Aspac.
Bedanya sama NSH?
Dari sisi apanya dulu, nih?
Segala macamnya, Kak.
Kulturnya berbeda banget. Semua tahu Aspac tim besar, NSH tim kecil. Dari segi kultur tim, metode latihan, fasilitas, dan cara manajemennya berbeda. Hampir all-around berbeda. Tapi, di NSH kami semuanya solid. Kami mau berbaur satu sama lain.
Kemarin NSH bisa step up di IBL. Apa yang bikin kalian begitu?
Kalau itu—satu—karena pelatih kami, Coach Wahyu (Widayat Jati). Dia selalu mendorong kami sampai limit-nya. Dari pola pikir dan pressure juga. Dia selalu nge-push sampai 100 persen.
Dari tahun sebelumnya kami di peringkat bawah, dia merombak sistem latihan, diubah, sampai berhasil. Kami itu—istilahnya—telah memulai latihan lebih dulu dari yang lain. Playoff belum jalan, kami sudah jalan latihan sebelum musim berikutnya.
Sudah siap-siap, ya?
Iya, makanya NSH bisa ada peningkatan yang drastis. Orang belum selesai pertandingan, kami sudah mulai persiapan untuk musim depan.
Cara main basket kami juga diubah sama Coach Wahyu. Pola pikir banyak yang diubah. Perannya di pelatih memang.
NSH punya banyak pemain muda. Sulit tidak mengatur atau mengayomi mereka?
Pemain muda itu sebenarnya lebih gampang. Mereka punya semangat yang lebih tinggi. Cuma di NSH tidak semua pola pikir bermain basketnya sama. Kendalanya di situ.
Soal semangat atau rajinnya latihan, mereka bolehlah tinggi, tapi pola pikirnya ini yang memang harus dirombak total. Itu kekurangan yang muda-muda di NSH.
Selama semusim kemarin mengalami perkembangan signifikan?
Jauh banget meningkatnya.
Kakak sekarang lagi kerja dan usaha, ada kemungkinan balik ke basket tidak?
Kayaknya tidak.
Atau belum kepikiran?
Tidak, tidak. Saya tidak ada pikiran untuk balik lagi. Kalau saya, sih, berpikir begini: Ibaratnya kalau saya sudah fokus, saya tidak mungkin balik lagi ke sana.
Saya sudah memulai hidup baru di sini. Dari nol lagi. Saya harus kasih 100 persen di sini. Karena ketika orang baru mulai, kita tidak bisa begitu saja meninggalkan yang sudah dimulai.
Oke kalau begitu. Semoga kerjaan dan usahanya di sana lancar ya, Kak. Terima kasih sudah mau ngobrol bareng Mainbasket.
Iya, sama-sama. Sukses juga, ya.
Foto: Hariyanto dan Dika Kawengian