"Dan, apa kabar?" Sapa ramah Erick Thohir sekitar tiga tahun lalu. Saya bertemu bos Inter Milan ini di salah satu laga Satria Muda -waktu itu- Britama Jakarta di Hall Basket Senayan Jakarta. Seperti biasa, ia selalu ramah dengan senyum khasnya.
"Sixers sudah gue jual," bisiknya mendekat sambil masih berjabat tangan.
Tulisan di bawah ini adalah cerita eksklusif di majalah Mainbasket edisi #2. Lawas. Cerita tentang awal mula Erick Thohir membangun Satria Muda, Indonesia Warriors, ASEAN Basketball League dan membeli Philadelphia 76ers.
Untuk membuat tulisan ini, Erick Thohir menyediakan waktunya yang sangat terbatas untuk saya di kantornya di kawasan pusat Jakarta.
Erick Thohir, bagi saya, adalah salah satu "orang gila" yang mau berkorban untuk basket Indonesia.
Selamat membaca :)
--------------------------
Antara Satria Muda, Indonesia Warriors, dan Philadelphia 76ers
Jika saja Erick Thohir mau membuka inbox message di facebooknya, ia barangkali akan menemukan sebuah surat singkat permohonan wawancara dari blog Mainbasket yang terkirim sekitar tiga tahun yang lalu. Hingga kini, surat permohonan wawancara tersebut tidak berbalas.
Tiga tahun berlalu, dalam rangkaian Championship Series NBL Indonesia 2011-2012, Mainbasket yang selalu melihat Erick Thohir datang mendukung Satria Muda Britama Jakarta dengan memilih duduk di tribun penonton (bukan VIP) akhirnya secara kebetulan berpapasan dengan pemilik sebuah perusahaan media massa besar ini di sebuah warung sate di depan GOR UNY Yogyakarta. “Fanatics (nama kelompok fans Satria Muda) ini luar biasa, saya ingin ikut melebur bersama mereka,” kata Erick Thohir kala itu.
Tanggal 29 April 2012, Erick Thohir terlihat larut dan sangat berbahagia bersama para pemain Satria Muda beserta jajaran ofisialnya merayakan kemenangan timnya atas Dell Aspac Jakarta di Grand Final NBL Indonesia 2011-2012. Mainbasket datang menyalami dan kembali membuka isi surat di facebook tiga tahun lalu dengan lisan. “Ayo, kita ketemuan di Jakarta sebelum tanggal 14 ya,” balas Erick Thohir sembari menyebutkan nomor telepon pribadinya. Ia terlihat sangat bahagia sambil menunjuk ke arah dua orang pemainnya, “Itu, selamatin juga Asun (Agung Sunarko) dan Welly (Wellyanson Situmorang), mereka akan segera pensiun dari Satria Muda.”
Belakangan, Erick Thohir menyatakan mengapa ia sangat gembira akan kemenangan tersebut, “Ini gelar juara kita yang paling susah, sebelumnya saya sendiri gak yakin kita akan juara lagi.”
Seperti yang telah dijanjikan, Erick Thohir menelepon dan juga mengirim sms mengenai lokasi wawancara di Jakarta. Awalnya Mainbasket ragu untuk langsung naik ke lantai tiga salah satu gedung di kawasan SCBD, Jakarta tersebut karena dalam sms-nya, Erick Thohir mengatakan akan menjemput ke bawah.
Benar saja, beberapa waktu berselang, asisten pribadi Erick Thohir menjemput dan mengajak ke ruang kerja kecil berukuran sekitar sembilan meter persegi. Ruang kerja Erick Thohir terpisah di antara ruangan yang sangat luas di mana para pegawainya terlihat sibuk bekerja.
“Maaf banget, masih berantakan,” sambut Erick Thohir. Kalimat Erick Thohir sebenarnya lebih menunjukan lorong menuju kantornya yang memang sedang direnovasi, bukan ruang kerjanya. Ruang kerja Erick Thohir sendiri justru masih sangat bersih. Hanya terlihat sebuah trophy kecil juara NBL Indonesia 2010-2011 dan setumpuk berkas Surat Setor Pajak yang harus ditandatangani di atas meja.
Di bagian samping terdapat lemari kecil yang berisi banyak miniatur para pemain Los Angeles Lakers. Deretan miniatur tersebut membuat Mainbasket teringat kembali bahwa Gary Payton dan Karl Malone pernah membela Lakers.
