Toko sepatu Payless biasa kita temui di pusat perbelanjaan modern di kota-kota besar di Indonesia. Dengan tampilan laiknya toko sepatu pada umumnya, kabar bahwa Payless mengajukan surat kebangkrutan kedua cenderung mengagetkan. Berita itu kali pertama disampaikan Reuters yang kemudian dikonfirmasi dan dipublikasikan lebih mendalam oleh CNN dan CNBC. Sementara The New York Times melaporkannya sebagai dampak merosotnya jual-beli langsung di Negeri Paman Sam.
Penutupan ribuan gerai merupakan buntut terhadap pengajuan surat tersebut. Likuiditas sudah dilakukan sejak selasa sementara Maret adalah tenggat waktu penutupan seluruh toko. Pengajuan ini adalah yang kedua setelah sebelumnya dilakukan pada April 2017. Dampaknya, mereka terpaksa menutup 400-an gerai demi menghemat anggaran. Meski demikian, strategi tersebut tidak bisa menutup besarnya pengeluaran.
Dalam Surat Pengajuan kedua, Payless tengah dililit hutang sebesar A$470 juta. CNBC melaporkan bahwa gerai tersebut sedang mempersiapkan kemungkinan kebangkrutan yang akan segera terjadi. Mereka mencari cara agar tetap bertahan selain menutup toko. Strategi itu berakhir hampa karena konsumen tidak memenuhi target yang disiapkan.
Pengajuan pada April 2017 tersebut memberikan suntikan pinjaman AS$ 400 juta setelah memangkas utang AS$ 800 juta. Setelah itu, penjualan tak kunjung membaik hingga kemudian mereka mengajukan surat kebangkrutan kedua hampir dua tahun setelahnya. Lebih jauh, sistem pembelian daring juga kabarnya akan dihentikan per Maret 2019.
Payless bukan gerai pertama yang melakukan kebijakan ini. Setidaknya, Gymboree dan RadioShack adalah toko yang mengajukan dua kali Surat Kebangkrutan sebelum benar-benar menutup seluruh gerainya di Amerika Serikat. Penutupan cabang pun terpaksa dilakukan Toys “R” Us dan Brookstone per 2019 dengan penyebab yang sama.
Meski demikian, perwakilan dari Payless tetap memastikan bahwa gerai di luar Amerika Serikat tetap beroperasi kecuali Puerto Rico. Tampaknya Payless ingin fokus dengan penjualan luar negeri dan merelakan pangsa pasar di negara tempatnya berasal.
Penutupan gerai-gerai itu bisa jadi dampak atas meningkatnya jual-beli secara daring. Apalagi, kehadiran situs jual beli semakin memudahkan transaksi. Lalu, bisakah gerai-gerai mampu bertahan di tengah maraknya transaksi daring?
Foto: Justin Sullivan / Getty Images