Mungkin ada beberapa yang belum tahu kalau sebentar lagi Pekan Olahraga Nasional (PON) kesekian akan diselenggarakan di Jawa Barat. Menurut saya seperti ini.
Tahun ini benar-benar tahun overload olahraga. Bahkan mungkin overexposed. Ada Piala Eropa, ada Olimpiade. Berbagai liga dalam berbagai cabang olahraga di berbagai penjuru dunia terus berlangsung seperti biasa. Beberapa berlangsung lebih mendebarkan, lebih melelahkan, dari tahun-tahun sebelumnya (misalnya Final NBA).
Lalu ada Pekan Olahraga Nasional alias PON.
Seperti beberapa kali saya lakukan dalam menulis kolom Happy Wednesday ini, saya meminta pembaca untuk membuka mata lebih lebar, membuka mata hati selebar-lebarnya, mencoba mengaplikasikan common sense alias akal sehat seoptimal mungkin.
Tulisan ini tidak bertujuan untuk mengkritik pihak-pihak tertentu. Tidak untuk menyindir pihak-pihak tertentu.
Tulisan ini justru bertujuan untuk mengkritik kita semua, menyindir kita semua, mengajak kita semua untuk merenung. Termasuk menyindir dan mengkritik saya sendiri.
Terus terang, saya tidak pernah memahami PON. Saya berusaha semaksimal mungkin. Saya tidak ingin dianggap tidak nasionalis, tidak ingin dianggap tidak mencintai kegiatan negara sendiri.
Silakan tanya orang-orang yang dekat dan kenal cara saya bekerja, saya justru sangat ingin negara kita berbuat lebih, berkegiatan lebih. Saya rasa Pak Menteri Pemuda dan Olahraga pun tahu betapa besarnya keinginan saya, dan seberapa besar upaya saya, dalam mencoba membuat dunia olahraga di Indonesia lebih hidup.
Kalau Anda masih tidak percaya, silakan google saja nama saya. Foto-foto yang keluar hampir semua berkaitan dengan dunia olahraga.
Media-media di bawah grup Jawa Pos pun selama ini mungkin termasuk yang paling getol mempromosikan, memberitakan dunia olahraga. Bahkan ikut getol menyelenggarakan berbagai kegiatan olahraga.
Saking banyaknya media di bawah grup ini (jumlah di atas 200 penerbitan dan stasiun televisi), Jawa Pos sampai harus merancang dan menyiapkan media center sendiri di Jawa Barat untuk peliputan lengkap PON 2016 ini.
Padahal secara pribadi (pribadi lho ya, bukan institusi), saya termasuk yang berkecamuk menyikapi PON. Saya tinggal di Jawa Timur, dan di atas kertas seharusnya mendukung Jawa Timur. Saya lahir di Kalimantan Timur, jadi seharusnya ada kecondongan juga untuk Kaltim.
Tapi apakah itu berarti saat PON saya harus mati-matian mendukung kedua daerah itu, lalu tidak mendukung âapalagi tidak menyukai-- daerah lain?
Karena saya berkiprah di tingkat nasional, tentu tidak mungkin demikian. Apalagi, saya punya begitu banyak teman, baik di tingkat pengurus olahraga maupun atlet, yang di PON tahun ini akan berkiprah membela berbagai cabang olahraga untuk berbagai provinsi.
Lebih ironisnya lagi, saya punya banyak teman dari yang di PON nanti justru membela provinsi yang seharusnya bukan tempat mereka berasal, juga bukan tempat mereka menetap.
Jadi terlalu banyak kebingungan di diri saya. Di cabang tertentu, sepertinya mendukung provinsi tertentu. Tapi di cabang lain, mendukung atlet/individu yang dari berbagai provinsi lain.
Saya menyadari betul, betapa pentingnya PON ini bagi para atlet. Saya kenal begitu banyak atlet yang sudah mendedikasikan hidupnya untuk olahraga, sehingga sampai tidak sekolah, rela pindah-pindah provinsi. Karena hidup mereka bergantung pada PON ini.
Karena PON hanya empat tahun sekali, untuk atlet cabang-cabang tertentu, hanya empat tahun sekali mereka benar-benar bisa panen.
