Menapak Jejak Pebasket Afro-Amerika dalam Peringatan Black History Month

Introduksi

Amerika Serikat memiliki sejarah panjang yang melibatkan warga keturunan Afro-Amerika dalam kisahnya. Pada Februari setiap tahunnya, Amerika Serikat memperingati Black History Month untuk mengingat kembali tokoh-tokoh dan momen besar orang-orang kulit hitam. Upaya itu dilakukan untuk mengingatkan kembali betapa panjang dan hebat perjuangan mereka dalam persoalan kesetaraan ras dan hak asasi manusia.

Tidak terkecuali NBA, liga bola basket paling terkenal seantero dunia itu juga ikut memperingatinya. Elemen-elemen penting dalam sejarah Afro-Amerika seringkali tampil di saat-saat ini, entah lewat pernak-pernik seperti kaus maupun sepatu. Para pemainnya tampak hadir dengan semangat yang sama: kesetaraan (equality).

Dengan semangat itu, Mainbasket menggali kisah-kisah pemain keturunan Afrika dan menghadirkannya dalam enam tulisan. Kami mendefinisikan semangat kesetaraan secara luas untuk memaknai kisah-kisah inspiratif dari para pemain NBA keturunan Afrika.

Mainbasket telah membahas empat kisah tentang pemain dan pelatih keturunan Afrika. Ada Serge Ibaka, Earl Lloyd, Bill Russell, dan Frank Ntilikina. Di tulisan kelima ini, kami justru membahas tim basket putra Texas Western (kini University of Texas at El Paso). Miners—sebutan tim basket itu—memiliki sejarah penting yang mengubah wajah basket Amerika Serikat setelah mengalahkan tim kuat Kentucky di final NCAA 1966. Beberapa pemain mereka kemudian bermain di liga profesional seperti ABA dan NBA.

 

***

 

Pat Riley, presiden Miami Heat, tahu betul rasanya bermain melawan Texas Western di final NCAA 1966. Saat itu Riley bermain untuk Kentucky, tim kuat dan unggulan juara, di bawah asuhan Adolp Rupp. Pertandingan itu baginya bukan pertandingan antara kulit hitam dan kulit putih. Pertandingan itu baginya lebih seperti melawan pebasket lainnya.

Sama halnya dengan Riley, Jerry Armstrong, salah satu pemain Texas Western, mengakui bahwa pertandingan itu bukanlah pertarungan antar dua ras berbeda. “Saya tahu pertandingan ini bukan soal ras, dan saya juga berpikir tim Kentucky tidak menganggapnya demikian,” jelasnya. 

Miners—sebutan tim basket putra Texas Western—punya sejarah bagus di tahun itu. Bukan hanya memenangkan kejuaraan NCAA 1966, Don Haskins sang pelatih juga berhasil membuka tabir yang membuat pemain keturunan Afrika sulit mendapat tempat di tim, menjadi sekumpulan orang yang dielu-elukan. Dengan sikap terbukanya itu, ia menjadi pelatih pertama dalam sejarah bola basket kampus yang memainkan lima pemain utama berkulit hitam. Kisah mereka terekam dengan baik lewat film drama olahraga Glory Road (2006).

Kisah dimulai ketika Texas Western merekrut Haskins ke El Paso, sebuah kota di tepi sungai Rio Grande di Texas, untuk mengurus tim basket putra mereka. Namun, saat itu kondisinya benar-benar sulit, tidak ada ongkos untuk merekrut pemain bagus. Texas Western hanyalah sebuah kampus kecil di kota yang juga kecil. Orang-orang berbakat enggan pergi ke sana, bahkan jika kampus itu menawari beasiswa penuh. Jadi, tugas Haskins saat itu benar-benar berat.

Dengan dana seadanya, Haskins mengincar pemain-pemain berkulit hitam, di sekolah-sekolah sampai ke jalanan Kota New York, mendatangi orangtua mereka untuk meminta izin. Dengan gigih, ia meyakinkan mereka supaya mau ikut dengannya pindah ke Texas. Ia pun mendapati tujuh keturunan Afro-Amerika untuk dibawa sekolah dan bermain basket di Texas Western. Ketujuh orang itu di antaranya: David Lattin, Nevil Shed, Orsten Artis, Willie Cager, Harry Flournoy, Bobby Joe Hill, dan Willie Worsley.

