San Antonio Spurs berhasil menjadi satu-satunya tim yang menyandang status unggulan lebih rendah tapi mampu unggul atas lawannya di NBA Playoff 2019. Kepastian tersebut mereka dapatkan setelah melewati adangan Denver Nuggets dalam gim ketiga dengan skor akhir 118-108. Hasil itu membuat Spurs sejauh ini unggul (2-1) atas lawannya (menjadi 2-2 setelah gim keempat).
Bintang kemenangan Spurs dalam gim ketiga adalah pemain “biasa.” Mengapa disebut biasa? Karena bisa dibilang, ini adalah musim perdananya secara konsisten menajdi pilihan utama di Spurs. Itu juga lantaran garda utama Spurs, Dejounte Murray, terkena cedera parah di awal musim. Selain itu, saya rasa tak cukup banyak orang mengenal atau bahkan mendengar nama Derrick White selain Anda adalah penggemar fanatik/setia Spurs.
Derrick sendiri masuk ke NBA baru di musim lalu. Spurs memilihnya di urutan ke-29 dalam NBA Draft 2017. Meski terpilih di putaran pertama NBA Draft, perjalanan karir Derrick tak bisa dibilang normal. Ia tidak seperti pemain-pemain tenar level kampus yang rata-rata sudah menarik banyak atensi pencari bakat sejak usia dini. Derrick bukanlah talenta yang menarik saat masih belia.
Hal tersebut cukup wajar jika melihat kisah hidupnya. Derrick tak benar-benar memilih basket sebagai “jalan hidupnya” sebelum ia menginjak bangku SMA. Hal tersebut lantaran pemain kelahiran Colorado, Amerika Serikat, ini tak memilik postur yang menjulang seperti anak-anak basket pada umumnya.
Masalah postur ini pula yang membuatnya tak mendapatkan satupun surat beasiswa dari seluruh divisi NCAA, bahkan tidak dari tim divisi tiga. “Mereka datang dan melihat saya bermain. Lalu, mereka menilai saya tidak cukup kuat untuk berlaga dalam sebuah pertandingan. Bahkan mereka menyebut saya tidak cukup kuat untuk berjalan,” ujar Derrick dilansir oleh fansided.com.
Namun, tepat dua bulan sebelum ulang tahun ke-18, tubuh Derrick tumbuh cukup pesat hingga menyentuh enam kaki (183 sentimeter). Hal tersebut akhirnya cukup membuat satu pelatih kampus tertarik untuk merekrutnya. Tetapi, kampus ini tak bermain di NCAA, melainkan NAIA. Menariknya lagi, kampus ini tak terkenal dengan program olahraganya. John & Wales University adalah kampus yang terkenal dengan program belajar kuliner mereka.
Sebelum Derrick lulus SMA, pelatih yang bernama Jeff Culver tersebut lantas menerima pinangan untuk melatih University of Colorado-Colorado Springs (UCCS). Kampus tersebut berstatus sebagai tim divisi dua NCAA, dan Culver memanfaatkan hal tersebut untuk mengundang Derrick bergabung. Jeff tahu, Derrick masih tidak dalam bentuk tubuh terbaiknya. Oleh karena itu, target utama Derrick adalah untuk memperbaiki kondisi fisiknya terutama dalam tinggi badan dan otot tubuh.
Setelahnya, Derrick menunjukkan kepada Jeff bahwa pilihan merekrutnya tidak salah. Tiga musim bermain untuk UCCS, rataan terendahnya adalah 16,8 poin, 3,8 rebound, 2,1 rebound, 1,5 steal, dan 1,0 blok per gim. Akurasinya mencapai 42 persen dengan akurasi tripoin menyentuh 34 persen. Catatan di atas terjadi di musim pertamanya, dan ia menutup musim dengan gelar pribadi, Freshman of the Year (setara Rookie of the Year di NBA).
Di musim ketiganya bersama UCCS, Derrick menggila. Ia mencatatkan 25,8 poin, 7,4 rebound, 5,2 asis, 2,2 steal, dan 2,1 blok per gim dengan akurasi 52 persen dan 33 persen dari tripoin. Catatan tersebut membuatnya dilirik oleh tim divisi satu NCAA, University of Colorado (CU).
