"Band urang keur konser di Tasik (band saya sedang konser di Tasikmalaya)," ujar Pidi Baiq sekonyong-konyong ketika kami sedang duduk berdua di halaman salah sebuah lembaga bimbingan belajar di Bandung.
Dialog ini terjadi kurang lebih 15 tahun lalu. Band milik Pidi Baiq bernama The Panas Dalam. Cukup terkenal di Bandung dan mungkin di beberapa daerah di Indonesia. Saya tak ingat band ini pernah masuk saluran tv populer atau setidaknya tampil di acara panggung musik pagi yang selalu dibangun di depan mall atau sejenisnya. Mungkin pernah, tapi saya tidak pernah lihat.
Mendengar celetuk Pidi, saya sedikit terkejut. Sedikit, karena kalimat-kalimat aneh terlalu sering keluar dari mulut Pidi. "Kumaha carana? (Bagaimana caranya?)" Tanya saya bingung.
Logika saya belum bisa mencerna maksud Pidi. Bagaimana mungkin seorang vokalis sekaligus otak sebuah band sedang ngobrol santai di Bandung berkata bahwa rekan-rekannya sedang manggung di kota lain yang berjarak ratusan kilo meter. Aneh.
"Pan ku-urang di-franchise," jawab Pidi ringan.
"Ooh," kata saya.
Setelah selesai tertawa bersama, obrolan lalu berlanjut ke topik-topik lain.
Kata-kata Pidi bak angin lalu. Bagi saya, tak saya ambil pusing. Kalau pun benar, ya sudahlah. Tapi saya yakin Pidi hanya mengungkapkan sebuah ide dengan cara mengatakan bahwa hal tersebut sudah atau benar-benar terjadi. Atau mungkin apa yang ia katakan memang benar adanya. The Panas Dalam waralaba tengah konser di Tasikmalaya saat itu.
"Franchising a band!"
Saya tidak tahu apakah sudah ada yang pernah melempar ide ini terlebih dulu atau tidak. Yang pasti, saya pertama kali menangkapnya dari mulut Pidi.
Layaknya sebuah produk franchise alias waralaba, kita membeli nama, sistem dan hal-hal lainnya untuk dipakai di tempat lain. Sistem bisnis ini biasanya dipakai untuk kafe atau restoran. Banyak restoran-restoran waralaba. Yang paling terkenal misalnya KFC atau McDonald. Asalnya dari Amerika Serikat, rasanya mirip-mirip, menunya mirip-mirip, tetapi pemiliknya berbeda.
Konsep waralaba di dunia kulinari coba diaplikasikan di dunia musik. Saya langsung membayangkan One Direction versi Indonesia yang anggotanya berwajah melayu. Atau band-band populer seperti Metallica, Linkin Park atau Simple Plan atau band-band populer Korea Selatan dengan anggota-anggota WNI.
Kalau tidak salah konsep ini sudah teraplikasi nyata pada band JKT48. Sebuah grup musik di Jakarta yang merupakan saudara pertama dari grup serupa dari Jepang AKB48.
Gara-gara Pidi saya kemudian berkhayal. Bagaimana kalau konsep ini terbang ke dunia basket. Bagaimana kalau NBA mewaralabakan tim-timnya.
Sebenarnya lagi, konsep ini sudah berjalan sih. Tetapi masih di Amerika Serikat sendiri dalam bentuk NBA Developmental League. Yaah, bukan waralaba sih memang, tetapi ada mirip-mirip sedikit lah. Sebuah tim di luar NBA di mana pengelolaannya mirip tim NBA bahkan pemain dari tim NBA yang terafiliasi dengan tim D-League bisa saling migrasi bertukar pemain. Ya, beberapa tim NBA D-League terikat kerja sama --bahkan kepemilikannya- dengan tim-tim NBA.
Kalau bisa terjadi, mari bayangkan tim-tim yang berlaga di IBL adalah Bandung Warriors, Jakarta Spurs, Surabaya Bulls, Semarang Lakers atau Yogyakarta Mavericks.
Enak yaa berkhayal :))