IBL

Kerap kita dengar beberapa orang berkata, "Hari apes tidak ada di kalender", dan kita merasa cukup relevan. Apes atau nasib sial kerapnya hadir tanpa aba-aba, tanpa persiapan, full kejutan. Namun, tampaknya kalimat tersebut tidak berlaku untuk Pacific Caesar Surabaya. Bagi Pacific, tampaknya nasib sial sudah menjadi langganan, setidaknya dalam dua musim terakhir. 

Ya, paling tidak, Pacific akan mengalami satu Hari Apes di setiap musim IBL sejak musim lalu. Dua musim beruntun, dua kali mereka apes. Kemenangan yang mungkin diraih, hilang karena kesalahan-kesalahan yang tidak jelas. Bukan tidak jelas pelakunya, tapi tidak jelas siapa yang harusnya bertanggung jawab. 

Masih segar diingatan, musim lalu, Pacific kena "poin gaib" kala menghadapi Hangtuah. Karena kebetulan saya ada di lapangan saat itu terjadi, poinnya sebenarnya tidak datang begitu saja. Ada memang tembakan masuk dari Hangtuah. Akan tetapi, tembakan itu terjadi setelah bel shotclock berbunyi yang mana harusnya tidak dihitung. Namun, kebingungan di antara wasit dan petugas meja membuat dua poin tersebut dihitung. Pacific menutup laga dengan kekalahan dua poin. 

Seperti laiknya budaya negara ini, kita akan mencari siapa yang salah atas kejadian ini. Hasil investigasi menunjukkan bahwa yang salah adalah wasit. Tiga wasit bertugas dihukum setahun tidak boleh memimpin pertandingan di semua level. Pengawas pertandingan dan koordinator wasit juga kena hukuman. Semua sudah dinyatakan bersalah dan dihukum, namun Pacific tetap kalah. 

Kejadian tersebut terjadi 5 Mei 2024. Tidak sampai setahun kemudian, Pacific harus menderita hal yang kurang lebih sama. Menjamu Borneo Hornbills, di sisa 2 detik gim dengan Pacific unggul satu poin, Borneo mendapatkan inbound di baseline. 

Jason Winata menghadapi bola dan memberikan umpan kepada Xavier Ford. Ford menangkap bola dengan baik. Ia mencoba berputar untuk mendapatkan sudut tembak. Ia melepaskan tembakan yang meleset. Nah, dalam semua kejadian di atas, ternyata waktu tidak berjalan sama sekali. Ya, gameclock tetap menunjukkan 2 detik. Bola meleset disambar oleh Steven Orlando yang langsung memasukkan bola. Dua poin masuk dan saat itu, waktu berakhir. 

Pemain Borneo berhamburan merayakan kemenangan dramatis saat Pacific masih percaya waktu seharusnya habis. Wasit memutuskan untuk melihat IRS (Instant Replay System) atau tayangan ulang. Sepanjang proses ini, kedua belah tim belum mengetahui apa keputusan pertama dari wasit. Saya melihat bagaimaa Brandon McCoy, pemain asing Borneo bertanya kepada wasit, "Does it count?" 

Kebingungan melanda. Bahkan saat wasit mengumumkan lewat pengeras suara, "Timer zero point three," kepala pelatih Borneo, Ismael, masih menunjukkan gestur bertanya, masuk atau tidak? Sampai di titik ini, tidak ada satupun orang di lapangan yang tahu apakah bola tadi masuk atau tidak. Hingga akhirnya muncul kepala pelatih Pacific, Andika Saputra yang bertanya dan akhirnya wasit mengangguk, menandakan bola masuk, dan menjelaskan sisa waktu 0,3 detik. 

Yang ada di lapangan tidak bisa melihat tayangan ulang. Namun, semua yang menonton secara daring, bisa melihat bagaimana gameclock tidak berjalan. Gameclock adalah satu dari sekian banyak hal yang wajib diperhatikan wasit dalam memimpin pertandingan. Dalam situasi ini, wasit sejatinya bisa mengulang inbound (correctable errors). Akan tetapi, tampaknya, wasit pun tidak sadar bahwa gameclock tidak berjalan. 

IBL mengumumkan bahwa Tim Pengawas sedang melakukan pendalaman atas kejadian ini, sekitar 15 jam setelah kejadian. Hasilnya, kesalahan ada pada alat, yang sudah ditekan 3 kali baru mau berjalan. Rasanya tinggal menunggu waktu bahwa alat tersebut akan mendapat skorsing dari IBL. Mungkin wasit juga akan kena. Satu-satunya yang mungkin tidak akan terjadi adalah keadilan untuk Pacific, yang kedua. 