“Piala-piala Satria Muda yang lainnya ada di kantor yang satu lagi,” Erick Thohir membuka pembicaraan. Hari itu Mainbasket ingin mengetahui sedikit mengenai salah seorang dari sedikit orang Indonesia yang “gila” terhadap basket dan rela berkorban banyak untuk kemajuan basket Indonesia. Kita bisa menyebut nama-nama “gila” lain seperti Kim Hong (Dell Aspac Jakarta), Eda Bakrie (Pelita Jaya Esia Jakarta), Azrul Ananda dengan DBL dan NBL-nya, dan tentu saja Erick Thohir dengan tiga klub basket profesionalnya.
“Saya suka basket itu dari kakak saya yang laki, Mas Boy, Boy Thohir,” ungkap Erick Thohir. Mas Boy, adalah panggilan akrab Erick Thohir untuk kakaknya yang bernama lengkap Garibaldi Thohir. Berbeda usia lima tahun, Erick yang saat itu duduk di bangku kelas lima SD St. Fransiskus Asisi sering mengikuti Mas Boy yang sering bermain basket. Pelan-pelan, Erick Thohir pun akhirnya tertular untuk ikut menggemari basket. Mengenai tempatnya bersekolah, Erick Thohir mengatakan, “Sekolahnya Obama. Obama itu sekolah di situ. Justru Obama lebih lama bersekolah di sini daripada yang SD Menteng yang heboh itu.”
“Kalau kita mainnya di sekolah saja, main basket kita jadi gak pintar,” dengan alasan tersebut, Erick Thohir akhirnya mengajak beberapa teman basketnya untuk bergabung dengan klub basket Indonesia Muda Jakarta. Mengikuti Mas Boy yang juga bergabung dengan Indonesia Muda, Erick Thohir dan kawan-kawan akhirnya berada di level tunas, sementara Mas Boy masuk jajaran tim junior Indonesia Muda. “Dari sanalah saya kenal Kak Fari (Rastafari Horongbala) dan Kak Amran (Wan Amran), coba saja tanyakan kepada mereka bahwa mereka kenal saya dari kecil.”
Pengalaman kecil yang sudah mencintai basket terbawa oleh Erick Thohir yang kemudian berkuliah di Pasadena, Los Angeles, Amerika Serikat. Ia kerap bermain basket di taman-taman terbuka di sana yang memang menyediakan lapangan-lapangan basket untuk umum. Tentu saja ia tidak hanya bermain dengan orang-orang Indonesia saja. “Ada orang hitam, Filipina, dan orang-orang Indonesia,” jelas Erick.
Bersama kumpulan teman-teman yang bermain basket ini Erick Thohir kemudian membentuk klub basket yang ia beri nama Sopas, kependekan dari South Pasadena. “Kebetulan ada teman saya yang orang Ambon, dia bilang, ‘Sopas, so pasti!’” kata Erick Thohir sambil tertawa.
Sopas kemudian menjuarai turnamen basket khusus orang-orang Indonesia di Los Angeles selama tiga tahun berturut-turut. Lebih luas lagi, Sopas juga juara tiga tahun berturut-turut di kejuaraan wilayah yang lebih luas, California. “Sopas ini masih ada sampai sekarang di LA. Cuman ceritanya bagaimana, saya sudah gak ngikutin hahaa.”
Menceritakan awal mulanya mencintai basket di SD, SMP, SMA dan juga saat berkuliah, sepulang dari Amerika, Erick Thohir mengatakan bahwa setelah itu ia tidak lagi bersentuhan dengan basket. Ia lebih memilih membantu keluarga menjalankan bisnis. “Dari 93 sampai 99, enam tahun saya gak ngerti (mengikuti) basket,” ungkap Erick Thohir.
Hingga suatu hari ia bertemu dengan Radityo Gambiro, temannya ketika di Amerika. Radityo yang juga berteman dengan mitra usaha dari Erick Thohir, M. Luthfie (kini duta besar Indonesia untuk Jepang) menawarkan agar ia mau membantu membangun tim Satria Muda yang baru dibentuk. Saat itu M. Luthfie belum menyanggupi karena memang baru mulai membangun usaha.
Radityo kemudian juga mengajak Wisnu Wardana, mitra Erick Thohir yang lain untuk bergabung. Saat itu, Wisnu memberikan alasan yang kurang lebih sama bahwa ia pun merasa belum mampu.
