Beban berat menjadi lottery pick (1-5) seringkali membuat pemain kehilangan determinasi bermain. Kritikan tajam apabila tak memenuhi ekspektasi publik seringkali membuat pemain-pemain tak stabil secara mental.
Dion Waiters terpilih di urutan keempat pada NBA Draft tahun 2012. Pada draft tahun itu, semua mata tertuju pada Anthony Davis yang digadang-gadang akan menjadi bigman terbaik NBA dalam beberapa tahun. Sisanya? Tak begitu spesial, tak ada yang diproyeksikan akan jadi pemain transendental dan mengubah peruntungan suatu tim.
Beruntungnya Damian Lillard, Bradley Beal, Dion Waiters dan Andre Drummond cukup memberikan secercah harapan di tahun pertama mereka. Sehingga draft class ini tak dilabeli sebagai penyumbang pemain gagal.
Di masa rookienya, Waiters membukukan 14,7 poin per game (PPG). Secara statistik ia terlihat mumpuni dan punya prospek cerah. Dengan tandem Kyrie Irving, saat itu ia memang diharapkan bisa jadi duo backcourt yang eksplosif. Tapi, ternyata tak semudah itu.
Waiter dan Irving sama-sama ball-dominant guard. Yang berarti, mereka harus sering membawa bola untuk bisa menyalurkan kelebihan mereka. Sialnya, Cavs yang dilatih Mike Brown waktu itu memilih Irving untuk menjadi ball-handler dan memaksakan Waiters untuk jadi shooter, sebuah tugas yang tak mampu dikuasai Waiters sampai tahun-tahun berikutnya.
Ia tampak linglung, sekalipun statistik rataan poinnya baik. Ia tak bisa menyumbang apa-apa untuk memperbaiki rekor Cavaliers yang dua tahun berikutnya mendapat urutan satu draft pick yang bermakna, Cavs terbenam di dasar klasemen.
Berulang kali ia jadi nominasi dalam Shaqtin' a Fool, program milik Shaq yang khusus menyoroti tingkah konyol dan aneh pemain NBA di sepanjang musim. Ya, statistik yang ia torehkan sama sekali tak membuat dirinya mampu dihargai.
Puncaknya pada 5 Januari 2015, ketika Dion Waiters ditrade ke Oklahoma City Thunders oleh Cavaliers. Trade ini ironis karena hari itu, Cavs akan menghadapi Philadelphia 76ers, tim dari kampung halaman Waiters.
Di setengah musim sisa bersama OKC, Waiters tak banyak berubah. Ia tetap jadi bahan guyon Shaq di acaranya. Minute playnya bertambah jadi 30 menit (tertinggi di karirnya) tapi tetap tak membantu OKC untuk masuk playoff.
Ketika kepala pelatih OKC berganti dari Scott Brooks menjadi Billy Donovan, barulah peruntungan Waiters berubah. Ia tetap jadi sixth man, rataan poinnya menurun, namun ia mulai diberi kesempatan untuk memegang bola manakala Durant atau Westbrook sedang beristirahat.
Hasilnya terlihat ketika playoff. Ia jauh lebih efisien, dan memberikan ruang pada dua bintang OKC untuk mendominasi. Waiters dengan sabar berubah jadi pemain yang multifungsi. Ia mampu bertahan dengan baik, membawa bola, ataupun menjaringkan tembakan-tembakan tiga angka.
Ia mengingatkan orang-orang pada saat ia menjejaki tahun kedua di Syracuse, saat ia menjadi pemain multidimensional dan efektif.
Dan pada filosofinya, kebaikan itu akan menular. Itu juga yang terjadi pada Thunders berkat sikap positif Waiters tahun ini. Steven Adams begitu mondominasi sebagai center terbaik di playoff Barat, Andre Robertson menunjukkan tajinya sebagai salah satu 3 and D terbaik di playoff ini. Semua dimulai dari perubahan kedewasaan Waiters.
Ia telah mengorbankan banyak hal. Kesempatannya menjadi pemain bintang namun direduksi oleh Irving. Kesempatannya untuk menaikkan nilai jualnya dengan mencetak banyak poin di OKC namun memilih untuk bersabar. Dan kini, ia menuai balasnya. Bukan dengan statistik, namun dengan energi dan kedewasaan. Yang mudah-mudahan, cukup kuat untuk mengangkatnya mengalahkan Warriors dan bisa berduel dengan Kyrie Irving, lalu membuktikan siapa yang terbaik di antara mereka.
Foto: NBA