Beberapa waktu lalu, saya menyaksikan video ceramah seorang wasit senior NCAA yang pernah memimpin gim Final Four NCAA. Ia menceritakan pertemuannya dengan seorang dokter.
Begini katanya saat itu, “Kemarin malam saya flu. Bangun pagi, saya langsung ke dokter dan mengatakan, ‘Dokter, telinga saya yang sebelah kiri tidak dapat mendengar. Anda harus menolong saya. Hari ini jam 10.00 saya harus melakukan presentasi.’
Dokter lantas bertanya, ‘Ref, apakah ini problem yang sama seperti yang Anda alami ketika bertugas di pertandingan tahun lalu?’
Saya jawab, ‘Ya.’
‘Ok baiklah,’ kata dokter. Kemudian dia meminta saya memiringkan kepala ke sebelah kiri dan menumbukkan kepalnya di kuping sebelah kanan, terbukalah kembali pendengaran kuping kiri saya ini.”
Bagi saya, cerita atau komentar tersebut cukup menarik. Dari balik cerita kecil itu, saya malah mendapatkan sebuah pelajaran lain. Bahwa seorang wasit harus mampu bertahan menghadapi pelecehan verbal (verbal abuse) dari penonton dan lain-lain. Saya malah berpikir, bahwa sebuah “penyumbatan” di telinga, kadang kala malah dibutuhkan.
Mendapat teriakan sepanjang pertandingan tentu sangat mengesalkan. Tetapi, “penyumbatan” dapat membantu Anda mengabaikan teriakan-teriakan itu. Tentunya, semua kembali kepada Anda (para wasit). Kita (saya juga dulu seorang wasit) bisa memanfaatkannya untuk keuntungan saat bertugas atau tidak.
Pada setiap pertandingan, seorang wasit dapat membuat keputusan dalam jumlah yang sangat banyak. Bahkan dapat mencapai ratusan. Alhasil, kita wasit bisa menjadi subyek kontroversi. Apalagi setiap kali terjadi keraguan, kita, para wasit kerap melakukan cek ulang di tv monitor. Untuk memastikan apakah sebuah keputusan sudah tepat atau tidak.
Saya bisa memahami bahwa para wasit adalah memang subyek kontroversi. Walau saya agak sulit memahami mengapa para pelatih, penonton fanatik, dan media menuntut para wasit seolah harus selalu benar di dalam setiap keputusannya. Wasit kerap ada di dalam situasi sulit karena selalu menjadi sasaran kritik.
Namun pada satu sisi, saya juga merasa bangga dan menghargai keadaan serta tugas ini. Bahwa kita tetap dapat tampil prima, kerja keras, jujur, dan bertanggung jawab dalam tugas demi cita-cita menjadi bagian penting dari olahraga bolabasket yang kita cintai dan membanggakan ini.
Dalam beberapa kesempatan, saya terkadang berpikir, “Apakah tidak lebih baik apabila pelatih bersikap bungkam atau diam saja dalam memimpin timnya bertanding?”
Pada umumnya, sebagai wasit kita berharap akan dapat menambah pengalaman dan pengetahuan melalui setiap tugas yang dipercayakan. Kita ingin dapat berdiri tegak, berbesar hati dalam menjalankan tugas memimpin pertandingan. Tetapi, bagaimana kita dapat memahami tendensi keinginan pelatih kritis yang gemar berteriak, banyak protes dan komplain? Pada saat bersamaan, ada waktunya wasit juga harus cepat bertindak menyelesaikan apa yang harus diselesaikan sambil menangani kritik dari pelatih, atau memberi debat jitu secara profesional supaya keadaan cepat tertib kembali.
Tidak ada yang mudah. Mutu wasit sangat menentukan dalam menjaga kualitas pertandingan. Wasit harus memiliki niat memanfaatkan setiap kesempatan untuk membuktikan diri kepada semua yang berkepentingan bahwa pertandingan dapat berlangsung maksimal di bawah kepemimpinannya.
Jika karena alasan tertentu ternyata ada pelatih yang bersikap diam diri di pertandingan, suasananya justru akan semakin tak memberi manfaat apapun bagi kemajuan pembelajaran perwasitan. Bahkan juga bagi pelatih itu sendiri. Komunikasi itu penting. Komunikasi verbal tetap penting, dengan segala cara dan gayanya
Amerika Serikat, sebagai salah satu kiblat basket dunia, banyak pelatih-pelatih mahasiswa (NCAA) yang tangguh yang menghasilkan pemain-pemain hebat. Misalnya Mike Krzyzewski, Dean Smith, Bobby Knight, John Thompson dan lain-lain. Interaksi para pelatih tersebut dengan para wasit kemudian juga menghasilkan wasit-wasit tangguh.
Level basket kita masih kelas bawah. Kualitas fisik para pemainnya masih kelas bawah. Kondisi ini bukan dikarenakan pendek-pendek orangnya. Tetapi adalah indikasi bahwa basket kita masih belum cukup populer. Masih kurang peminatnya. Harus ada bagian atau unsur-unsur yang bertanggungjawab. Memperhatikan semua aspek dan meningkatkannya. Termasuk masalah perwasitan.
Herman Kintono adalah pelatih dan pengamat bola basket asal Bogor. Ia pernah menjadi koordinator dan penyelia wasit di era NBL Indonesia.
Foto: Ariya Kurniawan