Beberapa waktu berselang, Radityo mendapati bahwa Wisnu memberi dukungan kepada klub basket Mitra Guntur. Radityo menyangka bahwa dukungan tersebut datang dari Mahaka, perusahaan bersama milik Erick Thohir, Wisnu Wardana, dan M. Luthfie, padahal dukungan tersebut datang dari pribadi Wisnu Wardana seorang.
Merasa sedikit tidak enak, Erick Thohir, Wisnu Wardana, dan M. Luthfie akhirnya mengadakan pertemuan yang hasilnya bersedia mendukung Satria Muda sebagai bagian untuk membantu masyarakat dengan menyisihkan sebagian keuntungan perusahaan. “Setelah diskusi, akhirnya kita ke Satria Muda. Jadi awalnya sebenarnya adalah Luthfie dan Wisnu, bukan saya,” kilah Erick Thohir.
Erick Thohir lalu menceritakan bahwa ia mengingat salah satu pertandingan Satria Muda yang pertama ia tonton adalah ketika tim ini sedang beradu di babak playoff untuk menghindari degradasi dari Kobatama. Pelatih Satria Muda saat itu adalah Rastafari Horongbala. Erick Thohir berjumpa kembali dengan pelatihnya ketika SD.
Dalam sebuah pembicaraan seusai sebuah turnamen di Solo, Radityo Gambiro, M. Luthfie, dan Wisnu Wardana sepakat bahwa orang yang sebaiknya dan paling cocok menangani Satria Muda adalah Erick Thohir. Keputusan ini didasarkan dari perjalanan jejak rekam Erick Thohir yang sangat dekat dengan basket sejak ia masih muda.
Di tangan Erick Thohir yang awalnya menyatakan hanya akan memegang Satria Muda selama dua tahun untuk membangun fondasi basket dan manajemen basket yang kuat, Satria Muda langsung menjuarai turnamen Bimasakti di Malang. Ketika itu tim-tim besar seperti Aspac memang tidak ikut serta. Tetapi, di luar dugaan, pada liga Kobatama, Satria Muda yang sebelumnya berada di posisi terbawah klasemen, langsung tampil sebagai juara di tahun 1999. Ini adalah gelar juara basket profesional Indonesia pertama yang diraih Satria Muda.
Menanggapi sentuhannya yang boleh dikatakan langsung berbuah manis bagi Satria Muda bahkan bertahan hingga sekarang, Erick Thohir mengatakan bahwa ada tiga hal yang membawa Satria Muda seperti sekarang. “Satu, karena Allah,” Erick Thohir menunjuk jari ke atas. “Kedua, karena saya tekunin sehingga terjadi (ketiga) chemistry. Karena kebersamaan ini, kita jadi punya fighting spirit. Saat kita juara tahun 1999 itu, ada saja pemain yang berbeda yang tampil sebagai pahlawan yang memberi tim ini kemenangan.”
Setelah meraih gelar juara di tahun 1999, Erick Thohir mengaku bahwa timnya masih memiliki kelemahan. “Tim ini kurang dalam,” kata Erick yang kemudian langsung melakukan road show mencari bibit-bibit pemain baru untuk Satria Muda.
“Saya dapat 12 pemain yunior, dan 12 pemain ini sudah menyebar di liga saat ini. Ada Kelly, Yudhi, Erick, Buggy, Amin, Welly, Faisal, Wendha, Popo, Youbel dan lain-lain.” Erick Thohir menyatakan bahwa 12 pemain tersebut yang membentuk fondasi Satria Muda. Dalam perjalanannya, karena membutuhkan seorang pemain yang memiliki karakter leadership serta menutupi kebutuhan akan posisi tertentu, Erick Thohir lalu mengambil Agung Sunarko (point guard) dan Roni Gunawan (center) untuk ikut bergabung.
Meskipun telah berganti-ganti pemain, ada beberapa hal yang tidak boleh berubah dari para pemain Satria Muda. Hal tersebut adalah bahwa setiap pemain harus memiliki skill, karakter, loyalitas, dan komitmen. Inilah formula yang membuat Satria Muda menjadi Satria Muda seperti sekarang.
Usai membicarakan sejarah singkat membangun dan menjaga Satria Muda, obrolan Mainbasket dan Erick Thohir melompat ke liga bola basket ASEAN yang populer dibesarkan oleh Tony Fernandez, bos dari maskapai penerbangan Air Asia. Melalui pemaparannya, Erick Thohir belakangan menjelaskan bagaimana justru sebenarnya Tony Fernandez baru bergabung ketika ASEAN Basketball League sudah akan berjalan.
