Rony Gunawan terlihat mulai kehabisan tenaga. Gerakannya tak lagi lincah. Bila sebelumnya ia beberapa kali melakukan tembakan fadeaway, kali ini ia lebih banyak mencari Yus atau Batam di area tembakan dua angka (tripoin, kalau di basket biasa). Pada pertandingan terakhir Indonesia di Red Bull Reign 3x3 World Final 2017 (Red Bull Reign) yang berlangsung di lapangan basket terbuka (outdoor) Barry Farm, Washington DC, Amerika Serikat itu, Indonesia akhirnya kalah 10-21 atas Filipina.
“Sampai di hotel, habis mandi, badan baru terasa pegal-pegal. Sakit semua,” kata Rony.
Rony Gunawan, Xaverius Prawiro (Yus), Andi “Batam” Poedjakesuma dan Jonathan Saragih tergabung di dalam tim A-Plus. Tim ini menjadi juara di Red Bull Reign Jakarta tanggal 15 April lalu. Merekalah yang kemudian bertolak ke Washington DC untuk menjadi wakil Indonesia dan berkompetisi dengan 11 negara lainnya.
Dalam segi konsep, Red Bull Reign adalah kompetisi 3x3 yang menarik sekaligus menantang. Semua aturan hampir sama dengan aturan FIBA 3x3. Satu hal yang berbeda dan paling signifikan adalah konsep akumulasi poin.
Tim yang berhak lolos ke putaran atau ronde selanjutnya bukanlah tim yang paling sering menang. Melainkan tim yang paling banyak mengumpulkan angka di setiap laga untuk ditotal pada akhir putaran. Di Red Bull Reign, kalah 21-19 jauh lebih baik daripada menang 12-10. Poin kalah (19) lebih banyak daripada menang (12).
Di Jakarta, dan beberapa seri dunia lainnya, waktu pertandingan adalah 10 menit tanpa ada pagu (batas atas) skor. Pada putaran final di Washington DC, panitia akhirnya mengadopsi aturan FIBA 3x3 dengan mematok pagu 21 poin untuk sebuah kemenangan tanpa harus menyelesaikan waktu pertandingan 10 menit.
“Kecerdasan” membawa tim Indonesia lolos ke putaran kedua. Berada di Grup 2 Putaran Pertama, Rony dan kawan-kawan harus bermain sebanyak lima kali. Hasilnya, Indonesia hanya menang sekali lawan Argentina, 13-10.
Kalah empat kali, Indonesia tetap lolos ke putaran kedua. Ini karena Indonesia sangat sadar dengan konsep Red Bull Reign. Indonesia empat kali kalah dengan total poin 67. Turki yang menang empat kali, tidak lolos karena akumulasi poinnya hanya 64. Indonesia berada di peringkat ketiga Grup 2.
Secara konsep, Red Bull Reign bak pisau bermata ganda. Ia bisa membuat pertandingan tambah menarik, tetapi juga bisa membuatnya terlihat membosankan. Bagi Indonesia sendiri, lewat penampilan tim A-Plus, ada setidaknya dua pelajaran menarik yang bisa dipetik.
Pertama, pemain-pemain kita butuh stamina yang sangat-sangat kuat. Red Bull Reign adalah kompetisi yang dibuat oleh sebuah produk minuman energi terkenal di dunia, Red Bull. Barangkali oleh karena itu ia dirancang sebagai kompetisi yang membutuhkan daya tahan dan kekuatan yang sangat tinggi.
Satu pertandingan Red Bull Reign membutuhkan waktu 10 menit. Lolos ke ronde kedua, Indonesia berarti harus bermain sebanyak delapan kali. Dengan kata lain, kalau diibaratkan main basket lima lawan lima, Indonesia bermain sama dengan dua kali permainan basket konvensional 40 menit! Bagi Amerika Serikat dan Montenegro yang tampil di final, mereka bermain sebanyak 12 kali alias 3 kali basket biasa dalam setengah hari. Kalau fisik tak kuat-kuat amat, dua pertandingan pertama saja pemain bisa kehabisan tenaga.
Pelajaran kedua adalah akurasi tembakan harus sangat tajam. Waktu Indonesia melawan Serbia, Andi Batam memulai pertandingan dengan empat kali tripoin. Semuanya masuk. Walau kemudian kita kalah, kita kalah dengan skor cukup tinggi, 16-21. Tembakan medium dan jarak jauh yang akurat sangat dibutuhkan saat 3x3. Apalagi kalau melihat poin tembakan jarak jauh adalah dua angka atau dua kali lipat tembakan di dalam garis tripoin.
Melakukan penetrasi ke dalam dan melepaskan tembakan lay-up atau di bawah ring sangatlah sulit. Bermain “pick and pop” adalah pilihan yang bijak. Spacing dan menunggu operan keluar (kick out pass) juga lebih potensial untuk mendapatkan ruang tembak tanpa pengawalan. Namun semuanya akan banyak sia-sia kalau akurasi tak tajam. Indonesia mencetak 13 poin saat melawan Chile, 17 poin melawan Australia, 13 poin melawan melawan Argentina semua umumnya berasal dari tembakan jauh dan medium yang akurat.
Mata pisau lain (yang melukai diri sendiri) dari regulasi Red Bull Reign adalah tim-tim yang berkompetisi bisa “bermain mata”. Tim-tim yang ingin lolos ke putaran selanjutnya bisa “mengatur skor”. Mereka saling membuka pertahanan demi saling mengumpulkan poin tertinggi. Hakikatnya, di babak penyisihan, bahkan hingga semifinal, Red Bull Reign sebenarnya tidak menghasilkan pemenang pertandingan. Poin, poin, dan poin adalah yang utama. Laga menang-kalah hanya terjadi di babak final.
Inilah pekerjaan rumah yang harus segera dibenahi Red Bull Reign sebelum kompetisi tahun 2018. “Somebody’s not playing defense here. They’re not respecting the game,” kata Bobbito Garcia, pemandu pertandingan dalam salah satu laga Red Bull Reign di Washington DC.
Tadinya saya pikir kejadian ini hanya terjadi di Indonesia saja. Ternyata di level dunia pun terjadi.
Tahun depan, Red Bull Reign berencana akan kembali ke Indonesia. Setelah menyaksikan kompetisi ini di level lokal dan dunia, saya menarik kesimpulan bahwa ini adalah ajang yang sangat baik untuk menempa kemampuan bila dimanfaatkan dengan baik. Apalagi jika Indonesia ingin terus fokus di dunia basket 3x3.
Sistem kompetisi yang unik memaksa para peserta mengatur strategi. Bagaimana cara menghemat tenaga untuk sebuah turnamen panjang dalam satu hari, namun di lain sisi juga harus mencetak angka sebanyak mungkin.
Sampai ketemu lagi di Red Bull Reign 2018. (*)