Baiklah, judul di atas memang laik diperdebatkan. Bagi insan bola basket, ini tentu bukan hal yang bisa dengan mudah disepakati. Basket terkenal di kalangan atas. Belum lagi studi Komite Olimpiade Internasional membuktikan bahwa 3X3 adalah olahraga masyarakat urban nomor satu di dunia. Dengan alasan itu, semestinya bola basket dapat dinikmati oleh berbagai kalangan.
Mari kesampingkan dulu urusan-urusan lainnya. Lupakan sejenak kalau bola basket memang cukup populer di mata dunia. Meski itu masih kalah populernya daripada sepak bola dengan segala dinamikanya.
Terlebih ini masalah toleransi. Bola basket dirasa belum cukup toleran bagi pegiatnya. Mengapa?
Liga bola basket kasta tertinggi di Indonesia punya cerita yang menarik untuk menggambarkan masalah tersebut. Siapa saja yang hadir di lapangan, menonton lewat tayangan di layar kaca, atau sekadar mendapat kabar di linimasa, pastilah melihat apa yang melekat di tubuh pemain Surabaya Fever.
Tim basket perempuan asal Surabaya yang berlaga di Women Indonesian Basketball League (WIBL) itu masuk ke lapangan dengan mengenakan kaus bertuliskan: hooping with hijab.
Hooping with hijab, secara harfiah, adalah sebuah kampanye supaya mereka yang yang bertudung, seperti kerudung (Islam), turban (Sikh), yarmulke (Yahudi) dll. bisa mengekspresikan dan mengembangkan diri.
Sayangnya, basketâdalam hal ini FIBA sebagai induk organisasiâbelum mengizinkan penggunaan hijab.
Mari tengok sebentar artikel 4.4.2 dari peraturan FIBA dalam bahasa Inggris:
Players shall not wear equipment (objects) that may cause injury to other players. The following are not permitted:
⢠Finger, hand, wrist, elbow or forearm guards, casts or braces made of leather, plastic, pliable (soft) plastic, metal or any other hard substance, even if covered with soft padding.
⢠Objects that could cut or cause abrasions (fingernails must be closely cut).
⢠Headgear, hair accessories and jewellery.
Pada akhirnya, akibat aturan tersebut, pemain bertudung tidak bisa mengecap kompetisi internasional di bawah FIBA.
Kisah dari dalam negeri, misalnya, tim nasional Indonesia pernah memanggil Raisa Aribatul Hamidah (Surabaya Fever) untuk Kejuaraan Asia U-18. Ia malah tidak bisa bermain di laga internasional lantaran larangan bertudung. Ia harus meninggalkan tim lebih cepat hanya karena itu.
Bukan sekali itu saja ternyata ia harus meninggalkan tim lebih awal. Ia pernah dipanggil timnas untuk berlaga di SEA Games 2015 lalu. Tapi, karena kompetisi itu pun masih di bawah FIBA, tentu saja ia tidak bisa berlaga. Iman bukan sesuatu yang bisa digadaikan begitu saja untuk sebuah permainan.
FIBA agaknya belum memahami ini meski, kabarnya, sedang mengusahakan yang terbaik. Sayangnya, tidak ada perkembangan yang signifikan dari perbincangan itu. Seolah diskusi izin penggunaan hijab tidak sampai ke mana-mana. Padahal yang terbaik sudah terlihat di depan mata.
Mengacu pada pendapat seorang pakar komunikasi, Prof. Deddy Mulyana, M.A., Ph.D. dalam bukunya Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar (2010), ada hal menarik yang bisa mencerahkan. Menurutnya, sebagian kesulitan komunikasi berasal dari fakta bahwa kelompok-kelompok budaya atau subkultur-subkultur dalam suatu budaya mempunyai perangkat norma berlainan.
Dalam hal ini, kemungkinan, FIBA juga memiliki perangkat norma yang berlainan antara mereka dengan orang-orang yang mendukung hooping with hijab.
Padahal perbedaan itu tidak selalu buruk. Kematangan budaya, menurut Craig Baird dkk. dalam Mulyana (2010:8), ditandai dengan toleransi atau perbedaan. Mengutuk orang lain karena mereka berbeda adalah tanda kebebalan dan kecongkakan. Dalam artian lain, tidak mengizinkan hijab dalam basket adalah sikap yang ketinggalan zaman. Seharusnya di zaman ini toleransi adalah hal yang mesti diperjuangan semua orang.
Belajar dari Sepak Bola
Sebuah manuver luar biasa terjadi di lapangan hijau. Pada akhirnya, FIFA setuju untuk mencabut larangan menggunakan tutup kepala, termasuk hijab, pada 2012 silam. Dengan begitu, ini menjadi kabar baik bagi perempuan muslim karena dapat mengenakan kerudung saat bermain.
FIFA menghapus larangan penutup kepala, yang berlaku sejak 2007, dengan syarat tutup kepala (hijab) itu tidak boleh menyatu dengan kaus. Selain itu, harus bisa cepat dilepas serta tidak mengganggu proses penyelamatan jika suatu insiden terjadi. Maka pada Mei 2014, FIFA mengeluarkan peraturan soal penutup kepala yang tertuang dalam Law 4 â The Playersâ Equipment.
Belajar dari FIFA, semestinya FIBA sudah mengizinkan penggunaan hijab di lapangan. Toh, dari apa yang terjadi sejauh ini, penggunaan hijab tidak menimbulkan masalah dalam sepak bola. Pun begitu dalam basket. Ingat, Raisa bermain di WIBL dan baik-baik saja.
Malah, melihat dari apa yang terjadi, para pemain nonhijab pun ikut-ikutan mendukung hooping with hijab. Artinya, para pemain tidak merasakan adanya masalah dengan kehadiran hijab di lapangan. Mengapa induk organisasi basket malah bergeming?
Jadi, bukan sebuah keheranan jika judul di atas ditulis demikian. Karena memangâdalam basketâtoleransi bukan hal seksi untuk dilakukan. Padahal perempuan-perempuan berhijab di luar sana sedang merajut mimpi-mimpi mereka meski tembok menghalangi.
Perempuan-perempuan berhijab sedang berjuang menjadi diri mereka. Perempuan-perempuan berhjiab sedang menyingkirkan diskriminasi. Mereka tetap bermain basket.
Ayolah, izinkan mereka untuk mengekspresikan diri sampai ke tingkat internasional!
Foto: IBL.