Belakangan banyak orang berpura-pura menjadi Tuhan dengan menghakimi orang lain tanpa dasar. Bukan hanya soal politik yang semakin panas akhir-akhir ini, tetapi juga telah sampai pada persoalan layak atau tidak seseorang berada di liga bola basket tertinggi di Indonesia. Dan itu tidak hanya terjadi di media sosial, tapi juga di tengah-tengah kemeriahan gelaran seri penutup musim reguler Indonesian Basketball League (IBL) 2017 di C-Tra Arena, Bandung, Jawa Barat, 17-19 Maret 2017.
Kejadian berawal ketika suatu malam selepas laga antara Pelita Jaya EMP Jakarta dan Hangtuah Sumatera Selatan di C-Tra Arena, Sabtu (19/3). Saya berdiri di luar arena dengan maksud ingin menghirup udara segar. Di samping saya, beberapa anak muda terdengar bersemangat mendiskusikan tentang pertandingan itu. Bukan salah saya mencuri dengar, tapi para muda ini berbicara seolah saya sebuah tiang lampu. Dan salah satu bahasannya adalah peran Daniel Wenas di tim Pelita Jaya. Katanya, seperti anggapan umum yang beredar, Daniel bermain hanya dengan modal tampang.
Benarkah? Saya sudah terlalu jengah mendengar maupun membaca “serangan” semacam itu. Karena tentu saja pendapat umum itu pun masih dapat dikritisi.
Inilah saatnya membela Daniel sesekali, meski pun sebenarnya ia tidak perlu pembelaan. Toh, seperti apa yang pernah ia bilang, banyak orang yang membencinya, tapi lebih banyak lagi yang mencintainya. Betapa banyak orang berada di belakangnya. Ingat, Daniel punya basis penggemar yang luar biasa mendukungnya.
Oleh karena itu, mari melihat dari sudut pandang yang berbeda saja. Supaya setidaknya melebarkan pandangan kita. Bukan melihat sebagai pembenci yang berpendapat tanpa dasar, tapi sebagai penonton yang adil. Karena seperti apa yang disampaikan Jean Marais, seorang tokoh fiksi dari novel Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer, kita sebagai terpelajar harus sudah adil sejak dalam pikiran.
Nah, bukan berarti saya merasa adil. Karena manusia sebetulnya bukan pengadil yang baik di dunia yang abu-abu ini. Seperti kata Mainbasket di Instagramnya, mencari sesuatu yang jelas hitam-putihnya itu semakin tidak mudah. Maka sebelum membahas ini lebih jauh, saya mengaku termasuk orang yang kurang setuju ketika Daniel menjadi kandidat All-Star. Dengan performanya di musim reguler ini, ia belum lagi hebat untuk berada di sana. Kan anggapan itu sah-sah-sah saja? Lagipula masih banyak pemain-pemain yang lebih baik? Toh, di NBA saja banyak bertebaran pemain hebat, tapi yang terhebatlah yang layak masuk All-Star. Namun, kita lupa ini Indonesia.
Soal ini bagi saya setidaknya, karena memang belum ada yang bisa menandingi ketenaran seorang Daniel. Bagaimana pun, para penggemarnya akan tetap mencari celah memberikan suara untuknya. Mereka yang memilih, mereka yang menyaksikan. Mayoritas menyuarakan dan mendukung Daniel. Itu juga yang jadi daya pikat supaya orang datang ke Arena. Kan penonton juga salah satu bagian penting dalam perkembang basket kita?
Selain itu, tentu saja Daniel bisa masuk All-Star karena sistem itu sendiri. Bukan salahnya kalau ia masuk ke sana dan mendapat hujatan karena dirasa belum pantas oleh anggapan umum. Bukan salahnya, tapi agaknya orang tidak juga mau melihat perspektif lain ini. Malah semakin senang menghujat. Lagipula sistem itu sendiri juga tidak bisa dikatakan bagus. Akan tetapi, yang terjadi biarlah terjadi, berlalu, dan jadi pelajaran.
Maka, kembali pada fokus masalah, lalu apa yang semestinya dipertimbangkan sebelum menghujat?
Pertama, sebagai pendukung Garuda yang merasa waswas akibat enam pemain mereka keluar musim lalu, saya merasa lega karena peran baru Daniel Wenas. Pasalnya, ia ternyata bisa mengisi kekosongan point guard di belakang Wendha Wijaya sebagai pilar utama. Tugas itu belakangan diketahui atas kepercayaan Kepala Pelatih Fictor Roring kepadanya.
Menariknya, tidak sekadar mengisi kekosongan di sana, Daniel juga berhasil meningkatkan performanya di musim itu. Bersama rekan setimnya di Garuda dulu, Muhammad Rizal Falconi, ia sampai masuk ke dalam jajaran calon penerima penghargaan Most Improve Player of the Year (penghargaan ini kemudian diraih Firman Dwi Nugroho). Karena memang saat itu statistiknya meningkat, termasuk menit bermainnya.