Awal mula lahirnya ABL tidak lepas dari Erick Thohir yang menjabat sebagai presiden SEABA (South East Asia Basketball Association). Erick Thohir yang oleh beberapa negara ASEAN dianggap mampu mengangkat bola basket Indonesia ke arah yang lebih baik diminta untuk menjadi Presiden SEABA. Melalui mekanisme pemungutan suara, hanya Thailand dan Filipina yang tidak setuju Erick menjadi ketua. Delapan negara ASEAN lainnya mendukung Erick Thohir.
SEABA yang selama ini lebih banyak mengadakan turnamen-turnamen dan hanya coaching clinic, dianggap tidak memberikan dampak yang berarti bagi perkembangan basket di ASEAN. Erick menganggap bahwa region Asia Tenggara ini harus memiliki liga basket profesionalnya sendiri.
Gayung pun bersambut positif. Beberapa negara ASEAN setuju. Bahkan untuk negara-negara yang memiliki populasi penduduk cukup banyak, Erick Thohir melalui SEABA memperkenankan negara-negara tersebut memiliki dua tim. Thailand dan Filipina kini memiliki dua wakil di ABL.
“ABL sudah datang menawarkan kepada CLS Knights, Pelita jaya, dan Garuda untuk ikut bergabung, tapi sepertinya mereka ingin fokus ke liga lokal dulu,” tukas Erick Thohir tentang kemungkinan tim kedua dari Indonesia di ABL. Kini ABL tengah menjalani musim ketiga sejak kemunculannya pertama kali di tahun 2010.
“Kalau liga ini berjalan, kita butuh pesawat untuk berangkatin pemain, makanya saya libatkan Tony Fernandez. Setelah bertemu Tony, ia pun sepakat mendukung untuk menyediakan pesawat, selain tentu saja karena Tony punya nama besar di Asia Tenggara,” jelas Erick Thohir tentang awal keterlibatan bos Air Asia tersebut, “Di Asia Tenggara, siapa sih Erick Thohir, orang lebih mengenal Tony Fernandez,” ujarnya merendah.
Berhasil menjalankan kompetisi bola basket ASEAN, Erick Thohir menjelaskan dengan singkat alasannya membeli sebagian porsi kepemilikan klub NBA, Philadelphia 76ers. “Gak sengaja,” kata Erick membuka cerita.
Semua berawal dari Jason Levine. Jason adalah salah seorang agen pemain-pemain NBA. Dalam perjalanan karir dan usahanya, Jason menjual perusahaannya untuk kemudian bekerja di Sacramento Kings. Sepak terjang Jason di Kings berhasil membawa tim ini menjadi tim dengan manajemen yang baik dan menguntungkan.
Jason ternyata diam-diam memiliki keinginan untuk juga memiliki klub NBA sendiri. Saat itu, ia adalah teman dari Ed Snider, pemilik Philadelphia 76ers. Ed Snider yang mengetahui keinginan Jason, mengatakan bahwa ia akan menjual 76ers. Kepada Jason, Ed memberikan waktu enam bulan untuk mempersiapkan segala yang dibutuhkan untuk memiliki 76ers.
Mendapat angin segar, Jason lalu mengumpulkan empat orang temannya untuk ikut bergabung membeli 76ers. Menerawang bahwa Asia akan menjadi pasar yang sangat potensial bagi NBA, lima sekawan yang sama-sama alumni University of Pennsylvania ini akhirnya sepakat untuk mencari satu orang lagi dari Asia untuk diajak bergabung. Nama Erick Thohir muncul sebagai calon mitra terpotensial.
“Ketemunya waktu di LA waktu nonton NBA, ada Azrul ada Christopher (CLS Knights) cuman saya gak cerita. Takutnya kalau cerita terus gak jadi kenyataan kan malu,” cerita Erick Thohir mengenai pertemuan pertamanya dengan Jason Levine.
Pada pertemuan pertamanya dengan Jason Levine, Erick Thohir langsung terkaget ketika mengetahui bahwa Jason menawarkannya untuk membeli sebuah klub NBA. “Berapa?” tanya Erick Thohir mengenai harga tim NBA yang katanya akan dilego tersebut. Saat itu tentu saja Erick Thohir menyatakan cukup kaget dengan angka yang sangat fantastis yang ditunjukan oleh Jason. 325 juta dollar AS.
