Wisnu Saputra, Gempa Lombok, dan Perjuangannya Jadi Relawan

| Penulis : 

Belum usai, gempa bumi terus mengguncang Lombok dan sekitarnya selama bulan-bulan belakangan ini. Padahal rumah-rumah sudah hancur menjadi puing-puing. Aktivitas sehari-hari sempat terhenti bahkan mati. Korban jiwa juga mencapai ratusan; ada yang meninggal dan luka-luka. Belum lagi trauma.

Hancur, Lombok kini memang hancur, tetapi masyarakat Indonesia tidak juga mau menyerah. Mereka mengumpulkan bantuan—entah itu donasi dalam bentuk uang atau barang—supaya Lombok bisa bangkit lagi. Pemerintah dan relawan pun ikut bergerak menangani daerah-daerah rawan sementara masyarakat Lombok berangsur-angsur memulihkan diri.

Dari sekian banyak relawan, Anak Agung Ngurah Wisnu Budidharma Saputra, forwarda CLS Knights Indonesia di ABL, menjadi salah satunya. Ia aktif mengumpulkan donasi dan sempat berangkat ke Lombok pada 17-20 Agustus 2018 untuk membantu mereka yang kesulitan. Salah satunya dengan menyalurkan logistik ke tempat-tempat pengungsian.

Selain membantu menyalurkan logistik, Wisnu juga melakukan hal lain di tempat kejadian. Ia membantu anak-anak di pengungsian untuk mendapatkan keceriaannya lagi. Bagaimanapun, katanya, gempa besar ini telah membuat mereka trauma, dan anak-anak membutuhkan dukungan orang tua agar bisa memulihkan diri. Oleh karena itu, Wisnu dan timnya terjun langsung untuk mengurus anak-anak itu dengan berbagai cara.

Kini, Wisnu sudah kembali ke Surabaya karena ia perlu menjalani kehidupannya sebagai atlet. Mainbasket pun sempat berbicara dengannya. Kepada kami, Wisnu memaparkan kegiatannya selama di Lombok. Katanya, Lombok sekarang ini membutuhkan bantuan dari masyarakat Indonesia. Mungkin dengan dukungan dalam bentuk doa, mungkin juga donasi berupa barang dan uang. Apa pun bentuknya, yang penting dapat membangkitkan kembali kehidupan di Lombok yang sedang rusak karena gempa.

Simak wawancara berikut:    

Kami ingin tahu seperti apa kondisi Lombok ketika Wisnu datang ke sana?

Waktu pertama kali datang ke sana, saya sampai di kotanya siang. Kalau di kotanya, banyak yang retak-retak begitu. Banyak kantor-kantor roboh. Beberapa roboh. Seperti Alfamart begitu juga roboh.

Besoknya kami langsung ke Lombok Utara. Jadi, fokusnya itu ke Kecamatan Kayangan. Seaside gitu.

Perjalanan ke sana itu sekitar dua jam. Selama dua jam perjalanan, saya lihat (bangunan) benar-benar hancur banget di samping-samping jalan. Rumah-rumah retak. Rumah-rumah juga ambruk. Hampir semua, sih. Sepertinya hampir 80 persen pasti hancur. Sisanya tinggal menunggu waktu. Mungkin sekali gempa lagi sudah hancur.

Daerah paling parah di mana?

Sebenarnya daerah paling parah itu di pusatnya, di daerah Sembalun. Sembalun ke atas lagi. Saya tidak tahu namanya, hanya waktu itu kami tidak terlalu jauh dari sana, di Desa Selengen.

Di selengen itu, kami juga tidak terlalu jauh dari pusat gempa. Kira-kira sekitar 10-20 kilometer dari pusat gempa.

Nah, teman saya ada yang pergi ke daerah Sembalun. Jadi, salah satu tim kami itu ke daerah Sembalun sana. Ya, sama saja hancur. Semua hancur.

Memangnya ada berapa tim yang berangkat ke sana?

Sebenarnya kami ini tim gabungan, jadi dipecah gitu. Awalnya kenal dari basket doang. Teman-teman basket kumpul jadi satu. Kami mengumpulkan donasi buat daerah-daerah yang membutuhkan. Kebetulan salah satu yang—apa istilahnya—kenalan basket ini, dia ada LSM di Lombok Utara, di Kayangan sama (Gili) Kodo.

Papanya dia itu memang sebelum gempa tugasnya mendirikan dan membangun kota utara gitu. Jadi, ya sudah, anak-anak sana kami berdayakan juga. Kami kasih logistisk ke sana. Di sana ikut menyebar ke pelosok-pelosok lagi.

Di sana ngapain aja?

Di sana kegiatan umum yang kami lakukan adalah menyalurkan logistik, pastinya. Hanya saja, pas kemarin ngobrol-ngobrol, seperti kalau kami menyalurkan logistik doang tidak mengena. Secara suplai, secara apa yang mereka butuhkan mungkin iya, tapi trauma mereka tidak bisa hilang. Jadi, kami memutuskan untuk stay di sana beberapa jam.

