Nama Francisco Yogi Da Silva sudah tidak ada lagi di Bima Perkasa Yogyakarata sejak Juli 2018. Pemain asal Kediri itu memutuskan untuk tidak memperpanjang kontraknya bersama Bima Perkasa. Ia memilih melanjutkan perjalanan karirnya dengan tantangan baru.
Belakangan, Yogi—sapaan akrabnya—tampak ikut berlatih bersama L.A. Streetball Challenge the World. Ia mengikuti kegiatan itu demi menembus skuat utama yang akan berlaga di Cina Taipei. Ia pun mengikuti latihan dengan serius agar targetnya tepat sasaran.
Mainbasket mewawancarai Yogi di sela-sela kesibukannya menyiapkan diri menantang dunia. Kami membicarakan banyak hal, termasuk awal karir Yogi bersama Halim Kediri dan Pelita Jaya Basketball Club. Pria kelahiran Kediri, 17 April 1992 ini pun menjawabnya panjang-lebar.
Simak wawancara berikut:
Kemarin kami mendapatkan daftar free agent (pemain bebas) dari IBL. Yogi ada di dalam daftar itu. Sebenarnya apa yang membuat Yogi tidak memperpanjang kontrak dengan BPJ (Bima Perkasa Yogyakarta)?
Oh itu, sebenarnya BPJ sudah menawarkan (kontrak baru), tapi saya ada keperluan lain. Apalagi jeda ke IBL (2018-2019) juga cukup lama.
Kemarin, kan, ada tawaran ikut L.A Streetball Challenge the World (CTW). Saya ingin ikut itu dulu. Ya, sekalian menambah skill dan pengalaman. Saya ingin berlatih dengan pelatih-pelatih dari luar. Saya ingin lebih mengembangkan diri lagi. Tapi, bukan berarti saya memandang BPJ tidak bagus, bukan. Saya hanya ingin mencari pengalaman baru.
Musim depan masih akan bermain di IBL?
Inginnya begitu, cuma belum ada tawaran dari tim lain.
Benar-benar belum ada tawaran?
Belum ada, cuma kemarin kebetulan ada pelatih yang menyuruh saya mencoba latihan di tim. Saya pikir nanti dululah. Saya mau fokus di sini dulu (L.A Streetball Challenge the World) sampai tanggal 5 (Oktober) berangkat, pulang tanggal 10. Kalau ternyata nanti tidak main juga tidak apa-apa. Cuma saya tetap berusaha untuk mencari tim lain.
Memangnya apa yang Yogi cari dan rasakan di CTW?
Saya pikir saya jadi semakin tahu, apa ya? Saya semakin tahu bahwa basket itu tidak hanya ada di satu sisi. Di sini juga ada pemain-pemain IBL seperti Kelly Purwanto, Abraham Wenas, Andrey Ridho. Pengalaman jadi bertambah. Kemarin saya dilatih juga sama Antonius Joko dan Romy Chandra. Banyak pengetahuan yang tidak saya dapatkan di BPJ ternyata saya dapatkan di sini.
Targetnya mengikuti CTW apa?
Targetnya, sih, pergi ke Taipei. Ada turnamen gitu di sana. Targetnya belum ada, tapi saya rasa ingin ke final. Kami main dulu saja.
Oke, sekarang kita kembali ke awal karir, mulai kapan Yogi main basket?
Awal saya basket, sih, di Kediri. Akhirnya mencoba try out di PJ (Pelita Jaya Basketball Club) dan diterima di sana. Di masa peralihan dari tempat yang lama, saya sempat ikut Campus League, dan jadi juara regional Jakarta. Di final nasional kalah sama Ubaya (Universitas Surabaya) waktu itu. Setelah itu saya main di PJ.
Waktu itu yang bikin saya bisa main di PJ adalah Coach Nat (Nathaniel Canson). Sampai sekarang jadi dikenal orang, kan. Padahal dulu itu jarang banget ada pelatih yang memberi minute play ke pemain seperti saya. Padahal saya juga tidak jago-jago amat, tapi Coach Nat memberi saya kepercayaan lebih.
Setelah pergantian pelatih—karena waktu itu Coach Nat tidak juara, ada pergantian pelatih beberapa kali—sampai kemarin terakhir Coach Ahang (Johannis Winar) dan Coach Ito (Fictor Roring) yang pegang, mereka punya pertimbangan lain. Mereka menyarankan saya untuk pindah tim.
Saat itu kondisinya PJ punya pemain terlalu banyak, terlalu menumpuk di posisi tiga. Waktu itu ada Hendru Ramli, Amin Prihantono, jadi saya harus mengantri. Akhirnya daripada menganggur, Coach Ito menyarankan saya untuk pindah.
“Daripada di sini tidak melakukan apa-apa, sayang talenta kamu. Dengan talenta yang kamu punya, kamu bisa lebih berguna di tim lain.”
Pada akhirnya, solusinya, saya mencoba ke BPJ itu.
Sebenarnya target saya di sana (BPJ) itu ke playoff, cuma tidak sampai karena kalah satu gim saja.
Yogi dulu sempat ke CLS juga. Coba ceritakan tentang itu!