Tidak ingin mengagetkan Erick Thohir lebih jauh, Jason kemudian menjelaskan bahwa harga tersebut tergolong murah dan investasi membeli sebuah klub NBA adalah investasi yang menguntungkan. Jikalaupun bisnis menjalankan klub NBA ini tidak berjalan dengan baik, ia tinggal menjual kembali kepemilikannya dengan harga yang lebih mahal dibandingkan ketika ia membelinya. “Ini bisnis yang menguntungkan,” goda Jason seperti dituturkan oleh Erick Thohir.
“Terus saya tanya, ini beli 100 persen duit atau ada pinjaman dari bank?” Erick Thohir mulai tertarik dan sedikit penasaran. Jason mengatakan bahwa mereka akan mendapat pinjaman dari bank dengan total 50 persen dari harga klub tersebut.
“Berarti lebih murah lagi, kalau dibagi enam, agak kebayang, jadi masing-masing punya 15 sampai 20 persenan” Erick Thohir mulai membayangkan nilai uang yang harus ia keluarkan jika akan membeli klub yang ketika itu belum disebutkan namanya oleh Jason.
“Klubnya namanya apa?” tanya Erick yang sejak awal obrolan dengan Jason belum mendapatkan kejelasan mengenai klub apa yang sedang mereka perbincangkan. Mendengar Jason mengatakan, “Sixers,” Erick Thohir cukup terperanjat. “Ya sudah saya pelajari dulu,” kata Erick Thohir menerima buku yang harus dipelajari tentang rencana kepemilikan yang ditawarkan Jason.
Di pesawat pulang menuju Indonesia, Erick Thohir langsung membaca buku yang diberikan oleh Jason. “Ngapain lagi? Aduh kamu tuh gila apa beli klub NBA? Bilang dulu sama orang tua,” saran istri Erick Thohir yang berada di kursi sebelahnya. Setelah mendapat restu dari kakak dan orang tuanya, Erick Thohir akhirnya memutuskan membeli porsi yang ditawarkan oleh Jason. Nama Will Smith dan Jada Pinket muncul belakangan dengan tujuan untuk mengangkat popularitas para pemilik baru Philadelphia 76ers.
Setelah menjelaskan panjang lebar tentang sejarah kepemilikannya terhadap tiga klub basket ini, Erick Thohir lalu memberikan garis gambaran yang membedakan ketiganya. “Satria Muda itu lebih kepada CSR (Corporate Social Responsibility), walaupun kita juga dapat sponsor tapi tentu saja belum menutupi keseluruhan operasi tim,” jelas Erick Thohir.
“Warriors, kebetulan saja saya Presiden SEABA maka saya dukung. Oleh karenanya di tim ini, partner saya banyak, ada Martin Hartono, Andre, Sandiaga Uno, dan lain-lain semua saya suruh ikutan karena membawa nama Indonesia. Warriors itu milik ramai-ramai, ber-15,” melanjutkan mengenai klub basket keduanya.
“Di Sixers, lain lagi. Bisnis, it’s a totally a different strategy dengan Satria Muda dan Warriors, ini benar-benar bisnis. Tapi siapa tahu, ke depan bisa ngebantu basket Indonesia dan Asia Tenggara, kita lihat saja perjalanannya, kan tidak segampang itu juga,” Erick Thohir lalu menoleh ke pintu ketika salah seorang asistennya masuk mengingatkan bahwa beliau sudah harus mengikuti sebuah rapat di tempat lain.
Sebelum menutup obrolan, Erick Thohir melontarkan sebuah pertanyaan yang ia jawab sendiri dengan optimis, “Pertanyaannya, apakah ke depan akan lebih baik? Saya yakin akan lebih baik. Apalagi jika GDP (Gross Domestic Product) kita meningkat dari 3.500 ke 10.000 (dollar AS), mestinya akan semakin baik (basket Indonesia).”
Tidak terasa, obrolan berjalan lebih dari satu jam. Erick Thohir yang segera harus menghadiri rapat di tempat lain menyempatkan diri bercerita ringan mengenai kesibukan-kesibukannya di luar basket. Sangat padat. Begitu sebuah mobil Alphard putih berhenti di depannya, Erick Thohir langsung masuk. Tepat sebelum menutup pintu, ia mengatakan sesuatu, “lain kali kita ngomongin Persib Bandung ya.”