Don Haskins ketika menangani Texas Western Miners di NCAA pada 1966. Foto: Associated Press via El Paso Times

 

Haskins melatih tujuh bakat muda itu cukup keras. Mereka memang memiliki bakat, tetapi belum terasah dengan baik. Istilahnya, bakat mereka masih mentah. Haskins lantas mengajari mereka tentang fundamental dan dasar-dasar basket lainnya. Pengalaman Sang Pelatih membuat tim ini menjadi lebih disiplin meski drama selalu terjadi dalam satu cerita itu.

Pada musim itu, para penggawa Texas Western melalui berbagai masalah. Bukan hanya terjadi di internal mereka, tetapi juga mendapat tekanan dari luar. Mereka mengalami perisakan secara verbal maupun fisik, bahkan teror yang mengerikan. Namun, Haskins menjaga mereka dengan baik supaya terus mau bertanding di tengah-tengah ketidaksukaan masyarakat Amerika Serikat terhadap orang-orang kulit hitam. 

Seperti tergambar dalam Glory Road, sedikit banyak film tersebut merepresentasikan kisah aslinya. Namun, Willie Cager, salah satu pemain Texas Western yang terlibat di musim juara itu, justru menampik. Katanya, film itu tidak menceritakan kebenaran.

“Banyak hal terjadi tidak seperti kenyataan, termasuk dengan Don Haskins. Dalam perspektif saya, film itu benar-benar berbeda,” jelas Cager, seperti dikutip CBS Sports. “Adolph Rupp dan Don Haskins, keduanya berprasangka buruk pada kami, tapi Haskins memutuskan memainkan pemain kulit hitam, dan itu berhasil.”

David Lattin (kiri) melakukan rebound ketika membela Texas Western di final NCAA 1966. Foto: ESPN 

 

Di sisi lain, David Lattin, pemain lainnya yang kemudian bermain di ABA dan NBA, salah satunya dengan San Francisco Warriors, justru tak setuju dengan pernyataan Cager. Ia bahkan menganggap itu hal bodoh. Menurut Lattin, Cager mestinya berterima kasih pada Haskins karena mengurus dirinya yang sakit secara gratis lewat operasi.

“Pelatih Haskins menyelamatkan hidupnya,” ujar Lattin, menanggapi pernyataan Cager. “Ia tidak mampu melakukan operasi. Sekarang ia mengatakan itu lagi? Cager kehilangan akal. Saya benci ia mengatakan itu. Itu bodoh. Saya sangat marah. Saya malu karenanya.”

Menurut penuturan Lattin lebih jauh, Haskins memang keras melatih mereka. Namun, pelatih itu justru mencintai mereka seperti anak sendiri. Ia tidak pernah membeda-bedakan kulit hitam maupun putih. Bagi Haskins, semuanya sama saja. Ia memperlakukan anak-anak asuhnya sebagai pelajar-atlet.

Kendati begitu, kiprah Texas Western di NCAA saat itu benar-benar mengubah wajah basket Amerika Serikat, terutama di tingkat kampus. Para pemain Kentucky Wildcats tentu tahu bagaimana rasanya. Sejak kalah dari Texas Western itu, hidup mereka berubah.

“Saya sering mengatakan bahwa saya mungkin lebih dikenal karena kalah di pertandingan daripada menang di pertandingan,” ujar Larry Conley, bekas forward Kentucky 1966, seperti dikutip Fox Sports. “Itu benar, karena ketika saya mengatakan ‘Rupp’s Runts’, orang-orang mengatakan, ‘O, Anda ada di tim yang kalah oleh Texas Western’.”

Pat Riley, presiden klub Miami Heat, yang pernah melawan Texas Western Miners ketika dirinya membela Kentucky di final NCAA 1966. Foto: NBAE via Getty Images

 

Pat Riley, yang saat itu juga ada di tim yang kalah, punya perspektif sendiri.

