Irawan Haryono selalu tampak di deretan bangku Stapac Jakarta dalam tiap pertandingannya. Pakaiannya yang eksentrik dengan ciri khas topi terbalik pun tidak jarang menjadi sorotan tersendiri di dunia bola basket Indonesia. Sosoknya yang vokal di ranah ini membuatnya terkenal sebagai salah satu nama besar di balik suksesnya Stapac Jakarta.

Kim Hong, begitulah panggilannya, sudah lebih dari 30 tahun ini mengurus Stapac. Ia sudah mengecap asam garam liga sejak zaman dulu sampai ke IBL. Oleh karena itu, ia pun tahu apa yang mesti dilakukan supaya Stapac terus maju. Sebab, katanya, klub asal Jakarta ini tidak sekadar ada untuk menampung atlet, tetapi juga membangun seseorang menjadi manusia yang bisa hidup di masyarakat.

Mainbasket lantas mewawancarai Kim Hong yang kebetulan berkunjung ke kantor redaksi pada Selasa, 10 Juli 2018. Kami pun membicarakan banyak hal dengannya, termasuk bagaimana ia memperlakukan pemain-pemain Stapac seperti anak sendiri. 

Simak wawancara kami di bawah ini:     

Sehat, Koh?

Ya, baik, baik.

Koh, saya sempat wawancara para pemain, dengar-dengar Koh Kim Hong selalu memberikan apa yang pemainnya butuhkan?

Begini, apa yang kami sediakan kebetulan kalau orang itu atau pemain yang bersangkutan merasa membutuhkan dia akan merasa enak. Tapi, kalau kami sediakan apa yang mereka tidak butuh pasti tidak berasa apa-apa. Memang kebetulan saja. Pas datang ada keperluan ini, keperluan itu.

Apa yang diharapkan dari memfasilitasi para pemain seperti itu?

Supaya mereka nyaman. Itu satu.

Kami sebagai pengurus itu harus membiayai mereka seperti anak kami. Kami bertindak sebagai orang tua, sebagai teman, dan sebagai manajer. Kami belajar saja masing-masing sifat orang lagi membutuhkan apa.

Kita punya generation gap, tetapi saya sejak lama mendengar kebesaran Koh Kim Hong di dunia basket. Memangnya sejak kapan Koh Kim Hong terjun ke ranah ini?

Kalau profesionalnya mulai ‘86.

Saya belum lahir itu, Koh.

Iya, hahaha, sudah 30 tahun berarti.

Apa yang membuat Koh Kim Hong terjun ke ranah ini?

Pertama, ya, awalnya cuma hobi. Kedua, kami sebagai orang tua jadi bisa menyekolahkan anak-anak. Supaya jadi orang setelah pensiun atau berkeluarga. Sukses pokoknya.

Itu adalah suatu kebanggaan yang tidak bisa dibeli dengan uang.

Dulu nama klub ini langsung Aspac atau apa, Koh?

Awalnya Asaba, terus tahun ’90-an berapa berubah jadi Aspac. Itu, kan, berubah tergantung nama sponsor. Karena nama Aspac itu sebagai sponsor sudah melekat, jadi keterusan.

Sampai akhirnya begabung dengan Stadium?

Iya, jadi Stapac.

Apa yang ingin Koh Kim Hong bangun di klub ini?

Ya, mudah-mudahan saya bisa masuk final dan juara lagi. Sudah lama juga tidak juara. Kalau kita punya tim tidak sampai juara, percuma dong.

Yang kedua, bagaimana kita bisa sebanyak mungkin menyumbang pemain untuk kepentingan nasional, di tim nasional.

Bukan pemain saja, tetapi juga ofisialnya.

Untuk menuju ke sana, apa yang perlu dilakukan?

Kami harus, pertama-tama, harus pikirkan bagaimana mendidik anak-anak supaya disiplin. Ini nomor satu. Setelah itu baru dibangun, pelan-pelan, karena tiap orang beda.

Kami juga punya kepentingan. Anak-anak ini harus (mengambil) pendidikan. Tidak bisa di olahraganya saja. Kalau olahraga saja, di kemudian hari itu anak mau jadi apa?

Oh, Stapac juga memikirkan nasib para pemain sampai dia pensiun?

Harus dong. Kalau kami tidak memikirkan sampai ke sana—kamu punya anak dititipkan ke saya, terus tidak dipikirkan pendidikannya—mana mau orang tua menitipkan ke saya.

Tidak mau, kan?

Artinya pemain Stapac wajib sekolah dan kuliah?

Awalnya harus, tapi tidak semuanya. Ada yang tidak mampu, ya, sudah kami jelaskan ke orang tuanya, kami arahkan ke kursus.

Zaman sekarang kalau kursus apa, sih? Bahasa, komputer; sudah itu dua.

Supaya memiliki skill?

Iya, di dunia ini bekerja utamanya apa, sih? Komputer, IT, terus bahasa. Itu lebih diutamakan, kan. Kalau ada yang tidak mau sekolah, ya, sudah saya arahkan saja.

