“Setiap orang melewati sesuatu yang tidak bisa kita lihat.”

—Kevin Love, Cleveland Cavaliers (The Players’ Tribune)

 

Maret 2018 lalu, Kevin Love, senter-forwarda Cleveland Cavaliers, menulis sebuah esai tentang pengalamannya menghadapi masalah kesehatan mental. Bagaimanapun, menurutnya, masalah kesehatan mental benar-benar ada meski tidak terlihat secara kasat mata. Masalah itu terasa nyata seperti halnya masalah-masalah kesehatan fisik, seperti cedera lutut atau dislokasi ibu jari tangan, atau sebutkan saja nama-nama cedera lainnya. Bedanya, masalah kesehatan mental tidak tampak secara kasat mata. Itulah mengapa Love mengatakan, setiap orang melewati sesuatu yang tidak bisa dilihat, merujuk pada masalah kesehatan mental yang tengah ia hadapi.

Pada 5 November 2017, Love pertama kali mengalami serangan panik ketika timnya menghadapi Atlanta Hawks. Serangan panik itu membuatnya tidak bisa melanjutkan pertandingan. Ia merasakan jantungnya berdetak kencang dan rasanya sulit sekali bernafas, maka ia pun terpaksa menepi untuk sementara waktu agar paniknya hilang.

Awalnya, Love tidak tahu apa yang sedang ia hadapi. Ia bahkan merasa takut untuk mengungkapkannya kepada siapa pun. Namun, lambat laun ia sadar dirinya mengalami gangguan kesehatan mental berupa serangan panik. Ia pun menemui seorang terapis untuk membantunya melewati itu, berbicara kepada orang-orang yang dirasa dapat membantunya, sampai akhirnya menyampaikan pengalaman itu dalam sebuah tulisan berjudul “Everyone Is Going Through Something” di The Players’ Tribune. Bukan karena ia meminta untuk dikasihani, tetapi lebih kepada upaya membuat orang lain membuka mata akan pentingnya kesehatan mental; bahwa para penderita masalah ini sebenarnya membutuhkan pertolongan.

Kevin Love, senter-forwarda Cleveland Cavaliers, sempat mengalami serangan panik di tengah-tengah pertandingan pada Maret 2018 lalu. Foto: Sports Illustrated

 

Love tentu bukan satu-satunya pemain NBA yang mengalami gangguan kesehatan mental. Jerry West, legenda Los Angeles Lakers sekaligus sosok di balik logo NBA, juga pernah mengalami depresi dan krisis kepercayaan diri. Ia bahkan menuangkan pengalamannya itu dalam buku berjudul “West by West: My Charmed, Tormented Life”.

Pada Februari lalu, DeMar DeRozan, garda Toronto Raptors, juga sudah lebih dulu membuka tabir tentang kesehatan mental lewat cuitannya di Twitter. “This depression get the best of me,” tulisnya, merujuk pada depresi yang ia alami. Pengalaman-pengalaman itu pun lantas menjadi pelajaran bagi NBA untuk memberi perhatian pada masalah kesehatan mental.

Seperti dilansir France 24, Komisioner NBA Adam Silver sempat menemui DeRozan untuk berdiskusi tentang masalah ini. Kini, selain lewat iklan-iklan di televisi, NBA bermaksud untuk menyertakan sumber-sumber penting menyangkut kesehatan mental di situs resmi mereka supaya bisa diakses oleh—tidak hanya—pemain melainkan juga publik secara luas. NBA bahkan mengajak DeRozan dan Love untuk menjadi pembicara dalam program transisi pemain tahun pertama (rookie transition program), dan berbicara kepada mereka tentang pentingnya kesehatan mental.

“Kami selalu mengajarkan untuk memakan makanan sehat, berolahraga, menjadi atlet hebat,” ujar DeRozan kepada Toronto Globe seperti dikutip France 24. “Tapi, dengan semua tekanan itu, kita tidak melihat pada aspek mental lebih dulu dan terutama, kehidupan sehari-hari setiap orang.”

DeMar DeRozan, garda Toronto Raptors, sempat mencuit tentang depresi yang dialaminya di Twitter pada Februari 2018 lalu. Foto: Toronto Star

 

Jika merujuk data World Health Organization (WHO), masalah kesehatan mental memang menjadi salah satu masalah besar dunia. Gangguan mental dapat membuat orang yang tadinya sehat tidak bisa melakukan apa-apa (disabilitas), bahkan pada titik tertentu bisa membuat orang membunuh dirinya sendiri. Misalnya saja, Mainbasket sempat menulis tentang kasus Kim Jonghyun, personel SHINee yang bunuh diri karena depresi, dan bagaimana atlet-atlet NBA selamat dari perbuatan serupa. Karena bagaimanapun, masalah kesehatan mental memiliki hubungan dengan kasus-kasus seperti itu.

(Baca juga: Kim Jonghyun, Depresi, dan Ancaman Besar Kehidupan Para Bintang)

Sayangnya, masih dari data WHO, jumlah penderita depresi meningkat 18 persen sepanjang 2003-2015. Sementara itu, WHO (2012) mengatakan, sebanyak 804.000 orang meninggal akibat bunuh diri. Itu artinya, semakin tinggi jumlah masalah kesehatan mental, semakin tinggi pula kemungkinan bunuh diri. Ini tentu bukan hal yang diingkan semua orang. Maka, tidak heran jika WHO hingga sekarang memberi perhatian pada masalah-masalah tersebut. Mereka bahkan menggelar kampanye-kampanye untuk menyadarkan orang di seluruh dunia bahwa masalah ini benar-benar ada dan nyata layaknya penyakit fisik.

Di NBA, dengan adanya kesadaran tentang kesehatan mental, mereka pun mulai berbenah untuk memberi perhatian lebih pada hal ini. Namun, mereka—baik NBA maupun WHO—tentu tidak bisa melakukannya sendirian. Seperti juga dikatakan Kevin Love dalam tulisannya, kesehatan mental bukan hanya masalah atlet, ini masalah semua orang, maka untuk menuntaskan—atau setidaknya menanggulangi sedikit demi sedikit masalah ini—diperlukan partisipasi yang lebih besar lagi dari berbagai pihak.

“Jadi, jika Anda membaca ini dan mengalami waktu yang sulit, tidak peduli besar atau kecil masalah itu bagi Anda, saya ingin mengingatkan Anda bahwa Anda tidak aneh atau berbeda untuk berbagi apa yang Anda lewati,” ujar Love.

Foto: Jeff Haynes/NBAE/Getty Images

Komentar