"Ayah saya itu gila basket," kata Irsan Pribadi, pemilik, manajer dan penerus tim Pacific Caesar Surabaya. "Kalau sudah nonton basket, ia bisa lupa semuanya."

"Pernah dalam sehari dia menonton semua (empat) pertandingan dan tidak makan. Hanya minum air putih saja. Kami keluarganya yang khawatir," tutur Irsan.

Waktu itu bulan Maret 2017, kami satu kereta menuju Yogyakarta. Seri 7 IBL 2017 akan berlangsung di sana.

Basket Indonesia mengenal ayah Irsan dengan panggilan akrab Suk Fuk. Nama beliau Bambang Susanto, sosok lama dan sangat fanatik kepada basket Indonesia.

"Ayah saya marah sekali," kata Irsan kemarin, menyusul munculnya pernyataan Direktur/Commissioner IBL Hasan Gozali di tabloid Bola, Jumat, 22 September 2017.

Kemarahan tersebut membuahkan sebuah surat yang ditandatangani Irsan yang berisi niatan Pacific untuk mundur dari IBL mulai musim ini bila Hasan tidak meminta maaf dan mencabut pernyataannya di media massa yang sama.

Pernyataan Direktur IBL Hasan Gozali di tabloid Bola beberapa waktu lalu memang cukup mengejutkan. Ia tidak ingin "membuang-buang tenaga" menggelar IBL 2017-2018 Seri Surabaya. Alasannnya, 90 persen penggemar basket yang datang adalah pendukung CLS Knights Surabaya. Sementara, tim itu sudah undur diri dari IBL dan bergabung dengan ASEAN Basketball League (ABL).

Dalam surat tersebut, Pacific merasa tersinggung, dipandang sebelah mata, dan merasa tidak dihormati.

Terlepas dari kata-kata Hasan Gozali dan reaksi emosional dari Pacific Caesar Surabaya, ada satu hal yang perlu kita tanyakan bersama, "bijakkah meninggalkan Surabaya dalam rangkaian Seri IBL 2017-2018 mendatang?"

Mari coba renungi apa kira-kira alasan yang paling bisa diterima untuk menyetujui rencana IBL ini.

Kalau dikatakan mereka yang datang ke arena umumnya (90 persen) pendukung CLS Knights, masuk akal. Tentunya ketika CLS Knights bermain.

Masalahnya, kompetisi kita tidak bersistem tandang-kandang. Sistem kompetisi IBL adalah serial, di mana hampir semua atau semua tim mendapat kesempatan bermain saat mengunjungi satu kota penyelenggara. Jadi, kalau CLS Knights sedang tidak bertanding, adakah penonton yang datang adalah 90 persen pendukung CLS Knights?

Sepanjang mengikuti perkembangan basket Indonesia secara intensif sejak tahun 2010, kami menemukan bahwa pecinta basket di Indonesia juga unik. Selalu ada bahkan tidak sedikit pecinta basket di sebuah kota yang tidak hanya mendukung tim-tim yang berasal dari kota tersebut. Sederhananya, ketika Pelita Jaya bermain, Aspac, Satria Muda dan Garuda bermain di luar kota mereka, GOR selalu dikerubuti penonton. Lihat bagaimana Yogyakarta selama era NBL Indonesia selalu riuh bahkan sebelum kota itu punya regu bernama Bima Perkasa; atau tetap terdengarnya kehebohan pendukung Satria Muda, Aspac, Pelita Jaya dan CLS Knights saat bermain di C-Tra Arena Bandung saat melawan Garuda atau Siliwangi; atau di Malang saat melawan Bimasakti.

Lalu, kalau di Surabaya 90 persen pendukung CLS Knights, apakah artinya 10 persen adalah pendukung Pacific Surabaya?

Angka 90 persen rasanya hanya kiasan dari Hasan saja. Kita tidak pernah tahu berapa total penonton yang datang dalam satu seri IBL dan berapa persentase pendukung setiap tim yang berlaga di sana.

Sebaliknya, saya juga selalu yakin bahwa Pacific punya fans yang jauh lebih besar daripada 10 persen total pecinta basket profesional di Surabaya. Hanya saja, mereka mungkin memang butuh rangsangan untuk muncul.

Rangsangan ini bisa berupa promosi gencar-gencaran mengangkat nama Pacific (seperti yang dilakukan Bandung Utama di awal kehadiran mereka di Bandung), atau tentu saja dengan prestasi yang terus menanjak. Mana yang lebih penting? Rasanya dua-duanya penting. Promosi bisa dilakukan terlebih dulu. Prestasi menyusul.

Jangan lupa juga, Pacific bahkan lebih dulu beraksi di Kobatama alias basket profesional Indonesia ketimbang CLS (Knights). Jadi, penggemar-penggemar lama mereka boleh jadi tidak ke mana-mana, masih di Surabaya pada umumnya.

Membangun kembali basis massa pendukung Pacific adalah tugas liga dan Pacific sendiri, karena ini akan menguntungkan keduanya. Apalagi, pecinta basket di Surabaya sangat luar biasa dan kota Ibu Risma ini adalah kota terbesar kedua di Indonesia. Kalau dulu NBL Indonesia punya beban menumbuhkan kembali kecintaan semua pecinta basket kepada basket profesional Indonesia, IBL hanya punya tantangan di Surabaya saja.

Adakah niat keengganan menggelar kompetisi 2017-2018 karena di Surabaya sudah "tidak ada" arena atau GOR lagi?

