Pertanyaan itu menggelayut di kepala saya selama Jawa Pos Honda Pro Tournament 2016. Bukan apa-apa, di bawah kepemimpinan Rastafari Horongbala, tim ini kuat sekali. Rastafari menggantikan Andre Yuwadi yang kini melatih Garuda Bandung.
Begitu kuatnya, Stadium yang pemainnya pribumi semua mampu mengalahkan Aspac Jakarta yang diisi dua pemain naturalisasi Ebrahim Enguio Lopez dan Anthony Ray Hargroves Jr.. Stadium juga menjadi lawan yang sulit bagi Pacific Caesar Surabaya yang diperkuat dua pemain asing terbaik di turnamen ini, Kevin Loiselle dan Dior Lowhorn. Lowhorn bahkan sampai mengambil waktu istirahat tidak bermain di dua laga selanjutnya setelah melawan Stadium.
“Kenapa Stadium sampai tidak ikut IBL 2017?”
Jawabannya adalah mereka tak mau ikut liga jika harus menerima sanksi berupa tidak mendapat subsidi selama dua setengah tahun.
Mendengar ini, kepala saya kembali penuh dengan tanda tanya? Sanksi? Kenapa bisa ada sanksi?
Pertanyaan kedua adalah bagaimana mungkin penyelenggara liga memberi sanksi tidak akan memberi subsidi selama dua setengah tahun, jika penyelenggara (Starting 5) hanya punya sisa satu tahun lagi untuk mengelola liga?
...
Liga bola basket Indonesia alias IBL lahir pada tahun 2003. Waktu itu, 10 tim yang berlaga di kompetisi sebelumnya, Kobatama masing-masing mengumpulkan uang 100 juta rupiah sebagai jaminan bahwa mereka akan terus berpartisipasi.
10 tim ini ditambah Perbasi lalu membentuk kelompok Dewan Komisaris. Kelompok inilah yang memiliki liga dan mencari pihak ketiga sebagai penyelenggara.
Dalam perjalanannya selama tujuh tahun pertama, IBL berjalan dengan penyelenggara yang berganti-ganti. Tahun 2009, IBL melangsungkan musim terakhirnya. Penyelenggara saat itu tidak lagi mampu menggulirkan kompetisi karena kesulitan dana.
Untuk melanjutkan liga, kelompok Dewan Komisaris mendatangi PT. DBL Indonesia. Singkat cerita, perusahaan basket ini kemudian menerima pinangan Dewan Komisaris dan menjalankan kompetisi yang diberi nama baru, NBL Indonesia.
NBL Indonesia dimulai dari musim 2010-2011 dan berakhir 2014-2015. Pola kontrak saat itu adalah 3+2. DBL menjalankan NBL Indonesia selama tiga musim terlebih dulu. Setelah itu, Dewan Komisaris mengevaluasi kinerja penyelenggara dan penyelenggaraan NBL Indonesia. Dianggap memuaskan, DBL melanjutkan kembali NBL Indonesia selama dua musim kompetisi.
Menjelang Championship Series (playoff) 2014-2015, DBL menyatakan bahwa mereka tidak berniat memperpanjang kontrak dengan Dewan Komisaris. Artinya, Dewan Komisaris harus segera mencari penyelenggara baru untuk melanjutkan NBL Indonesia.
Melalui proses tender, Dewan Komisaris memenangkan Starting 5. Direktur Starting 5, Hasan Gozali kemudian menjabat sebagai Direktur IBL.
Bulan November 2015, digelarlah Preseason Tournament di Bandung. Musim reguler dimulai pada bulan Januari 2016. Jadilah namanya IBL 2016. Musim kompetisi berubah dari NBL Indonesia yang menggunakan format dua nama tahun (2014-2015) menjadi satu nama tahun saja, 2016, 2017, dst..
Seperti halnya kontrak DBL terhadap NBL Indonesia, penyelenggara IBL pun memiliki rentang kontrak penyelenggaraan. Rentangnya adalah 2+3. Starting 5 menjalankan IBL selama dua tahun. Setelah itu, Dewan Komisaris akan mengevaluasinya. Jika berjalan baik, maka ada kesempatan diperpanjang tiga tahun lagi.
IBL 2016 berjalan sukses. Kemasan dan pertandingan-pertandingannya tak jauh berbeda dengan NBL Indonesia. Namun di balik penyelenggaraan yang sukses tersebut, terselip masalah. Starting 5 kesulitan melunasi subsidi kepada 12 tim peserta.
Kesulitan melunasi subsidi ini berbuntut panjang. Beberapa tim enggan memulai musim kompetisi baru jika uang subsidi belum dilunasi. Di lain sisi, beberapa tim IBL terlihat mulai kesulitan dana. Dua di antaranya saat itu adalah Bimasakti Malang dan Garuda Bandung.
Kesulitan dana untuk membayar subsidi dan kejelasan pelaksanaan IBL selanjutnya menemui titik terang. Starting 5 mendapat dukungan baru dari sebuah konsorsium.
Untuk menjalankan musim selanjutnya, alih-alih sudah pasti akan diikuti oleh 12 tim IBL 2016, ternyata dibuka pendaftaran untuk kompetisi IBL 2017. Batas waktu pendaftaran yang ditentukan adalah 7 November 2016 tengah malam.
Dibukanya pendaftaran untuk tim-tim baru inilah yang memunculkan pertanyaan seputar kelompok Dewan Komisaris. Bukankah liga adalah milik Dewan Komisaris, yang isinya adalah 12 tim peserta IBL?
