Kompetisi DBL telah eksis selama dua dekade. Tapi tidak ada status juara nasional. Final daerah atau provinsi menjadi pertandingan pamungkas. Lalu, bisakah juara-juara dari seluruh daerah berkompetisi untuk memperebutkan titel DBL Nasional?
Menpora Dito Ariotedjo menjadi salah satu dari sekian banyak orang yang mengharapkan adanya juara DBL Nasional. Hal tersebut diucapkan saat menghadiri Final DBL Jakarta 2024 pada Jumat (6/12) lalu di Indonesia Arena.
Final tersebut merupakan gelaran kedua DBL di venue indoor terbesar di Indonesia. “Tantangan tahun lalu sudah tercapai untuk final digelar di Indonesia Arena. Target dari saya kurang satu yakni series nasional,” tuturnya.
Ide yang sebenarnya menarik. Namun, tak kunjung terlaksana. Ada alasan mengapa DBL Indonesia tidak atau belum mau mewujudkannya. Alasan dan tantangannya banyak. Yakni biaya kompetisi dan penyelenggaraan, kualitas level permainan, serta antusiasme penonton.
Dari penyelenggaraan DBL di daerah, tidak semua memiliki level permainan yang sama. Meski belum tentu juga bahwa sekolah di Jakarta atau di Pulau Jawa lebih baik dari kota-kota lainnya.
Selain itu, pertandingan bisa saja berjalan timpang dalam antusiasme penonton. Bisa jadi, ada sekolah yang tidak punya basis pendukung di lokasi penyelenggaraan. Misalnya saat DBL Nasional diadakan di Indonesia Arena, Jakarta.
DBL sendiri memiliki prinsip dalam menjalankan kompetisi. Yakni kompetisi yang efektif dalam segi biaya, format, partisipasi baik peserta dan penonton, serta tetap menjaga kualitas.
Saat ide DBL Nasional itu dilempar dalam unggahan Instagram Mainbasket pada Minggu (8/12) lalu, banyak komentar yang menarik. Ada yang mendukung, ada pula yang tidak setuju. Ada pula ide untuk mencontoh sistem kompetisi serupa dalam liga pelajar di Jepang.
“Untuk masalah kemampuan pemain harusnya bukan masalah karena justru dengan mempertemukan antar provinsi akan menaikkan standar kemampuan mereka. Justru itu inti dari dibuatnya turnamen nasional,” ungkap Iman Afandy dalam kolom komentar.
“Kalau buat basis pendukung tempat penyelenggaraan, harusnya pride sekolah dan orangtua akan mendorong mereka ke luar kota untuk mendukung timnya. Mungkin penyelenggaraannya saja supaya pas liburan sekolah,” imbuh komentar Nasatya Danisworo.
Di sisi lain, ada beberapa yang berpendapat sebaiknya memang tidak ada juara DBL Nasional. Kompetisi yang terlalu panjang dan intens kurang baik untuk atlet remaja. Secara bisnis pun tidak terlalu menguntungkan.
“Biarkan yang terbaik itu jadi misteri dan pertanyaan. Jadi tidak ada sekolah yang bisa sombong kalau dirinya terbaik. Itu membuat sekolah yang juara tetap rendah hati,” tulis @aziz_miring.
“Menurut saya kalau memang nggak perlu dipaksakan. Kompetisi ini bertahan dan berkembang selama 20 tahun saja sudah patut diapresiasi. Seharusnya pemerintah bisa turun tangan agar DBL Nasional terwujud,” imbuh akun @blogkopi.
Foto: DBL Indonesia