Oh ya, Stapac dan Satria Muda juga punya rivalitas dari dulu. Bagaimana Koh Kim Hong memandang itu?

Kalau saya, sih, tidak memandang Satria Muda saja. Semua klub yang ikut di profesional, ya, harus kami hadapi. Semua ada plus dan ada minusnya. Tidak bisa bilang Satria Muda saja. Semuanya saingan. Ini karena memang Satria Muda baru juara, kan.

Ada kans untuk menggulingkan dominasi Satria Muda?

Jangankan Satria Muda, semuanya saya gulingkan. Kalau saya cuma menggulingkan Satria Muda, nanti tidak juara lagi dong karena masih ada Pelita, ada Garuda, ada Muba. Tidak bisa bilang begitu. Kalau kami menang sama (klub) papan atas, sama papan bawah malah kalah, bagaimana saya bisa masuk final? Hehehehe.

Ketika semuanya sudah Kim Hong kasih ke Stapac. Sebenarnya sebanding tidak upaya dan hasilnya?

Sebenarnya tidak semua saya kasih. Coba lihat di kaus, sponsor paling banyak, toh? Tidak semua saya kasih karena saya bertanggung jawab kepada sponsor. Kalau sudah disponsori, harus tanggung jawab dong. Kalau tidak punya prestasi, tahun berikutnya (sponsor) mana mau.

Saya salah satu dapat dari DBL juga, kan. Nah, DBL tidak mau dong sponsori saya kalau kalah?

Saya selalu tertarik dengan seberapa besar pengeluaran sebuah klub. Stapac setiap tahunnya menghabiskan berapa, Koh?

Di liga IBL, saya ngomong di IBL-nya saja, at least itu harga Rp5-9 miliar kalau ada asing.

Itu terhitung besar atau kecil?

Besar kecilnya tergantung. Kalau kami dapat sponsor banyak, ya, tidak berasa apa-apa, hahaha.

Selanjutnya, ada target apa lagi, nih?

Ya, utamanya prestasi, terus bagaimana kami menggaet sponsor. Jangan cuma mau terima uangnya saja dong. Kerja samanya bagaimana? Timbal baliknya apa? Masing-masing sponsor kebutuhannya beda. Nah, kami harus menyesuaikan.

Oke, kira-kira sampai kapan Koh Kim Hong bakal mengurus semua ini?

Menunggu Azrul (Ananda), nih. Kalau tidak come back mungkin saya sudahan kali, hahaha.

Itu jawaban saya beneran. Saya menunggu NBL kembali. Kalau tidak balik-balik, ya, mungkin saya sudahan.

Kenapa memang?

Sudah bosan. Kamu tanya senior-senior kamu; ketemu saya sudah bosan kok, hahaha.

 

***

 

Kim Hong di Mata Pemainnya

Setelah lebih dari 30 tahun menjajal dunia basket Indonesia, Kim Hong telah bekerja sama dengan berbagai pemain. Beberapa di antaranya malah sudah menjadi pelatih. Antonius Ferry Rinaldo, misalnya, kini menjadi seorang asisten pelatih di klub yang sempat membesarkannya—Stapac Jakarta. Dulu ia bermain untuk klub itu pada 1990-2010. Maka, bagi Inal—sapaan akrabnya—sosok Kim Hong di klub itu bagaikan orang tua sendiri.

“Koh Kim Hong itu seorang owner yang sangat perhatian sama semua pemainnya dan sangat berdedikasi tinggi dalam perkembangan bola basket di Indonesia dan bagi Stapac sendiri yang masih survive sampai sekarang,” ujar Inal seperti dihubungi Mainbasket pada Selasa, 10 Juli 2018.

Vincent Kosasih, pemain tahun ketiga, juga punya pandangannya sendiri. Menurutnya, Kim Hong adalah seorang bos yang baik karena selalu perhatian kepada timnya. Ia selalu memastikan kebutuhan anak-anak asuhnya terpenuhi.

“Terus selalu bikin timnya lebih dekat satu sama lain,” kata Vincent. “Intinya dia sering interaksi langsung sama pemain saja, sih.”

Selain Vincent, Abraham Grahita juga merasakan hal yang sama. Ia melihat sang pemilik klub memiliki kasih sayang kepada para pemainnya.

“Dia sayang banget sama anak-anak, sih,” ujar Abaraham yang dihubungi lewat aplikasi obrolan. “Meski pun caranya mungkin tidak selalu menyenangkan, tapi dia sayang banget sama anak-anak dan Stapac, bahkan mungkin lebih dari dirinya sendiri.”

Secara umumnya, para pemainnya—mulai dari Inal di era 1990-an dan Vincent juga Abraham yang masih muda—memang mengakui Kim Hong selalu memastikan timnya mendapat yang terbaik.  

Foto: Alexander Anggriawan

Komentar