Jika bukan, berarti pemahaman selama ini adalah keliru. Atau ada yang berubah.
Hingga batas pendaftaran, hanya sembilan tim yang mendaftar. Sembilan tim tersebut semuanya peserta IBL 2016. Dan tiga tim yang belum mendaftar adalah Aspac Jakarta, Stadium Jakarta dan NSH Jakarta.
Sejujurnya agak sulit menerima bahwa tiga tim ini tidak tahu atau tidak ‘ngeh’ atau alasan lainnya bahwa batas waktu pendaftaran adalah 7 November. Sebuah kelalaian yang membuat penyelenggara IBL mengambil keputusan bahwa peserta liga 2017 akan diikuti 10 tim saja.
Satu tempat yang tersisa akan diperebutkan oleh tiga tim yang terlambat atau tidak mendaftar sampai tanggal 7 November 2016 itu.
Untuk bisa main di IBL 2017, tim ke-10 harus membayar minimum 300 juta kepada penyelenggara. Sebuah sistem tender. Siapa yang mau membayar paling banyak (minimum 300 juta) boleh ikut IBL 2017.
NSH Jakarta kemudian menjadi tim ke-10 IBL 2017. Proses tender belakangan dianggap tidak ada. NSH bisa ikut karena dianggap serius ingin mengikuti liga. Mereka mau memberi penawaran mengikuti tender.
Dalam sebuah pemberitaan, terlambat atau tidak mendaftarnya Aspac dan Stadium tampaknya lebih kepada ketidaksepakatan mereka terhadap beberapa aturan yang diberikan oleh penyelenggara liga.
Aspac dan Stadium sendiri kemudian menunjukkan keinginan bahwa mereka berniat mengikuti IBL 2017. Namun masuk kembali ke dalam liga –yang seharusnya menjadi bagian dari mereka- tidaklah mudah. Penyelenggara IBL mengajukan syarat lain, lebih tepatnya –dalam istilah penyelenggara, adalah- sanksi.
Sanksi tersebut adalah, jika Aspac dan Stadium ikut di IBL 2017, maka dua tim ini harus menerima kenyataan tidak akan mendapat subsidi selama dua tahun dan hanya mendapatkan setengah saja di tahun ketiga (200 juta rupiah). NSH sendiri, yang telah menjadi tim ke-10 hanya akan menerima setengah subsidi dari tahun pertama hingga tahun ketiga.
Penerapan sanksi inilah yang memunculkan pertanyaan kedua di atas. “Bagaimana mungkin penyelenggara tidak akan memberi subsidi selama dua setengah tahun, jika penyelenggara hanya punya sisa satu tahun lagi untuk mengelola liga?”
Jawabannya sepertinya mudah saja. Aturan yang tertera di awal ketika Starting 5 akan menggulirkan liga sepertinya sudah berubah.
Kalau begitu, berapa lama Starting 5 akan menggulirkan liga? Dari jumlah “tawaran” sanksi untuk Aspac dan Stadium, Starting 5 sepertinya sudah pasti akan menyelenggarakan IBL selama tiga tahun ke depan. Atau beberapa tahun lagi ke depannya. Ini kabar baik tentu saja. Kepastian penyelenggaraan liga adalah kabar baik.
Tawaran sanksi inilah momentum yang melahirkan keputusan mundurnya Stadium. Aspac menerima sanksi tersebut. Stadium memilih mundur. Jadilah, peserta IBL 2017 kini hanya 11 tim.
Laga-laga di Jawa Pos Honda Pro Tournament adalah laga-laga terakhir tim Stadium Jakarta. Mereka terlihat kuat dan tambah solid. Mungkin karena tahu bahwa “akhir hayat” tim tinggal menghitung hari.
Sebagai penggemar basket Indonesia, ada kesedihan dan kekhawatiran melihat kondisi ini. Menyaksikan Stadium di IBL sejak mereka mengambil jatah Bhinneka Solo, lalu bersatu menjadi Bhinneka Stadium/Stadium Bhinneka (terkadang pakai nama Solo, terkadang pakai nama Jakarta di belakangnya), tahun ke tahun mereka selalu meningkat. Stadium tak pernah menjadi tim papan bawah dan setia mengancam tim-tim papan atas.
Dalam sebuah pemberitaan lain, penyelenggara liga menyatakan bahwa sanksi tersebut merupakan jalan terbaik jika kedua tim ingin membantu liga. Hingga akhir November lalu, IBL kabarnya belum mendapatkan sponsor. Oleh karenanya anggaran diperketat. Semoga ketika IBL 2017 bergulir, sudah ada sponsor besar yang mendanai liga.
Ironisnya, ketika ada kabar bahwa anggaran tengah diperketat, IBL justru mampu menraktir 11 tim peserta masing-masing dua pemain asing (kecuali masing-masing satu untuk Aspac dan CLS Knights Surabaya). Masing-masing dua pemain asing itu akan berlaga di IBL 2017.
Terakhir, mungkin ini masalah pilihan dan kemauan. Pemain asing datang dan pergi. Stadium –boleh jadi- bisa selamanya mewarnai liga basket Indonesia.
Atau sebaliknya, Stadium dan tim peserta bisa datang dan pergi, dan pemain asing lebih menarik dalam mendongkrak popularitas dan kualitas basket Indonesia.(*)