Bedah NBA 2018-2019: Era Baru Chicago Bulls

| Penulis : 

Chicago Bulls pernah membangun dinasti di NBA selama dekade 90-an. Michael Jordan tentu menjadi tokoh utama dalam dinasti tersebut. Selain dirinya, nama-nama seperti Scottie Pippen, Tony Kukoc, Ron Harper, Horace Grant, Dennis Rodman, dan Steve Kerr menjadi deretan tokoh pendukung. Sementara kursi “sutradara” diisi oleh pelatih yang mendapat julukan Zen Master, Phil Jackson.

Enam gelar juara diraih pasukan ini selama enam kali perjalanan mereka ke babak final. Enam gelar tersebut dibagi dalam dua kali three peat (tiga gelar juara beruntun). Three peat pertama mereka dapatkan pada 1991-1993 sementara yang kedua datang di 1995-1998. Sampai sekarang, hanya ada tiga tim selain Bulls yang pernah meraih three peat. Minneapolis Lakers, Boston Celtics, dan Los Angeles Lakers.

                                                        Enam trofi juara Chicago Bulls, Foto: Chicago Tribune

Setelah gelar terakhir pada 1998, dinasti Bulls runtuh seiring kepergian nyaris seluruh elemen utama mereka. Jordan pensiun, Jackson mundur dari tim, manajemen juga lantas memutuskan untuk membangun ulang (rebuild) skuat dengan menukar Pippen dan Kerr. Hingga kini, dinasti Bulls tak pernah kembali.

Prestasi terbaik Bulls setelahnya terjadi di era Tom Thibodeau yang diperankan oleh pemain utama, Derrick Rose pada 2010-2011. Rose meraih gelar MVP pada musim itu dan bersama dengan Luol Deng, Joakim Noah, Carlos Boozer serta Ronnie Brewer, Bulls berhasil menyentuh final Wilayah untuk pertama kalinya sejak 1998. Sayangnya, mereka gagal membendung Miami Heat yang kala itu diperkuat trio LeBron James, Dwyane Wade, dan Chris Bosh. Heat memenangi seri tersebut dengan skor 4-1.

                                                            Derrick Rose MVP, Foto: Chicago Tribune

Dalam prosesnya, Bulls berhasil terus melaju ke babak playoff meski tak pernah menyentuh titik yang sama dengan musim 2010-2011. Di musim 2015-2106, Bulls akhirnya melakukan perubahan seiring prestasi tim yang stagnan. Fred Hoiberg didapuk mengisi posisi kepala pelatih menggantikan Thibodeau.

Hoiberg melakukan banyak sekali perubahan dengan mempercayai deretan pemain muda seperti Doug McDermott dan Nikola Mirotic mengisi posisi utama (starter) dan meminggirkan pemain seperti Noah. Hasilnya tak langsung baik, Bulls gagal lolos ke playoff di musim pertama Hoiberg. Kegagalan tersebut menjadi yang pertama sejak musim 2007-2008.

Semusim berselang, Hoiberg semakin terang-terangan merombak timnya. Rose yang bisa dibilang “wajah utama” organisasi Bulls ditukar ke New York Knicks. Hoiberg kemudian bergerak di pasar pemain bebas dengan memulangkan pemain asli Chicago, Dwyane Wade dan memboyong garda peraih satu gelar juara, Rajon Rondo. Transaksi ini membuat starter Bulls bermaterikan Rondo, Wade, Jimmy Butler, Mirotic, dan Brook Lopez. Skuat ini berhasil lolos ke playoff dan mencuri dua kemenangan atas unggulan pertama Wilayah Timur, Boston Celtics. Sayangnya, Bulls tak dapat menjaga momentum dan kalah di empat laga selanjutnya.

Musim 2017-2018, Hoiberg benar-benar “merobohkan” seluruh bangunan Bulls dengan melepas Rondo dan Wade. Lalu, manajemen Bulls membuat kejutan dengan melepas Butler yang sempat digadang sebagai poros utama Bulls ke Minnesota Timberwolves untuk ditukar dengan dua pemain, Kris Dunn dan Zach LaVine plus satu hak memilih yang digunakan Bulls untuk memilih Lauri Markkanen.

Dari pergerakan ini, nyaris seluruh pecinta dan pengamat NBA menyatakan bahwa kubu Bulls adalah pihak yang merugi. Hal tersebut semakin dikuatkan dengan hasil akhir musim reguler. Butler berhasil membawa Timberwolves lolos ke playoff untuk pertama kalinya dalam 14 tahun terakhir dan menjadi top skor tim. Sementara Bulls terperosok di peringkat 13.

