Menjelang playoff NBA yang tinggal dua hari lagi (waktu Indonesia), saya tengah bersiap-siap membaca celetukan-celetukan menyenangkan dengan kata “bandwagon” di dalamnya. Celetukan ini paling banyak saya lihat di kolom komentar instagram @mainbasket. Hampir tidak ada yang mengaku sebagai seorang fan bandwagon. Lebih sering, predikat ini diberikan dalam nada cela untuk orang lain.
Fan bandwagon adalah istilah untuk fan atau pendukung sebuah tim yang performanya sedang bagus. Itu bisa jadi salah satu definisi. Ia bisa juga jadi pendukung sebuah tim yang tidak setia. Artinya, ia akan dengan mudah mengalihkan dukungannya ke tim lain, jika tim yang ia dukung dulunya bagus, kini tengah menurun performanya, apalagi terpuruk.
Oleh karena predikat ini tak begitu enak dirasakan ketika diucapkan ke kita. Tak jarang, atau seringkali, orang-orang menghindar dari tuduhan sebagai seorang fan bandwagon. Atau mengelak ketika disangka begitu.
Padahal, tak begitu sulit melihat seorang fan adalah seorang bandwagon atau bukan. Caranya bagaimana? Misalnya saja dengan menanyakan apakah ia mengetahui keseluruhan roster dalam tim yang ia idolakan. Lalu apakah ia benar-benar mendalami statistik, hasil-hasil pertandingan sebelumnya, bahkan sejarah tim yang ia bangga-banggakan. Kalau “tidak” adalah jawaban dari tiga pertanyaan tersebut, sangat mungkin ia adalah seorang fan bandwagon. Apalagi bila beberapa waktu sebelumnya, ia tak pernah terlihat atau terdengar sedang mendukung tim yang saat ini katanya sedang ia cintai mati-matian.
Tapi, salahkah menjadi seorang fan bandwagon?
Saya rasa sah-sah saja. Tidak salah, dan tidak perlu malu. Semua pendukung fanatik, sangat mungkin awalnya adalah seorang fan bandwagon. Di awal-awal, ia pasti tak tahu siapa saja pemain yang mengisi roster sebuah tim. Ia pasti tak banyak tahu tentang statistik dan sejarah tim itu. Ketika semua langkah awal menjadi fan fanatik sebuah tim itu ia lewati, maka pelan-pelan ia keluar dari status fan bandwagon, dan mungkin mulai mengikuti tim tersebut dengan serius, kemudian jadi fanatik.
Bila seorang fan sudah bukan lagi dikatakan seorang fan bandwagon, maka ia bisa dikatakan sebagai seorang fan sejati?
Memindahkan dukungan atau cinta kepada tim lain sangat mungkin terjadi. “Gue dulu suka Bulls eranya Jordan. Sekarang gue lebih suka Thunder.” Komentar senada itu pernah bahkan beberapa kali saya terima ketika bicara dengan beberapa teman pecinta NBA. Apakah mereka fan bandwagon? Hmm, kalau bagi yang senang memberikan predikat “bandwagoner”, barangkali ia termasuk sebagai fan bandwagon. Tapi bagi yang lebih hati-hati untuk memberikan tuduhan tersebut kepada yang lain, akan mencoba menerka-nerka, mengapa fan yang tadinya mendukung tim A, bisa beralih ke tim B.
Saya sendiri adalah seorang fan bandwagon sejati. Saya senang berpindah-pindah dalam memberikan dukungan. Ketika era Michael Jordan berjaya, saya tidak serta-merta naik ke bandwagon Chicago. Saat itu, saya lebih suka dengan Shawn Kemp, Gary Payton, dan Seattle Supersonics.
Ketika Hakeem Olajuwon dua tahun merajai NBA bersama Houston Rockets, saya juga naik bandwagon mereka. Jadi saya punya dua jurusan favorit saat itu. Chicago dan Seattle.
Ke sini-sini, bandwagon favorit saya gonta-ganti. Namun umumnya bandwagon yang dikendarai oleh LeBron James. Baik yang meluncur di Cleveland, Miami, balik Cleveland lagi, kemudian ke Los Angeles. Saya suka sopirnya. Salah satu pemain terhebat sepanjang masa, yang tengah saya nikmati di mana saja dia berada. “Saya sedang menikmati sejarah,” istilah halus dari kata, “Saya fan bandwagon LeBron James.” Hehehe.
Golden State Warrior? Tentu saja. Bandwagon atau kereta yang satu itu indahnya bukan main beberapa tahun belakangan. Saya juga tergoda untuk jadi anggota fan bandwagon mereka. Tahun 2017, ketika mereka juara, saya bahkan ada di Oakland untuk melihat pesta arak-arakan mereka. Dan saat itulah saya melihat “bandwagon” dalam arti sebenarnya, “wagon” atau kendaraan yang mengangkut grup band. Hahaha.
Saat ini saya sudah melompat keluar dari bandwagon Warriors. Saya punya bandwagon lain yang menarik hati. Sopirnya brewokan. Pencapaian individunya dua tahun terakhir mencengangkan. Walau para pembencinya (haters) akan selalu menampiknya dengan mengatakan, “Cincin juara?” Satu hal yang bagi saya tidak signifikan ketika berbicara tentang pencapaian individu.
Demikian curhatan saya sebagai seorang fan bandwagon sejati. Menjadi seorang fan setia boleh jadi membanggakan atau merasa diri hebat. Namun manjadi “bajing loncat” dari bandwagon satu ke bandwagon lainnya juga punya keindahan tersendiri.
Sebagai seorang fan bandwagon, saya bisa menikmati keindahan atau kehebatan sebuah tim ketika tim itu sedang hebat. Alih-alih merasakan perihnya tim yang setia saya dukung mati-matian ketika sedang terpuruk. Hahaha.
Bagi yang suka menghina fan lain sebagai fan bandwagon, barangkali belum pernah merasakan kenikmatan yang saya bilang. Oleh karena itu, cobalah. Karena menjadi seorang fan bandwagon bukanlah sebuah dosa.
Hehehe. Dasar bandwagoners!
Foto: Twitter NBA