Tulisan ini merupakan lanjutan dari tulisan: "Wasit Itu Pengadil. Itu Dulu! Untuk Basket Sekarang Tidak Cukup"
...
Mengapa Wasit Harus Mengerti Permainan? Bila tidak, lalu bagaimana menjelaskan keputusannya? Inilah "inkonsisten" di perwasitan kita yang tidak pernah dipersoalkan.
Permainan olahraga beregu bolabasket dilahirkan di Amerika Serikat (AS) oleh Dr. James Naismith. Berdasarkan permainan yang dicipta, maka dibuatlah peraturan-peraturannya. Karena kian meningkat intensitas permainannya, demi menjaga keselamatan pemain, demi menarik ditonton, dan menarik dimainkan, maka peraturannya sering diubah atau disesuaikan dari waktu ke waktu.
Berdasarkan peraturan itu, pelatih membuat strategi taktik permainan. Dan untuk meningkatkan kemampuan tim, setiap individu pemain dilatih fisik, mental, serta kemahiran teknik bermainnya.
Demikianlah maka wasit harus dapat memahami dan mengenali permainan dan peraturannya. Permainan harus terkontrol sesuai peraturan. Peraturan dikenakan harus sesuai dengan pelanggarannya. Begitulah logika keputusan wasit.
Hingga saat ini supremasi bolabasket masih berada di negara pencipta. Dapat dibayangkan betapa besar pengaruh unsur budaya setempat di peraturan mainnya. Demikianlah hal tersebut menjadi kesulitan bagi kita yang ingin mempelajari, bila tidak mengikuti perkembangan maupun kasus-kasusnya. Kita kadang perlu mengetahui adanya kesalahan orang-orang di atas yang sudah berprestasi. Ikut seminar, jadi pendengar, tak lain karena ingin tahu bagaimana caranya mereka mengatasi masalah menggapai prestasi.
"Illegal used of hand" (ISU) misalnya. ISU adalah menggunakan tangan secara tidak sah. Wasit harus dapat mengenali tindakan-tindakan itu dengan baik. Sebab tidak semua gaya atau upaya defense dengan menggerakan tangan lantas digolongkan sebagai pelanggaran IUH. Karena itu, wasit diberi hak untuk ambil "judgement call" (keputusan berdasarkan pandangan sendiri) untuk mengatasi tindakan pemain yang dianggap telah mengambil keuntungan dan merugikan lawannya. Tetapi lain lagi ketika seorang pemain mengganggu lawannya dengan mengepalkan tangan. Tindakan ilegal ini bahkan dapat digolongkan bukan sebagai IUH lagi, tetapi fighting (perkelahian) atau unsportmanlike foul. Karena itu, wasit harus dapat mengantisipasi keadaan, seperti yang sering diingatkan di liga mahasiswa AS (NCAA).
Wasit harus dapat mengantisipasi situasi. Sebab, bila Anda (wasit) menjatuhkan technical foul pada waktu yang salah, Anda mungkin dapat menghancurkan pertandingan maupun karir Anda sendiri. Wasit tidak boleh "abuse power" (menyalahgunakan kekuasaan). Sebab hal tersebut akan mananamkan persepsi yang keliru kapada anak-anak peminat olahraga ini, maupun anak muda yang masih beremosi tinggi. Padahal kita sangat mengharapkan keikutsertaan mereka. Yang tak kalah penting, janganlah Anda (wasit) sampai memiliki kejiwaan yang keliru dalam memandang kekuasaan di profesi wasit. Don't be a tough guy, it's not worth it.
Wasit dituntut harus cekatan dalam menilai aksi dan perilaku pemain di lapangan. Bukan menggunakan kekuasaan untuk bela diri yang dapat berujung kontroversi. Sebab itu, wasit harus memahami permainan. Jangan sampai aksi wasit menghambat alir (flow of the game) permainan, perburuk kualitas pertandingan.
Consistency, adalah hal yang menentukan kualitas seorang wasit. Karena konsisten adalah kepastian paham terhadap ilmu yang ditekuni. Konsisten dapat memberi kepastian dan keyakinan kepada para pelatih, dan para pemain tentang arah ke mana dan bagaimana olahraga ini dimainkan.
Permainan bola basket dapat tampil luar biasa seperti yang dapat kita saksikan sekarang, tidak lain karena adanya peraturan "Personal Contact Foul" (PCF) yang semakin canggih, yang telah melindungi permainan maupun pemain, sehingga memberi peluang kepada prestasi untuk tumbuh.
PCF adalah inti dari permainan basket yang membatasi aksi pemain. IUH yang baru saya jelaskan tadi hanyalah salah satu dari sekian banyak dan sekian rumitnya pelanggaran PCF lainnya. Belum lagi adanya "incidental contact" yang dianggap legal (sah) sehingga menimbulkan perdebatan di perwasitan, terutama di FIBA yang memiliki anggota terdiri dari berbagai suku bangsa dan budaya. Ini bisa menimbulkan banyak pandangan yang berbeda. Padahal menurut penciptanya, "Basketball game is a no contact game", dan diakui oleh semua pihak termasuk NBA. Ternyata, poin yang tidak pernah terhapus dari peraturan ini, terbukti telah membuat performa olahraga ini semakin tinggi. Permainan menjadi semakin seru dan berjaya hingga saat zaman sekarang, pun masih berpeluang untuk meningkat.
Basket diakui memang adalah "one of the most difficult game to officiate" (salah satu permainan yang paling rumit aturannya atau diatur). Terbukti dari perbedaan cara main di zaman Michael Jordan yang individial, lambat, dan permainan body contact ibarat gulat, emosional dibanding dengan basket sekarang yang lebih beriktikad, bermain dengan kerja sama, dan lebih berperforma di dalam banyak hal di permainannya. Itulah bukti dari perubahan yang dilakukan oleh Liga NBA terhadap PCF.
Karena itu, bila liga tidak dapat membuat komitmen dalam hal aturan pertandingan yang menaungi aturan permainan, wasit dan yang diwasiti, yaitu pelatih, maka sebenarnya ia sudah kehilangan pijakan dan akan menemukan kesulitan dalam -menjalankan- tugasnya. Bila kondisi liga demikian, sudah tentu tidak akan ada gunanya evaluasi terhadap apapun, kecuali terhadap komitmen liga itu sendiri.
Mungkin ada yang mencoba bertanya, mengapa masih banyak liga atau kejuaraan tetap dapat eksis dengan kondisi begitu? Sebenarnya tidak aneh bila aktivitasnya sudah dijadikan rutinitas tempat menggantungkan hidup belaka. Tentunya juga di situ sudah tidak ada yang memikirkan prestasi seperti Kejurda, PON, dan lain-lain.
Siapa pun boleh memimpin liga. Tetapi jangan lupa bahwa harapan atau upaya prestasi pada bagian yang terakhir berada di tiga unsur, yaitu, pelatihnya, materi pemainnya, dan perwasitannya. Bila salah satu tidak memenuhi tuntutan kualitasnya, maka tidak akan berharapan.
Jika wasit tidak menjalankan tugas, atau tidak dapat menjalankan tugas dengan baik, liga dapat disebut primitif, dan tidaklah mungkin berkembang. Karena unsur perwasitan adalah yang paling mudah dan paling murah untuk diperbaiki pun diabaikan. Pengabaian akhirnya harus dibayar dengan (tingkat) prestasi (yang rendah).(*)
Foto: Hariyanto