Tapi justru di titik ini Bulls tampak menjanjikan. Hoiberg berhasil memenuhi skuat mereka dengan deretan pemain muda dengan potensi yang cukup menjanjikan guna menghadapi musim 2018-2019. Terperosok di peringkat 13 membuat Bulls mendapatkan hak memilih ketujuh di NBA Draft 2018. Hak memilih tersebut digunakan secara bijak untuk memilih Wendell Carter Jr. dari Duke University.

Mengapa bijak? Carter adalah pemain yang berposisi sebagai forwarda atau senter. Carter adalah salah satu pemain dengan kemampuan bertahan terbaik di antara deretan pemain ruki (rookie). Catatan 2,1 blok per gim yang ia bukukan merupakan yang terbaik ketiga di antara ruki yang terpilih di malam draft. Hanya ada Mo Bamba dan Jaren Jackson Jr. yang memiliki rataan lebih baik.

Berkaca pada statistik musim lalu, Bulls adalah tim dengan kemasukan terbanyak nomor empat dengan rata-rata kemasukan mencapai 110 poin per gim. Hanya Phoenix Suns, New Orleans Pelicans, dan Brooklyn Nets yang memiliki jumlah kemasukan lebih buruk dari Bulls.

Carter saya prediksi tak akan memulai musim sebagai starter untuk Bulls seiring keberadaan Robin Lopez. Namun, seiring musim berjalan, bila ia mampu membuktikan perannya saat bertahan, bukan tidak mungkin ia menggeser Lopez. Di sisi lain, Carter juga cukup terampil dalam menyerang, lebih memiliki banyak amunisi ketimbang Lopez.

Ya, musim lalu, Carter mencatatkan rataan 13,5 poin dengan akurasi keseluruhan mencapai 56 persen dan akurasi tripoin 41 persen. Akurasi tripoin tersebut lebih baik dari akurasi starter Bulls musim lalu. Dewasa ini, permainan NBA dan basket berkembang ke arah adu tembak jarak jauh. Wajar bila di tengah musim nanti, Carter akan menggeser Lopez yang hanya memiliki akurasi tripoin 28 persen.

Selain Carter, Bulls juga mendapatkan dua pemain dengan status ruki lainnya. Chandler Hutchison di urutan ke-22. Bermain empat musim di NCAA untuk Boise State University, musim lalu menjadi musim terbaiknya. Berposisi sebagai forwarda, Hutchison menorehkan rataan 20 poin dan 7,7 rebound per laga.

(Baca juga: Membedah Kekuatan Houston Rockets Menghadapi Musim 2018-2019)

Setelahnya, Bulls juga mengontrak Rawle Alkins yang berposisi sebagai garda dari University of Arizona untuk mengisis slot two-way player. Alkins adalah pemain yang eksplosif dalam melakukan gerakan terobosan-terobosan. Ia terkendala cedera patah kaki di awal gelaran NCAA musim lalu tapi masih mampu menorehkan rata-rata 13,1 poin dan 4,9 rebound.

Tiga ruki ini menunjukkan bahwa Hoiberg dan manajemen Bulls tahu benar apa yang dibutuhkan tim ini musim depan. Pemain bertahan dan dua pemain sayap (wing) yang atletis, yang tidak dimiliki Bulls musim lalu. LaVine, David Nwaba, dan Denzel Valentine adalah pemain yang menempati posisi itu musim lalu. Namun hanya nama yang disebutkan pertama yang mampu tampil apik.

Derrick Walton Jr., Antonius Cleveland, dan Jabari Parker menjadi tiga nama yang mereka rekrut di pasar pemain bebas (free agent). Dua nama pertama masih cukup asing di telinga pecinta NBA karena baru memulai perjalanannya musim lalu dan lebih banyak berlaga di NBA GLeague.

Sementara Parker datang ke NBA dengan ekspetasi tinggi setelah terpilih di urutan kedua NBA Draft 2014 oleh Milwaukee Bucks. Memasuki jeda musim ini, Parker menyandang status restricted free agent dan Bulls datang memberikan penawaran dua tahun AS$40 juta. Bucks tak membalas tawaran tersebut dan Parker resmi bergabung ke Bulls.

Parker akan menjadi pilihan utama Bulls untuk posisi forwarda. Empat musim di NBA, Parker sudah terkena cedera Anterior Cruciate Ligament (ACL) dua kali. Hal tersebut membuatnya baru bermain 183 kali dalam kurun waktu tersebut. Secara keseluruhan, rata-rata Parker menorehkan 15,3 poin, 5,5 rebound, dan 2,0 asis per laga dengan akurasi keselurhan 49 persen serta akurasi tripoin 35 persen.