Saya sangat kasihan pada teman-teman itu, tapi situasinya memang harus seperti itu. Mau bekerja di bidang lain, atau mau mencari karir, bagi mereka sulit, karena banyak mereka yang tidak sekolah.
Kadang, saya berpikir, seharusnya mereka bisa panen setiap tahun. Tidak harus empat tahun sekali.
Kadang, saya berpikir, hapus saja PON. Lalu, fokus dan arahkan dana yang begitu besar itu ke pengurus cabang olahraga langsung. Selenggarakan kejuaraan nasional berseri setiap tahun, untuk semua cabang olahraga yang jelas arahnya (SEA Games, Asian Games, Olimpiade, atau cabang populer yang global lain).
Rasanya kok tidak banyak ya negara lain yang punya PON. Yang jelas, negara-negara maju banyak tidak punya. Amerika tidak punya, dan mereka meraih medali emas terbanyak Olimpiade. Australia rasanya juga tidak punya, dan mereka punya banyak medali emas walau jumlah populasi negaranya hanya setara Jabotabek.
Kalau dana fokus ke pengurus cabang olahraga langsung (PB-PB), pressure bisa langsung diberikan kepada PB-PB itu. Lalu beri mereka beban langsung yang bisa ditetapkan secara konkret parameternya: Peningkatan jumlah partisipasi, peningkatan jumlah atlet di tingkat elite, dan lain sebagainya.
Jadi, PB-PB tidak bisa lagi menyalahkan organisasi lain yang juga mengurusi olahraga. Dan organisasi lain itu tidak bisa lebih menyalahkan PB-PB. Satu pintu, fokus, cukup sampai di situ.
Dan karena kompetisi dibuat setiap tahun dan rutin dan berseri, tidak perlu pusing mencari atlet untuk turun di tingkat internasional. Tidak perlu ada TC jangka panjang yang kembali menghabiskan dana.
Kadang konyol, ada TC jangka panjang karena harus ada persiapan fisik. Lha yang namanya atlet kelas elite kok harus dipersiapkan fisiknya? Andai kompetisi berlangsung rutin setiap tahun dan berseri, kondisi fisik mereka akan selalu siap. Tinggal mengatur timing supaya mereka peak saat dibutuhkan di tingkat internasional.
Lebih efisien, lebih fokus, buntutnya lebih banyak atlet daripada pengurusnya (yang banyak mungkin sebenarnya tidak paham dan tidak pernah ikut sibuk mengurusi olahraga).
Mungkin, saya masih salah persepsi soal fungsi PON. Ya, saya tahu ini juga merupakan cara untuk membangun infrastruktur olahraga di berbagai wilayah. Tapi membangun kan tidak harus menunggu PON?
Konyol rasanya kalau ditanya mengapa gedung olahraga ini dibangun, dan jawabannya adalah âUntuk PONâ.
Bukankah seharusnya jawabannya: âUntuk memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakatâ? Dan itu tidak harus menunggu PON!
Pertanyaan satu lagi di benak saya: Sudah berapa kali, dalam berapa puluh tahun, PON ini diselenggarakan? Dan apakah itu membuat prestasi kita terus membaik di tingkat Asian Games atau Olimpiade?
Kalau iya membaik, kok rasanya pelan sekali ya.
Kalau dipandang tidak membaik, bukankah itu berarti kita harus mengevaluasi lagi cara negara kita menyelenggarakan kegiatan olahraganya?
Anyway, sekali lagi mohon maaf kalau tulisan ini menyinggung perasaan. Saya paham betul, ada begitu banyak orang yang menggantungkan hidupnya dari PON.
Percayalah, saya tetap akan memperhatikan PON jauh lebih dari kebanyakan orang. Karena bagaimana pun, saya ini sudah telanjur tercemplung di dunia olahraga nasional. Dan grup media saya harus bisa berperan besar untuk terus mempromosikan dan mengembangkan dunia olahraga nasional.
Tapi tidak ada salahnya serius memikirkan cara alternatif bukan? Karena tujuan akhirnya kan tetap bukan âAyo Sukseskan PONâ. Melainkan âAyo kibarkan Merah Putih di kancah olahraga internasionalâ. (*)
*Tulisan ini juga tampil di kolom Happy Wednesday, Jawa Pos hari ini.
Gambar: cargocollective.com