Dalam dua kejadian ini, kita bisa melihat pola yang sama dari IBL. Pertama, butuh waktu lama untuk mengambil keputusan atau penyelidikan atau pendalaman atau semacamnya. Kedua, yang salah adalah oknum, human error yang semuanya harus dimaklumi tapi juga harus dihukum. Seolah human error ini tidak bisa dicegah. Seolah, tidak ada yang salah dengan sistem. Seolah, tidak ada yang salah dengan standar yang ada. 

Kesalahan itu wajar terjadi. Namun, yang krusial-krusial seperti ini, sejatinya tidak banyak terjadi sebelum dua tahun terakhir. Kalau diingat, mungkin pada 2018, gim semifinal antara Pelita Jaya dan Stapac menjadi satu-satunya kesalahan krusial wasit yang terjadi sebelum dua tahun terakhir. Kala itu, wasit menolak melihat IRS dan berpegang teguh kepada keputusannya yang ternyata salah. Hasilnya memang berdampak pada gim karena laga lanjut ke overtime dan Pelita Jaya berhasil menang. Wasit kala itu juga kena larangan memimpin, oleh IBL. 

Lantas, apa yang terjadi dalam dua tahun terakhir? Ya, perubahan sistem pertandingan dari seri menjadi Home & Away. Perubahan ini membuat IBL kini bisa menyelenggarakan empat laga di empat tempat yang berbeda. Bahkan, bisa di empat kota yang berbeda dengan tiga pulau yang berbeda pula. Perubahan sistem ini mendorong pertambahan personel yang luar biasa dari sisi wasit, petugas meja, pengawas pertandingan, hingga panitia-panitia lokal. Hasilnya, beberapa memang menjalani akselerasi, mengikuti penataran untuk memenuhi standar yang ditetapkan. 

Pertanyaannya kini, bagaimana kalau standarnya yang tidak cukup? Perlu diingat, seiring dengan keputusan Home & Away, IBL juga mengubah sistem perekrutan pemain asing. Jika sebelumnya dibatasi dan difasilitasi oleh IBL, dua tahun terakhir tim-tim berhak mencari pemain asing mereka sendiri dengan standar mereka sendiri. Memang, ada ruang gaji (salary cap) yang ditetapkan. Namun, sampai sekarang pun, tidak ada transparansi dari liga mengenai pengeluaran tim-tim. Yang ada malah dari Satria Muda Pertamina Jakarta. 

Dari perubahan ini, maka level pemain asing yang turun di liga pun berubah drastis. Mantan-mantan pemain NBA merapat dengan kontak fisik yang meningkat. Pelita Jaya yang dalam dua tahun terakhir bermain di Basketball Champions League Asia mengamini bahwa ada perbedaan tiupan di IBL dan BCL yang mana IBL lebih mudah foul ketimbang internasional. Sekali lagi, standar yang ditetapkan mungkin terlalu rendah. Belum lagi beragam keluhan pemain atau pelatih asing mengenai cara komunikasi mereka dengan ofisial pertandingan. 

Peningkatan level pertandingan ini juga berpengaruh kepada petugas meja. Bisa dilihat bagaimana tim-tim kini bermain dengan pace yang cepat. Perubahan-perubahan ini juga memaksa petugas meja harus terus menjaga fokus di level tinggi secara konsisten. Alat-alat pun juga harus dipastikan prima. Jika tidak prima seperti kasus Pacific, perlu dipertanyakan juga bagaimana verifikasinya. Pun dengan banyaknya lapangan yang bocor saat hujan dan gim tertunda, bagaimana verifikasinya?

Saya harap ada langkah yang lebih konkret dan jelas mengenai kejadian kali ini, bukan sekadar skors atau semacamnya. Dalam dua musim terakhir, sudah empat wasit yang diskors. Kalau gim ini juga menghasilkan skors, dengan anggapan seluruhnya kena, maka 7 wasit diskors. Lama-lama semua wasit diskors. Ini jelas bukan penyelesaiannya. Seolah menyalahkan petugas SPBU atas kasus oplosan bensin plat merah. 

Apakah semua perangkat pertandingan sudah memenuhi standar? Apakah standar yang ditetapkan sudah sesuai dengan kenyataan di lapangan? Bagaimana upaya liga menjaga standar terus terjaga di semua venue oleh panitia-panitia lokal? Ini akan jadi lebih krusial ketimbang skors-skors semata. Standar-standar ini memang dijalankan oleh tuan rumah setiap laga, tapi dijaga, dipastikan berjalan, oleh siapa lagi kalau bukan operator liga. Kalau pada akhirnya tim-tim tidak bisa memenuhi, menjalankan standar ini, bukankah penerapan sistemnya yang salah?

Terakhir, Pacific selayaknya mendapatkan hasil yang lebih adil. Pacific juga layak mendapatkan permintaan maaf secara formal dan publik oleh liga atas kerugian mereka yang tidak hanya sekali, melainkan dua kali. 

Foto: Roesdan Suriansyah

Komentar