Oh, ke CLS kebetulan karena waktu itu saya juga belum dapat tim. Kebetulan ketemu sama Koh Itop (Christopher Tanuwidjaja). Kami sempat cerita, cerita, cerita, terus saya bilang kondisi saya di PJ. Ya, sudah, dia bilang coba saja di CLS karena mereka juga lagi mau ikut turnamen. Akhirnya saya ikut turnamen di Medan.
Sebenarnya saya diikutkan di dua turnamen, di Medan dan Surabaya—Walikota Cup. Tapi, saya tidak bisa ikut yang di Surabaya karena terlanjur sama BPJ. Waktu itu Koh Itop juga tidak tahu bakal kejadian CLS cabut dari IBL. Padahal tujuan saya pindah tim karena ingin main. Jadi, saya minta maaf sama Koh Itop. Kalau saya ikut CLS ke ABL jatuhnya sama saja, tidak bisa main juga, bahkan mungkin tidak main sama sekali. Saya merasa level saya belum sampai ke ABL. Saya minta maaf ke Koh Itop, ceritakan segalanya, bahwa saya akan pindah ke Yogya.
Selama di BPJ ada pengalaman apa saja?
Banyak. Dengan karakter pelatihnya yang sangat disiplin, orangnya ketat, tapi di luar friendly banget. Manajemennya juga bagus. Mereka, kan, tim baru yang pasti punya kekurangan, pasti ada salah juga, tapi service ke pemain dan pelatihnya itu baguslah.
Yogi juga sempat di Halim Kediri. Seperti apa belajar di sana?
Halim Kediri itu kebetulan dekat rumah. Dulu saya main itu di kampung sama anak-anak gereja. Main sama anak-anak SD dan SMP sementara saya SMA. Waktu itu, kan, saya mulai basket pas kelas dua SMA. Latihannya sama anak-anak SD dan SMP saja. Setelah merasa sedikit bisa, akhirnya mencoba ke Halim Kediri.
Jarak dari rumah ke Halim itu dekat—sekitar 30 kilometer naik motor, hampir 30 menit. Saya diterima di sana terus ikut di kelas juniornya Halim. Ya, sudah, saya main, main, main, main. Dari situ barulah ke PJ.
Dengar-dengar anak-anak Halim digembleng keras di sana?
Saya sebenarnya tidak tahu pada awalnya, tapi banyak yang bilang di Halim latihannya gila—keras banget. Tapi, karena saya suka basket, ya saya hajar saja. Latihan saja. Namanya juga suka basket. Memang benar Halim itu terkenal keras. Kami latihan bisa jam lima pagi, terus lari atau apa gitu. Jam tujuh sekolah, ada yang kuliah, lanjut lagi sore jam tiga latihan harus lari dulu. Jadi, kalau dipikir-pikir lagi lebih berat latihan di Halim.
Di IBL ada beberapa pemain profesional selain Yogi yang berasal dari Halim, seperti Wendha Wijaya dan Amin Prihantono. Sempat bertemu mereka di Halim?
Tidak, tidak, saya tidak sempat bertemu. Waktu saya masuk itu cuma ada Christ Gideon. Christ Gideon Garuda (Bandung). Itu doang. Itu pun pas dia pergi, jadi tidak sempat bertemu mereka. Jaraknya jauh banget.
Seberapa berarti Halim dalam karir basket Yogi?
Buat saya sangat berarti. Kalau tidak ada Halim Kediri, saya tidak bisa seperti sekarang. Saya berterima kasih banget sama Halim meski kadang omongan pelatihnya menyakitkan, tapi itu membentuk mental dan karakter. Halim itu tidak ingin kami sukses di basket saja, tetapi juga di bidang lain—disiplin di tempat kerja, di masyarakat, baik sama orang tapi tetap tegas. Semua pemain Halim kebanyakan punya karakter yang sama. Mereka pekerja keras, mereka gila-gilaan kalau kerja di satu bidang. Mereka menyelesaikan apa yang sudah mereka jalani meski merasa capek atau apa.
Semangat itu terus Yogi bawa sampai hari ini?
Iya, pastilah. Itu modal utama saya. Saya dibilang jago, kan, tidak. Saya memang ngotot saja. Itu yang saya bawa dari Halim sampai sekarang. Saya main di tim mana pun itu yang saya utamakan. Untuk fisik dan karakter keras tadi saya selalu bawa sebagai modal.
Mengapa Halim sekarang tidak begitu terdengar namanya?
Tim bentukan terakhir itu timnya saya. Angkatan saya itu terakhir banget. Tahun 2008 itu terakhir. Setelah itu, mereka tidak terlalu fokus di basket. Anak-anak di mes juga tidak ada. Cuma mereka memang masih ada pembinaan. Paling anak-anak SD begitu, sih. Mereka tidak lagi fokus membentuk tim pro seperti zaman Kobatam. Paling ke Kejurda saja.
Oke, rencana ke depan Yogi di basket seperti apa?
Saya sebenarnya masih ingin bermain. Saya ingin juara sekali lagi meski entah main di tim mana. Di tim papan atas asal bisa juara, ya kenapa tidak. Barulah setelah itu bisa sibuk di luar itu, entah memberi apa ke Indonesia; menjadi pelatih, kerja di mana, apa pun itu. Tapi, dalam jangka pendeknya saya masih ingin main, ingin juara di IBL.
Foto: Hari Purwanto, Dok. Francisco Yogi Da Silva