Ini alasan yang tentunya sangat lucu. Banyak yang berasumsi (di komentar instagram @mainbasket) bahwa IBL bisa saja gengsi ke GOR Kertajaya karena CLS Knights sudah tak ikut kompetisi, dan tak mau ke DBL Arena karena milik DBL atau alasan-alasan nisbi (absurd) lainnya.

Sekali lagi, Surabaya punya tiga GOR yang bisa dipakai untuk IBL. Ada GOR Kertajaya rumah CLS Knights, DBL Arena dan GOR Pacific.

Benar CLS Knights sudah akan pindah kompetisi ke ABL, tapi bukan berarti GOR Kertajaya tak bisa digunakan. GOR Kertajaya ini sebenarnya aset milik Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Yayasan CLS adalah pengelolanya. Jadi, ia seharusnya bisa digunakan oleh siapa saja sesuai peruntukkan dan ketersediaannya. Tinggal atur jadwal saja agar tidak bentrok dengan jadwal CLS Knights di ABL. Kalau bentrok, geser waktunya. Toh, IBL belum menentukan jadwal penyelenggaraan. Kalau mentok, ada DBL Arena.

DBL Arena adalah salah satu arena basket terbaik di Indonesia. Arena yang dibangun untuk kompetisi Honda DBL ini selalu menjadi tempat penyelenggaraan seri-seri NBL Indonesia dari tahun 2010 sampai 2015. Tahun 2016 dan 2017, IBL tidak lagi berlangsung di DBL Arena, tetapi kembali ke GOR Kertajaya.

Azrul Ananda, pemilik DBL Arena pernah mengatakan bahwa dia dengan senang hati kalau IBL mau main di DBL Arena. Sepertinya, Arena berkapasitas lebih dari 3.000 penonton ini banyak kosongnya saat kompetisi IBL nanti bergulir.

Kalau, kalau DBL Arena pun tak bisa dipakai (dan GOR Kertajaya juga tak bisa digunakan), masih ada GOR Pacific, rumah Pacific Caesar Surabaya.

Ada yang mengatakan bahwa GOR Pacific tak layak sebagai tempat penyelenggaraan IBL. Layak tidak layaknya GOR Pacific sebagai tempat penyelenggaraan IBL, bagi kami, sangat bisa diperdebatkan. Secara kapasitas, ia terlihat lebih besar daripada GOR Sahabat Semarang. Lantai kayu baik. Lahan parkir? Kertajaya, C-Tra Arena, ah, GOR mana yang tidak pusing memikirkan area parkir? Panas? Tanpa pendingin ruangan, hanya C-Tra Arena Bandung yang terasa sejuk.

Sebagian lagi, ada juga yang berpendapat bahwa aneh jika tak ada Seri Surabaya sementara salah satu kontestannya (Pacific) ada di sana. Pecinta Pacific boleh berasumsi demikian. Apalagi dianggap hanya 10 persen saja dari pecinta basket Surabaya. Tapi harusnya, ini tak perlu dimasalahkan.

Hangtuah Sumsel hanya sekali main di Palembang dalam enam tahun terakhir. Satya Wacana sejak kehadirannya di tahun 2011 bahkan tak pernah main di Salatiga.

IBL harus tetap ada di Surabaya. Kota ini punya para fanatik basket yang gila. Harga tiket basket sejuta rupiah di era NBL Indonesia dibeli! Penonton kompetisi DBL bergantian menjejali DBL Arena. Tahu harga parkir mobil di pinggir Jalan Ahmad Yani ketika ada basket di DBL Arena? Seratus ribu rupiah! Itupun dibayar oleh orang Surabaya. Area parkir yang sedikit lebih jauh bisa sampai lima puluh ribu rupiah! Jadi, sulit menemukan alasan kenapa IBL harus meninggalkan Surabaya.

Takut sepi penonton? Rasanya tidak akan. Kota ini juga punya komunitas SM Fanatics, PJ Holics, Garuda Family dan Nations, dan lain-lain. Tugas IBL untuk mengumpulkan mereka. Gencarkan promosi, kerahkan kekuatan komunikasi massa. Tak ada CLS Knights di IBL Surabaya tak masalah. Pecinta IBL di Surabaya tetap banyak.

Namun bila IBL memutuskan meninggalkan Surabaya, itu tentunya hak penyelenggara. Walau rasanya usaha promosi di kota penyelenggaraan baru mungkin akan sama saja dengan usaha mengangkat jumlah penonton Surabaya tanpa CLS Knights.

Di lain sisi, jika IBL benar hengkang dari Surabaya, Pacific Caesar sebaiknya jangan mundur. Atau, setidaknya jangan mundur sekarang! Karena kalau mundur sekarang, maka Pacific harus membayar denda sebesar empat miliar rupiah.

Aturan sanksi denda empat miliar ini dikenakan jika tim peserta ingin mundur 90 hari sebelum hari pertama kompetisi bergulir. Aturan inilah yang beberapa waktu lalu membuat CLS Knights buru-buru mengundurkan diri dari IBL. IBL akan mulai bergulir 8 Desember 2017 atau kurang dari 90 hari sejak surat keluhan Pacific dikeluarkan (bila ini dianggap sebagai surat pengunduran diri). Uang empat miliar bisa dipakai untuk membangun kekuatan yang cukup tangguh sebelum batas waktu penyerahan nama-nama pemain pada akhir bulan November nanti. Mundur saat berada di atas lebih baik pastinya.

Melihat Pacific saat ini, IBL memiliki dua pilihan kaca mata: tim yang "hanya punya pendukung 10 persen" atau tim Surabaya "baru" yang bisa diangkat pamornya di IBL.(*)

Komentar