Gelaran Piala Walikota dan Surabaya South East Asian Women Basketball Tournament 2019 memang telah berakhir beberapa waktu lalu. West Bandits menjadi juara Piala Wali Kota sementara Surabaya Fever menjadi juara pertarungan tim-tim putri di Asia Tenggara tersebut.

Dalam prosesnya, penyelenggara yang dalam hal ini diwakili oleh pemilik Fever, Christopher Tanuwidjaja, turut mengundang tamu dari Amerika Serikat. Tidak tanggung-tanggung, tamu yang diundang adalah salah satu legenda dan salah satu pemain terbaik sepanjang masa Women’s National Basketball Association (WNBA), Cappie Marie Pondexter.

Pondexter memang tak turut langsung dalam permainan, tetapi kehadirannya berhasil mengundang perhatian. Selain hadir dalam gim, ia juga sempat datang dalam acara ramah-tamah di krumah dinas Wali Kota Surabaya. Setelahnya, pemain yang terakhir tercatat sebagai pemain Indiana Fever ini juga memberikan beberapa latihan untuk pemain Surabaya Fever.

Rabu, 27 Februari 2019, Cappie, Christopher, dan beberapa pemain Fever mengunjungi kantor Mainbasket yang terletak di Surabaya Town Square. Setelah mengelilingi kantor kami, saya mendapatkan kesempatan untuk berbincang dengan Cappie. Dengan raut yang riang dan bersahaja, Cappie menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut.

Saya akan memulainya dengan pertanyaan mudah, bagaimana pengalaman Anda di Surabaya sejauh ini?

Ini adalah perjalanan yang sangat-sangat luar biasa. Saya rasa semua orang selalu memiliki ekspektasi sendiri sebelum pergi ke suatu tempat dan sejauh ini, Surabaya jauh melebihi ekspektasi saya. Budaya di sini sangat luar biasa, kemudian berkesempatan berlatih dan melihat para pemain Fever yang dengan semangat untuk meningkatkan kemampuan mereka membuat saya semakin kagum.

Bicara tentang karir panjang Anda sebagai seorang pemain basket, bisa bawa saya kembali ke awal perjalanan Anda memulainya?

Saya memulai kecintaan kepada saudara laki-laki saya bermain basket dan dia harus menjaga saya sebagai adiknya. Lalu dia mengajari saya beberapa hal dan saya mulai jatuh cinta dengan permaianan ini. Saya menjadi jago cukup cepat dan mendapatkan banyak perhatian terutama di kota asal saya, Chicago. Dari sana lalu saya berpikir untuk menekuni karir sebagai pemain basket profesional.

Satu tahun setelah draft, Anda sudah meraih gelar juara WNBA dan berlanjut dengan gelar-gelar lain. Bahkan, Anda terpilih sebagai 15 pemain terbaik dalam sejarah WNBA oleh para penggemar. Apa yang Anda rasakan saat itu?

Saat hal itu terjadi, saya masih sangat muda. Disejajarkan dengan deretan pemain seperti Lisa Leslie, Sheryl Swoopes, dan Dawn Staley adalah hal yang sangat-sangat luar biasa karena saya tumbuh melihat mereka. Kini, saya benar-benar bersyukur melihat hal tersebut karena bisa saya bilang tidak semua orang mendapatkan kesempatan tersebut.

Apakah Anda punya pemain favorit kala itu?

Ya, kala itu saya adalah penggemar besar Sheryl Swoopes karena ia memenangkan empat gelar juara beruntun dan itu membuat saya ingin melakukan hal yang sama. Tapi untuk era sekarang, saya rasa pemain favorit saya adalah Diana Taurasi. Kami punya kedekatan saat bersama di Phoenix Mercury dan kami berdua saling mendorong satu sama lain untuk terus menjadi lebih baik dari hari ke hari.

Bagaimana Anda melihat para pemain di era setelah Anda dan Taurasi? Apa yang Anda suka dari mereka?

