Aturan resmi FIBA pasal 4.4.2 memang menyatakan bahwa pemain tidak diperbolehkan memakai perangkat/benda yang dapat menyebabkan cedera pada pemain lain. Di dalamnya meliputi larangan pemain memakai "tutup kepala" atau "aksesoris rambut" di pertandingan. Sedangkan ikat kepala (headband), lebarnya tidak boleh lebih dari lima sentimeter.

Larangan tersebut berlaku untuk tutup kepala dan aksesoris yang dikenakan untuk alasan agama. Seperti jilbab bagi perempuan muslim, yarmulkes untuk pria Yahudi dan turban untuk pria Sikh.

Aturan ini berlaku di liga atau turnamen agenda FIBA, seperti Olimpiade, Piala Dunia FIBA, AfroBasket, EuroBasket, FIBA Americas, dan agenda-agenda resmi FIBA lainnya.

Memahami fungsi aturan sebenarnya, banyak pemain-pemain dari berbagai belahan di dunia melihat bahwa aturan tersebut mulai tidak signifikan. Tidak sesuai dengan perkembangan zaman dimana basket semakin populer di berbagai kalangan.

FIBA pun menyadari hal tersebut dan sebenarnya mulai mempertimbangkan untuk menghapus aturan kontroversial itu. Dan menghapus aturan tersebut tidak dapat dilakukan secara langsung.

Pada bulan September 2014, FIBA mengumumkan bahwa mereka akan memulai dua tahun fase pengujian. Mereka akan memutuskan apakah pemakaian penutup kepala bisa dipertimbangkan. Hasil pengujian ini bisa memungkinkan pasal 4.4.2 itu diubah.

Sudah dua tahun berlalu sejak pengumuman FIBA tersebut. Pada Agustus 2016 nanti atau sebelum Olimpiade Rio De Janeiro Brazil, FIBA akan mengadakan pertemuan untuk membahas masalah tutup kepala ini.

Menyambut pertemuan yang akan membahas aturan penutup kepala ini, banyak petisi yang ditujukan kepada FIBA. Isinya mengajak publik basket di dunia untuk mendorong FIBA menghapus atau merevisi aturan tersebut.

Salah satu pemain basket Indonesia juga terlibat di pergerakan ini. Raisa Aribatul Hamidah, point guard Surabaya Fever itu membuat petisi di change.org yang kini pendukungnya sudah menembus angka empat ribu tanda tangan.

"Awalnya saya berkenalan dengan Indira Kaljo dan juga Bilqis Abdul-Qaadir, dua pemain basket Amerika yang mengenakan hijab. Indira yang mengawali pergerakan itu di tahun 2014," cerita Raisa. "Kami saling berkomunikasi dengan sesama pemain basket yang berhijab, dan akhirnya kami sepakat untuk mengeluarkan petisi secara serentak di bulan ini."

Seperti yang diceritakan Raisa, ada delapan petisi yang diunggah di change.org dari berbagai negara. Sesuai kesepakatan, mereka menggunakan bahasa negara masing-masing untuk bercerita.

"Itu memang saran dari Indira, sebenarnya saya menawarkan pakai bahasa Inggris, tapi disarankan untuk pakai bahasa Indonesia saja. Saya berusaha maksimal untuk mengumpulkan dukungan dari tanah air. Rata-rata semua petisi sekarang sudah mencapai hampir lima ribu dukungan," sambungnya.

Dalam petisinya, Raisa bercerita seputar mempertahankan hijab untuk bermain basket. Memulai ikut kejuaraan di tahun 2005, tim yang diperkuat Raisa selalu mendapatkan Technical Foul karena kostum yang "tidak wajar", tidak seragam dan dinilai tidak sesuai aturan.

Bahkan harapannya membela tim nasional Indonesia juga harus pupus lantaran dirinya ingin tetap berhijab dalam pertandingan. Terbaru, tahun 2015 ia juga gagal mengejar mimpi bermain basket di kancah regional SEA Games. Harapannya, dengan petisi ini FIBA menghapus larangan tutup kepala (hijab) yang dipakai pertandingan.

"Harapan saya dan impian saya membela negara di ajang Internasional terganjal aturan ini. Saya merasa terdiskriminasi dengan hal tersebut," ucapnya.

Pemain atau mantan pemain yang kini berkampanye di change.org adalah Raisa Aribatul (Indonesia), Ki-Ke RAFIU (Nigeria), Asma Elbadawi (Inggris), Ezdihar Abdulmula (Inggris), Merve Sapci (Turki), Noha Berhan (Swedia), dan Raabya Pasha (Inggris), serta Indira Kaljo dan Bilqis Abdul-Qaadir yang menjadi pemrakarsa. Sementara itu, Yuli Wulandari, wasit perempuan asal Indonesia yang berhijab juga akan mengeluarkan petisinya.

 

Tautan-tautan Petisi:

Indira Kaljo

Bilqis Abdul-Qaadir

Ezdihar Abdulmula

Asma Elbadawi

Ki-Ke Rafiu

Raisa Aribatul Hamidah

Raabya Pasha

Merve Sapci

Noha Berhan

 

Foto: WIBL

Komentar