Misalnya, kami sampai sana siang, terus kami bakal di sana sampai sore. Abis magrib itu baru balik. Jadi, apa yang kami lakukan di sana tuh; pertama, ngobrol sama ibu-ibunya—bagaimana keadaan di sana. Kalau sama bapak-bapaknya, kami mungkin bantu ambil puing-puing sambil nanya di sini kebutuhannya apa lagi. Waktu itu sempat kekurangan air. Air bersih, pastinya. Soalnya sehabis gempa itu airnya jadi keruh.

Terus yang kedua, mereka membutuhkan terpal sama selimut. Wkatu itu di Lombok memang jarang. Lagi kosong, tidak ada yang jualan.

Yang terakhir itu, fokus kami—dari saya sendiri sebenarnya—ke anak-anak, sih.

Apa itu?

Anak-anak, kan, gampang trauma sama (bencana) itu. Apalagi bencana itu bakal jadi pengalaman yang berpengaruh dalam jangka panjang. Kalau orang tua, okelah, takut juga tapi dia—istilahnya—bisa membaik sendiri. Kalau anak-anak, kan, butuh bantuan. Butuh support dari orang tua.

Kebetulan kemarin ada 17 Agustus. Nah, saya bantu mereka buat isi gim; lomba, main-main sama mereka, ngobrol, cerita-cerita, nyanyi nyanyi sama mereka supaya lupa kalau ada gempa. Itu satu.

Yang kedua, biar mereka bisa lebih semangat lagi gitu.

Di sana, kan, gempa berkali-kali. Orang juga merasa dikit-dikit goyang, dikit-dikit goyang. Bagaimana caranya supaya mereka tidak panik? Apakah relawan juga membantu mereka tetap tenang?

Kalau relawan yang di sana, sih, pasti mebantu. Kebetulan saya tidak ada di pusat gempa pas kejadian. Saya di rumah waktu (gempa) 7 SR yang kedua.

Saya sendiri memang takut. Itu goyangnya keras banget. Hanya saja, setelah itu mereka santai lagi. Kalau saya lihat—ya memang gempa terus, kan—hanya saja lama-lama saya liat orang malah biasa saja. Soalnya mereka tinggal di luar rumah—lebih tenang kan. Lebih tenang meski rumahnya sudah hancur.

Waktu gempa yang pertama, 7 SR itu, pagi-pagi tidak ada orang jualan sama sekali. Kegiatan mati semua. Tapi, waktu 7 SR yang kemarin, saya lihat pagi-lagi lewat pasar sudah ada yang jualan lagi.

Sudah ada aktivitas lagi?

Iya, ada aktivitas lagi, seolah-olah kebal sama gempa meski pun sebagian besar tetap takut. Rata-rata semuanya tidur di tenda meski rumahnya masih ada dan masih bisa ditempati. Hampir 100 persen tidur di tenda.

Saya tidur di luar juga, hehe.

Karena takut rumah roboh?

Iya takut, tapi lebih ke biar aman saja. Biar aman, jadi semua tidur di luar karena memang kencang banget (gempa) waktu tanggal 19 (Agustus) itu. Kami dari siang itu kena gempa gede sekitar 15 kali.

Wisnu berapa lama di lombok?

Dari 17 sampai 20 (Agustus). Itu sekitar empat hari. Benar-benar fokus. Jadi, saya sama teman-teman grup basket itu memang sudah fokus untuk bantu. Bantuan datang dari mana-mana. Teman-teman dari Bali juga datang. Dari Surabaya juga ada. Beberapa ikut, ada dua orang mungkin untuk bantu-bantu di sana.

Logistik ini kalian kumpulkan dari mana saja?

Karena kami gabungan, jadi benar-benar menyebar. Ada donasi teman-teman dan dari kami sendiri. Dari luar juga ada. Di Instagram, saya bikin story gitu. Nah, kebanyakan kalau ada yang mengirim (donasi) sekalian kasih nomor resi biar kami data.

Terus banyak yang kirim barang-barang seperti baju dan popok. Kemarin saya dari Surabaya itu bawa 71 kilogram barang-barang; mulai dari baju bekas, susu, obat-obatan, mainan, buku gambar terus sisanya duit mentah juga ada.

Saya, kan, minta trasnfer ke teman saya yang satu lagi. Eh, malah transfer ke saya juga. Ya sudah, sampai Lombok saya belikan apa yang dibutuhkan di sana. Setiap pembelian itu saya kirimkan nota ke pendonasinya. Kalau kami tahu donasinya siapa, kami kirimkan (nota).

Apa, sih, yang paling dibutuhkan pengungsi di sana?

Dari laporan tadi pagi, mereka itu sedang membutuhkan terpal. Apalagi ini mau masuk musim hujan. Terpal, selimut itu dibutuhkan karena di Lombok dingin banget kalau malam. Terus obat-obatan dan sembako untuk keseharian.