Anda tahu, para pemain muda sekarang benar-benar tidak punya rasa takut dan mereka seolah berambisi untuk melakukan dunk. Pemain seperti Brittney Griner, A’Ja Wilson, dan beberapa garda muda sekarang ingin melakukan hal tersebut. Mereka jauh lebih atletis dari para pemain era saya yang lebih banyak berfokus pada lantun (dribble), dan menembak.

Kembali ke karir Anda, musim lalu Anda sempat bergabung ke Los Angeles Sparks dan mengakhiri musim bersama Indiana Fever. Bagaimana rencana ke depan Anda setelahnya?

Ya, saya sedang dalam pembicaraan kontrak dengan dua tim WNBA sekarang. Saya belum bisa berbicara siapa kedua tim tersebut kepada Anda karena saya juga belum menandatangani kontrak. Tetapi bisa saya pastikan bahwa kedua tim itu adalah kedua tim yang berpotensi menjadi juara.

Anda sekarang sudah nyaris berusia 36 tahun, sudah ada pikiran tentang pensiun?

Jelas, saya kini sudah berada dalam usia yang tak muda lagi, tentu saya berpikir tentang hal tersebut. Sekarang saya juga mulai memberikan fokus untuk membantu perempuan-perempuan muda di luar sana yang ingin bermain di WNBA untuk mewujudkan mimpinya. Seperti di Indonesia misalnya.

Menurut Anda ada kemungkinan pemain asal Indonesia berkarir di sana?

Tentu, kenapa tidak? Tidak masalah bagi kalian untuk bermimpi tentang hal ini karena tak ada yang mustahil di dunia ini. Pertahankan pola pikir kalian, tanamkan dalam-dalam mimpi tersebut, bekerja keras setiap hari dan mimpi tersebut sangat mungkin terjadi. Itu adalah pesan yang ingin saya sampaikan ke seluruh dunia bahwa perempuan bisa melakukan dan menjadi segalanya yang mereka inginkan.

Kami cukup sering mendengar tentang batasan tinggi badan yang menyulitkan. Bukan hanya di Indonesia, bahkan sangat mungkin di seluruh Asia. Bagaimana Anda melihat pandnagan tersebut?

Tentu itu bukan masalah. Satu hal yang saya pelajari tentang basket di Asia terutama di nomor perempuan adalah fakta bahwa kalian punya sesuatu yang perempuan Amerika Serikat tidak punya. Kalian punya kelincahan dan kecepatan yang luar biasa dan bisa dikembangkan untuk membuat pemain Asia atau Indonesia masuk ke WNBA. Saya berharap kedatangan di sini dapat membantu kalian untuk mewujudkan mimpi bermain di sana.

Saya melihat Anda menjadi bagian dari kampanye Nike untuk para kesetaraan hak perempuan. Bisa Anda ceritakan seperti apa sebenarnya jarak antara hak-hak pria dan perempuan di sana?

Jaraknya benar-benar jauh. Jika Anda melihat kepada gaji para pemain WNBA berbanding NBA Anda akan tahu itu. Gaji minimal untuk pemain NBA adalah AS$800 ribu sementara untuk gaji minimal WNBA adalah AS$40 ribu. Selain itu, mereka mendapatkan penerbangan dengan pesawat pribadi saat kami hanya naik kelas ekonomi. Dalam beberapa kesempatan, kami bahkan langsung bermain tanpa istirahat di hotel. Jadi langsung dari bandara ke lapangan. Kami tidak butuh untuk mencapai angka-angka NBA, tapi setidaknya buatlah kami nyaman jadi kami tak perlu untuk terbang ke Eropa atau negara lain untuk mencari tambahan uang.

Bicara tentang Eropa, saya baru saja ingin menanyakan hal tersebut kepada Anda. Seberapa besar yang bisa Anda dapatkan dengan bermain di Eropa atau Cina?