Bambang Asdianto, mantan pelatih timnas putri Indonesia di SEA Games ke-28 (kini kepala pelatih Merpati Bali), yang saat itu kerap menulis ulasan basket juga berkata demikian. Kutipan ini saya dapat dari rilis yang dikirimkan IBL. Saya tulis tanpa mengubah apapun:
“Daniel Wenas kerap ditugaskan menjadi point guard dari GRB untuk mengurangi beban Wendha Wijaya dan berhasil menjalankan tugasnya dengan baik. Selain memiliki akurasi tembakan 3 angka yang meningkat, penguasaan bola dari Daniel Wenas pun semakin bagus. Pada musim sebelumnya Wenas hanya bermain 12 menit, pada seri reguler musim ini Wenas rata-rata bermain selama 25 menit. Kontribusi pointnya juga meningkat dari 6 point menjadi 10,9 point per game. Di seri 6 ini tiap pertandingan Wenas mencetak 14 point per pertandingan. Hal ini tidak terlepas juga dari kemampuan Wenas untuk bermain di banyak posisi, terutama point guard, shooting guard dan small forward.
Sebagai point guard Daniel Wenas juga menciptakan peluang bagi rekannya. pada musim sebelumnya rata – rata assist per game 0,72 menjadi 2,9 pada seri reguler musim ini. Mendapatkan advice dari seorang Wendha Wijaya point guard senior di timnya membuat dirinya mampu berkembang dengan baik. Peran Wenas sangat penting di GRB. Di saat GRB membutuhkan seorang shooter yang mampu handle bola dengan baik, maka Wenas lah orangnya. Jika Wendha Wijaya harus duduk di bench maka Daniel Wenas lah yang akan memimpin serangan dari GRB.”
Dari situ saja sebenarnya sudah bisa menampik anggapan “modal tampang doang” di masyarakat kita. Semestinya kita sekarang sudah bisa melihat kebaikan dalam diri seseorang, bukan hanya anggapan negatifnya saja. Dan kemungkinan, kebaikan itu pula yang jadi pertimbangan mengapa Pelita Jaya, bahkan timnas muda di ASEAN University Games mau memakai jasanya. Sebagai informasi, Daniel Wenas ada dalam deretan penerima dua kali emas berturut-turut dalam ajang AUG (2014 dan 2016).
Lalu mengapa performanya musim ini tak begitu gemilang? Ini hal wajar karena Daniel baru saja bermain kembali bersama Pelita Jaya. Butuh waktu adaptasi yang tidak sedikit. Menurut center Adhi Pratama ketika saya tanya soal itu sebelum musim bergulir, misalnya, menuturkan bahwa para pemain baru seperti Daniel memang membutuhkan waktu membentuk ikatan di antara mereka. Apalagi Pelita Jaya juga memiliki komposisi pemain dan pelatih baru musim ini. Ingat, Kelly Purwanto, Dimas Dewanto, Andi Poedjakesuma, dan Pelatih Benjamin Alvarez Sipin III sudah tidak lagi di Pelita Jaya. Banyak hal terjadi di tim itu sendiri, dan mengembalikan ikatan antarpemainnya tidaklah mudah.
Kembali menyangkut urusan performa Daniel tadi, mari kita lihat menit bermainnya. Musim lalu ketika masih bersama Garuda, ia bermain rata-rata 24,57 menit sedangkan sekarang hanya 16,92 menit (selama musim reguler). Ia masih harus berbagi peran dengan pemain senior seperti Amin Prihantono dan Hendru Ramli. Belum lagi timnya punya pemain anyar Respati Ragil Pamungkas. Di posisi point guard bahkan ada pemain asing Martavious Irving. Tentu ini menjadi alasan lain yang dapat menjawab mengapa performanya menurun jika mengacu kepada perbandingan statistik musim ini dan musim lalu.
Maka tidak heran kalau saya bilang di awal, belakangan banyak orang berpura-pura menjadi Tuhan dengan menghakimi orang lain tanpa dasar. Padahal kita perlu sesekali atau bahkan berkali-kali menunda justifikasi. Sebab ternyata ada banyak hal yang boleh jadi luput kita lihat dan dipertimbangkan kembali. Malam itu, saat para muda berbicara tentang Daniel Wenas, saya jadi belajar. Dan semoga juga para pembaca. Sudahkah kita adil kepada semua orang?
Foto: Hari Purwanto
Gambar statistik: iblindonesia.com
Modal Ganteng Saja Tak Akan Membawamu ke IBL (Saatnya Membela Daniel Wenas)
20 Mar 2017 18:01
| Penulis : Gagah Nurjanuar Putra