Surat kabar New York Times menerbitkan laporan wawancara 50 orang pegawai dan bekas pegawai perempuan kantor pusat Nike di Beaverton, Oregon, Amerika Serikat. Laporan ini membuka tabir dengan persfektif lain di balik kesuksesan Nike, karena ternyata tekanan kerja yang diemban para pegawai perusahaan yang didirikan Phil Knight tersebut sangatlah tinggi.
Laporan New York Times memberi gambaran tentang ketidakpuasan para pegawai perempuan yang tertekan, merasa diabaikan, dilecehkan dan terhalang jenjang karirnya karena sulit bersaing dengan pegawai laki-laki dalam meraih posisi penting. Data ini diperkuat dengan pengecekan salinan dari keluhan karyawan ke Divisi Sumber Daya Manusia.
“Ada suatu waktu di mana saya, sebagai perempuan, tak bisa berkembang di sana (Nike),” ujar Francesca Krane seperti dilansir New York Times.
Krane bekerja selama lima tahun (2011-2016) sebagai desainer produk retail. Ia menjadi saksi bagaimana laki-laki lebih diprioritaskan untuk naik jabatan walau di sana, katanya, terdapat perempuan dengan kompetensi lebih baik.
Tiffany Beers, mantan desainer senior Nike yang memutuskan hengkang pada September 2017. Ia telah bekerja untuk Nike selama 13 tahun dengan memegang 40 paten utilitas sepatu serta tiga paten desain. Kini, ia berlabuh pada perusahaan teknologi besutan Ellon Musk, Tesla.
Para koresponden itu juga membeberkan perlakuan lain yang, menurut mereka, tak semestinya terjadi di sebuah perusahaan. Tiga orang bekas pegawai mengaku dipanggil dengan tidak senonoh seperti menyertakan istilah alat kelamin perempuan. Salah satunya bahkan dipanggil dengan panggilan kasar yang dilanjutkan dengan pelemparan kunci mobil ke arahnya. Dalam laporan tersebut, kebanyakan koresponden memilih untuk menyamarkan identitas mereka untuk keamanan pribadi.
Sementara dari pihak Nike, mereka membeberkan kondisi yang menyebabkan perlakuan tersebut tidak terelakkan. Nike menggambarkan masalah itu terbatas pada sekelompok manajer tingkat tinggi yang melindungi satu sama lain dan meluapkannya dalam bentuk berbeda. Walau begitu, KeJuan Wilkins, juru bicara Nike, mengaku hal ini tidak bisa ditoleransi sehingga perlu tindakan tegas.
Sementara Mark Parker selaku CEO mengaku menyayangkan kejadian tersebut. “Ini adalah bentuk dari komitmen tinggi kami untuk menyediakan yang terbaik bagi atlet kami. Visi itu menghadirkan tekanan luar biasa besar bagi para karyawan. Saya sedih mengetahui bahwa hal itu menjadi alibi untuk berkelakuan tidak sesuai dengan nilai yang kami junjung selama ini,” katanya.
Dampak lingkungan kerja pegawai perempuan seperti itu ternyata berdampak dalam pengembangan produk perempuan Nike. Sebagian bekas pegawai menyimpulkan bagaimana pengembangan produk perempuan yang buruk membuat penjualan serta desain yang kurang laku di pasaran. Bekas pegawai itu juga mengungkapkan, anggaran dana promosi produk perempuan jauh lebih rendah dibandingkan dengan anggaran promosi produk olahraga laki-laki.
Beban kini harus dipangku Mark Parker. Pada 2015 lalu, ia menjanjikan keuntungan per tahun hingga AS$ 50 miliar pada 2020. Pada musim gugur 2017, mereka memundurkan target itu ke tahun 2022. Walau telah mundur, angka tersebut tentu akan sulit dicapai bila lingkungan kerja tidak mendukung karyawan untuk termotivasi memenuhi target tersebut. Hingga New York Times mempublikasikan laporannya, Nike belum mengumumkan tanggapan resmi terkait hal ini.
Foto: Today Show, Nike