Jumlahnya benar-benar besar, jauh dari yang kami dapatkan dari WNBA. Anda tak bisa menolak uang sebesar itu karena dengan jumlah tersebut, Anda bisa merubah nasib Anda, keluarga, hingga orang lain di sekeliling Anda. Di WNBA, uang terbesar yang bisa Anda dapatkan adalah AS$118 ribu. Sementara di Eropa, Anda bisa menddapatkan AS$500 ribu hingga AS$1 juta. Itu adalah tujuan saya dalam kampanye ini untuk membantu peremouan Amerika Serikat mendapatkan AS$1 juta di negara mereka sendiri.

Bicara tentang materi, saya juga membaca Anda memiliki beberapa bisnis. Tolong ceritakan tentang bisnis tersebut.

Ya, saya sempat menggeluti bisnis di dunia mode. Di awal, saya tidak banyak tahu tentang dunia bisnis. Saya hanya berusaha menginvestasikan uang yang saya dapat dari bermain basket untuk mendapatkan lebih banyak. Namun, saya kini sudah menarik seluruh aset saya di usaha mode tersebut dan kini fokus pada investasi di bidang teknologi.

Berarti kini Anda bisa dibilang cukup serius dengan dunia bisnis?

Ya, bisa dibilang sepert itu. Saya memiliki mentor yang membantu saya dalam menginvestasikan uang saya. Dia juga membantu pemain-pemain seperti Stephen Curry, Andre Iguodala, hingga Kyrie Irving dalam investasi terutama di dunia teknologi. “Biarkan uangmu bekerja,” begitu kata mereka dan investasi seperti ini seperti menjadi ombak baru di Amerika Serikat. Di sini, saya melihat Go-Jek menjadi sebuah bisnis yang luar biasa dan saya rasa sangat mungkin masuk ke Amerika Serikat.

Selain bisnis, saya juga membaca tentang bagaimana Anda menaruh perhatian tentang kesehatan mental. Bisa cerita tentang hal itu?

Ya, kesehatan mental menjadi suatu hal yang penting bagi saya karena saya melihat berapa contoh mantan atlet yang menjadi depresi setelah tidak lagi berkarir. Anda harus tahu bahwa ini (maslaah kesehatan mental) adalah masalah yang ada saya rasa di seluruh dunia. Saya selalu merasa saya lebih dari hanya sekadar atlet, oleh karena itu saya ingin membantu banyak orang dengan wadah yang saya miliki.

Di Indonesia, masalah kesehatan mental tak cukup sering mendapatkan pembahasan kuat. Bagaimana dengan di Amerika Serikat?

Ya, saya rasa nyaris sama. Berbicara bahwa Anda memiliki masalah dengan kesehatan mental Anda di hadapan orang lain tak pernah mudah bahkan beberapa orang justru menekan Anda setelahnya. Ini yang harus dirubah oleh masyarakat dunia, karena ini adalah masalah seluruh manusia. Saya berharap semua orang di dunia mulai belajar untuk mencintai diri mereka sendiri dan tak ragu untuk membantu satu sama lain.

Terakhir, bagaimana Anda menggambarkan perjalanan hidup Anda secara keseluruhan sekarang?

Sejujurnya, saya merasa seperti bisa melakukan segalanya. Saya bermain basket secara profesional selama 14 tahun dan saya merasa saya masih memiliki banyak hal yang bisa saya lakukan ke depan meski usia saya sudah 36 tahun. Saya harap saya bisa menginspirasi banyak orang di luar sana dengan semua hal yang saya lakukan.

Foto: Hariyanto, indystar.com

 

Populer

Lakers Selama Ini Mencari Sosok Dalton Knecht
Hasil Rapat Sixers Bocor, Paul George & Joel Embiid Kecewa
Tripoin Franz Wagner Gagalkan Kemenangan Lakers
Menyerah di G League, Rodney Hood Pensiun & Ingin Jadi Pelatih
Kolaborasi Unik Puma MB.04 dan Scooby Doo
Luka Doncic Cedera, Kabar Buruk Bagi Mavericks
Pemain Bintang yang Cedera di Bulan Pertama NBA 2024-2025
Spurs Raih Dua Kemenangan Beruntun Tanpa Wembanyama 
Rencana NBA Pakai Format Pickup-Style untuk All-Star Game 2025
Suasana Ruang Ganti Sixers Memanas