Apalagi, ya? Baju sebenarnya sudah mulai banyak di sana, tapi penyalurannya susah.

Susahnya apa?

Aksesnya yang susah memang. Ada beberapa yang tinggal di pelosok, di bukit-bukit, itu susah buat menyalurkan karena jalannya terputus. Ada yang longsor, ada jembatan roboh.

Bagaimana cara masuk ke sana? Ada cara tidak?

Nah, itu harus menunggu waktu. Pemerintah juga sedang kerja, sudah kerja buat menelusuri semua tempat yang harus diperbaiki. Ada banyak tentara, polisi di mana-mana, saya lihat petugas Basarnas di mana-mana memperbaiki tempat yang longsor. Memang harus menunggu waktu.

Itu dia yang bikin logistik terhambat.

Buat kami yang di Surabaya saja ini menyeramkan sekali, tapi apa yang bikin Wisnu mau ke sana?

Karena orang tua saya tinggal di sana—itu satu.

Yang kedua, Lombok ini baru berkembang, terus jatuh lagi. Saya pikir, siapa yang mau bantu mereka kalau bukan saya sendiri. Pemerintah pasti bakal ke sana, tapi mereka butuh waktu juga. Hari ini gempa, besok harus langsung ke sana, kan tidak mungkin. Jadi, kami yang memang dari kecil di sana bisa langsung turun tangan, ya turun.

Meski pun saya juga tidak bisa langsung ke sana, teman-teman saya justru sudah inisiatif buat ke sana. Biar bisa berangkat duluan pakai uang masing-masing buat beli apa yang dibutuhkan.

Salah satu teman saya rumahnya hancur, tapi dia masih sempat jadi relawan. Makanya saya salut banget buat teman-teman di sana yang sigap. Kemarin saja kami dapat masalah air minum, langsung tadi malam kami dapat sumbangan air minum—lupa dari mana itu. Jeriken apa gitu? Pokoknya begitu air biasa dimasukkan ke situ, itu langsung bisa diminum.

Lumayan dapat 501 jeriken.

Wisnu, kan, mesti latihan juga di Surabaya. Bagaimana cara mengatur waktu dan izinnya? Ada kendala?

Kalau kendala pasti ada. Latihan tidak bisa ditinggal, jadi saya kalau bisa ke sana ya weekend. Inginnya satu bulan sekali ke sana, cek apa yang kurang terus bantu apa yang bisa dibantu.

Saya bukan orang lapangan sebenarnya. Saya bantu mengumpulkan donasi, tambah-tambah donasi dari yang lain. Jadi, pas ke sana donasi terkumpul, mereka jalan, saya juga bisa ikut turun. Waktunya disesuaikan saja. Pas saya bisa turun, ya turun.

Mulai tanggal 30 Agustus ini, misalnya, kami juga sudah mulai bikin sekolah-sekolah darurat buat anak-anak kecil. Ya sudah, mulai jalan saja dulu. Yang dari sini tinggal ke sana, di sana sudah siap bantu.

Oke, kalau gitu apa pesan untuk masyarakat Indonesia buat Lombok?

Saya rada bingung juga kalau pesan, tapi saya ingin masyarakat Indonesia bisa bantu. Bantunya itu—dalam artian—dari hal-hal kecil dulu. Misalnya mendoakan orang-orang di sana atau, yang bisa donasi, yang kirim saja donasinya.

Terus daripada sibuk mengurusi pemerintah—seperti kemarin ada Instagram yang membandingkan perlakuan pemerintah ke Lombok sama Asian Games—tidak usah sibuk mengurusi itu. Mending memikirkan saudara-saudara di Lombok kalau memang ingin. Tidak usah ribut ini-itu. Kalau ada waktu jadi relawan, ya berangkat saja daripada ribut. Pemerintah juga sudah memberikan bantuan, kok.  

Terakhir, doakan supaya Lombok cepat pulih kembali.

Baik, segitu dulu wawancaranya. Terima kasih. Kami bersama Lombok.

Sip, sip, sama-sama.

Foto: Dok. pribadi

Populer

Lakers Selama Ini Mencari Sosok Dalton Knecht
Hasil Rapat Sixers Bocor, Paul George & Joel Embiid Kecewa
Tripoin Franz Wagner Gagalkan Kemenangan Lakers
Menyerah di G League, Rodney Hood Pensiun & Ingin Jadi Pelatih
Kolaborasi Unik Puma MB.04 dan Scooby Doo
Luka Doncic Cedera, Kabar Buruk Bagi Mavericks
Spurs Raih Dua Kemenangan Beruntun Tanpa Wembanyama 
Pemain Bintang yang Cedera di Bulan Pertama NBA 2024-2025
Rencana NBA Pakai Format Pickup-Style untuk All-Star Game 2025
Suasana Ruang Ganti Sixers Memanas