Namun, selama waktu itu pula gaya bermain Parker berubah. Perubahan gaya bermain Parker juga mengikuti perubahan peran Giannis Antetokounmpo. Seiring dengan semakin membaiknya penampilan Antetokounmpo, Parker lebih berfungsi sebagai pilihan kedua atau bahkan ketiga Bucks untuk mendulang poin. Hal tersebut tergambar dari banyaknya ia melakukan lantun bola (dribble) dan lamanya ia memegang bola.

Di musim 2014-2015, 39 persen percobaan Parker datang sama sekali tanpa ia melantun bola. Sisanya ia bagi dari satu kali lantun hingga lebih dari enam kali. Pembagian tersebut memperlihatkan Parker masih cukup sering mengolah bola. Secara lamanya memegang bola, pemain berusia 23 tahun ini melakukan 55 persen percobaan tembakan setelah memegang bola tidak lebih dari dua detik. Sisanya, lebih dari dua detik.

Parker mencatatkan rataan 20,1 poin dan 6,2 rebound selama 51 kali bermain di musim 2016-2017 yang sejauh ini merupakan pencapaian terbaiknya. Sebanyak 59 persen percobaan tembakannya terjadi saat ia menyentuh bola tak sampai dua detik. Statistik ini menunjukkan bahwa Parker lebih banyak bergerak tanpa bola dan mendapatkan “pelayanan” dari rekan-rekannya.

Di skuat Bulls nanti, Parker kemungkinan masih akan mendapatkan peran yang serupa. Kehadiran Dunn yang berperan apik sebagai fasilitator musim lalu dengan enam asis per gim menjamin distribusi bola lancar. LaVine yang eksplosif akan menyerang dari segala sisi termasuk tripoin yang akurasinya mencapai 34 persen akan menjadi pemecah konsentrasi pertahanan lawan. Sementara Markkanen yang masuk dalam jajaran All-Rookie Team musim lalu akan menjadi pusat utama serangan Bulls musim depan.

Ya, Markkanen akan menjadi pilihan utama serangan Bulls musim depan bahkan sangat mungkin ia menjadi “wajah utama” organisasi ini. Dari 68 pertandingan yang ia mainkan, hanya delapan kali ia tak mencetak dua digit angka. Belum lagi postur tubuh yang kokoh dan tinggi mencapai 213 sentimeter, Markkanen bisa berkembang menjadi monster di masa-masa mendatang. Memiliki segala amunisi sebagai bigman modern, jangan kaget bila dalam 2-3 musim ke depan namanya akan mulai disandingkan dengan Karl-Anthony Towns, DeMarcus Cousins, atau Anthony Davis. Musim lalu, ia memiliki rerata 15,2 poin dan 7,5 rebound dengan akurasi keseluruhan 43 persen serta akurasi tripoin 36 persen.

Deretan pemain muda yang menjanjikan dengan jaminan bertahan hingga minimal dua musim ke depan, satu-satunya hal yang dibutuhkan manajemen dan penggemar Bulls adalah kesabaran. Dunn, LaVine, Parker, Markkanen, dan Carter adalah fondasi tim. Pemain seperti Hutchison, Ryan Arcidiacono, Alkins, dan Antonio Blakeney bisa terus dipantau perkembangannya. Sementara Lopez, Omer Asik, Justin Holiday, Cristiano Felicio, dan Bobby Portis bisa jadi opsi pemain untuk masuk paket pertukaran serta mendatangkan hak memilih atau beberapa pemain senior.

Philadelphia 76ers (Sixers) bisa jadi contoh yang tepat bagi Bulls untuk membangun tim mereka. Kehadiran pemain seperti Amir Johnson dan J.J. Reddick yang kaya pengalaman tapi tidak haus sorotan dapat menjadi pemandu deretan pemain muda berkembang ke arah yang tepat. Ya, jika semua berjalan dengan tepat, Bulls bisa menjadi Sixers selanjutnya di NBA dalam 2-3 musim mendatang. Untuk musim depan, target realistis Bulls adalah bersaing sebaik mungkin untuk lolos ke babak playoff.

Hati-hati NBA, deretan banteng muda Kota Angin siap memberi kejutan musim depan!

Foto: NBA

Populer

Lakers Selama Ini Mencari Sosok Dalton Knecht
Dalton Knecht Menggila Saat Lakers Tundukkan Jazz
Tripoin Franz Wagner Gagalkan Kemenangan Lakers
Hasil Rapat Sixers Bocor, Paul George & Joel Embiid Kecewa
LeBron James Hiatus dari Media Sosial
Luka Doncic Cedera, Kabar Buruk Bagi Mavericks
Shaquille O’Neal Merana Karena Tidak Masuk Perbincangan GOAT
Perlawanan Maksimal! Indonesia Kalah dari Korea di Tujuh Menit Terakhir!
Tyrese Maxey Buka-bukaan Soal Kondisi Internal Sixers
Rencana NBA Pakai Format Pickup-Style untuk All-Star Game 2025