“Colorado adalah kampung halaman saya dan saya tumubuh melihat CU bermain. Saya rasa saat itu adalah kesempatan emas bagi saya untuk bermain di sekolah yang bagus dan masih bisa dilihat oleh keluarga saya,” terang Derrick tentang menceritakan keputusannya menerima pinangan CU.
Derrick memang pindah, tapi ia meninggalkan UCCS dengan rentetan prestasi. Catatan 1.912 poin dan 343 asisnya adalah yang tertinggi dalam sejarah sekolah tersebut. Ia juga membawa sekolah ini lolos ke NCAA Divisi II Tournament (semacam March Madness untuk divisi dua). Penampilan apiknya diganjar dua kali terpilih untuk All-American, 2014 dan 2015.
Bergabung bersama CU tak serta-merta membuat Derrick berhenti berlatih, ia justru menambah porsinya. Bahkan, beberapa teman dekat Derrick menyebutnya seperti tinggal di lapangan sekolah. Karena selepas kelas, ia akan kembali ke tempat itu dan menghabiskan waktu untuk berlatih. Salah satu latihan yang paling sering ia lakukan adalah latihan melantun.
Selain itu, ia juga tak lupa menambahkan masa ototnya yang meningkat hingga nyaris 10 kilogram. Hal tersebut membantu Derrick yang tampil dalam 34 gim CU mengemas rataan 18,1 poin, 4,1 rebound, 4,4 asis, 1,2 asis, dan 1,4 blok per gim. Ia juga mencatatkan akurasi tripoin terbaiknya di musim ini dengan 39 persen masuk dari 144 percobaan.
Musim pertama bersama Spurs pun tak berjalan mudah, seolah mengikuti perjalanan hidupnya. Ia tercatat hanya bermain sebanyak 17 kali dengan rataan 8,2 menit per gim. Tak sekalipun turun sebagai pemain utama, pemain berusia 24 tahun ini hanya menyumbangkan 3,2 poin, 1,5 rebound, dan 0,5 asis per gim. Jauh dari rataan karirnya kala berlaga di kampus.
Derrick lantas lebih banyak menghabiskan waktu bersama Austin Spurs, tim saudara San Antonio Spurs yang bermain di NBA GLeague. Namun, sekali lagi, seolah sama dengan pengalaman-pengalaman sebelumnya, Derrick tak pernah setengah-setengah. Dalam 24 gim yang ia mainkan untuk Austin Spurs, ia mengemas rataan 20,1 poin, 5,0 rebound, 3,3 asis, 1,3 steal, dan 1,2 blok per gim dengan akurasi 45 persen secara keseluruhan dan 33 persen dari tripoin.
Di musim reguler 2018-2019, Derrick mendapatkan kesempatan 67 kali bermain dengan 55 di antaranya menjadi pemain utama. Ia lantas terus menunjukkan peningkatan dari gim ke gim. Ia menunjukkan kapasitasnya sebagai fasilitator tim dan juga pemain bertahan yang apik yang menempatkannya dalam kategori 3DBH.
Puncaknya terjadi di dua gim playoff ini. Selain mencetak 36 poin di gim kedua yang merupakan catatan tertingginya sejauh ini. Rataan Derrick di dua gim ini adalah yang tertinggi di antara pemain Spurs lainnya dengan 23,0 poin, 4,0 rebound, 3,3 asis, dan 1,3 steal per gim. FG% menyentuh 69 persen dengan 3P% di angka 33 persen.
Jika mampu mempertahankan performanya di seri atau bahkan playoff ini, Derrick bisa menjadi senjata baru untuk Spurs selain DeMar DeRozan dan LaMarcus Aldridge. Perjalanan panjang Derrick ini adalah kisah nyata seorang bocah “tak cukup kuat” menjadi “senjata baru” untuk tim sekaliber Spurs di babak playoff. Tak hanya senjata baru, Derrick bahkan sangat mungkin menjadi bintang baru di Spurs. Untuk sekarang, rasanya tidak ada salahnya menikmati Derrick White sebagai kejutan di NBA Playoff 2019.
Foto: NBA, Yahoo Sports