“Kami mengalahkan Duke, dan banyak orang mengira Duke adalah tim terbaik di negara ini saat itu, jadi kami sangat percaya diri untuk juara. Ini bukan karena kami tidak menghormati Texas Western, tapi lebih karena kami percaya diri.”

Pada 1960-an, Amerika Serikat sedang ada di masa yang cukup bergejolak. Rasisme ada di mana-mana, membuat kalangan keturunan Afrika kesulitan mendapat kesempatan yang sama dengan lainnya. Riley menyadari itu. Pertandingan melawan Texas Western menjadi pertandingan yang mengubah segalanya. Pertandingan itu tercatat sebagai pertandingan penting dalam sejarah basket Amerika Serikat.

Don Haskins, pelatih legendaris itu, mencoba menyatukan tujuh pemain kulit hitam dengan lima pemain kulit putih. Ia perlu memastikan semua anggota timnya tetap bersatu untuk memenangkan kejuaraan, meski di luar sana tekanan datang banyak sekali. Tidak jarang Texas Western mendapat perlakuan tak menyenangkan, baik ketika di dalam maupun di luar lapangan. Tindakan-tindakan represif seperti makanan sehari-hari yang membuat mereka ketakutan. Namun, Haskins dan timnya berhasil melalui itu dengan akhir yang menggembirakan.

Bagaimanapun, pertandingan final antara Texas Western dan Kentucky, menjadi sebuah pelajaran bagi siapa pun yang bertindak represif; bahwa kulit hitam dan kulit putih, atau kulit-kulit lainnya, selalu punya kesempatan untuk menjadi juara. Texas Western menjadi contoh yang membuka mata banyak orang.

Lewat keberhasilan Haskins memainkan lima pemain utama kulit hitam, sekolah-sekolah lain pun semakin terbuka untuk menggunakan jasa mereka di tim mereka. Upaya Haskins yang pada awalnya hanya ingin menjadikan Texas Western juara, ternyata memiliki dampak yang lebih besar. Pertandingan final 1966 memberi warna sendiri yang kemudian membukakan jalan bagi mereka yang tampak minoritas mendapat hak yang sama untuk berkarir.

Kini, Don Haskins memang telah wafat pada 2008 silam, tapi sejarahnya tidak ikut terkubur bersama jasadnya. Kisah keberhasilannya bersama Texas Western masih tercatat sebagai pertandingan penting yang menjadi pelajaran bagi generasi-generasi penerusnya. Meski bukan hari ini, suatu saat, seperti juga dikatakan Pat Riley, orang-orang bakal memahami arti penting pertandingan itu. Bagaimana pertandingan itu mengajari orang untuk menghargai manusia sebagaimana mestinya, apapun rasnya.  

Foto: El Paso Times

 

Baca juga seri Black History Month lainnya:

Menapak Jejak Pebasket Afro-Amerika dalam peringatan Black History Month

Perang Membuat Serge Ibaka Menjadi Seorang Spanyol (1/6 Black History Month)

Earl Lloyd, Sang Pionir Kulit Hitam di Laga NBA (2/6 Black History Month)

Bill Russell, Pelatih Kulit Hitam Pertama di NBA (3/6 Black History Month)

Amerika Serikat, Taksi, dan Mimpi Frank Ntilikina (4/6 Black History Month)

Texas Western Mengubah Wajah Basket Amerika Serikat (Black History Month 5/6) 

Populer

Lakers Selama Ini Mencari Sosok Dalton Knecht
Hasil Rapat Sixers Bocor, Paul George & Joel Embiid Kecewa
Tripoin Franz Wagner Gagalkan Kemenangan Lakers
Menyerah di G League, Rodney Hood Pensiun & Ingin Jadi Pelatih
Spurs Raih Dua Kemenangan Beruntun Tanpa Wembanyama 
Pemain Bintang yang Cedera di Bulan Pertama NBA 2024-2025
Luka Doncic Cedera, Kabar Buruk Bagi Mavericks
Rencana NBA Pakai Format Pickup-Style untuk All-Star Game 2025
Kolaborasi Unik Puma MB.04 dan Scooby Doo
Perlawanan Maksimal! Indonesia Kalah dari Korea di Tujuh Menit Terakhir!