Masih ingat saat LeBron James memecahkan rekor Kareem Abdul-Jabbar sebagai pencetak poin terbanyak sepanjang sejarah NBA? Pada momen tersebut, bintang Los Angeles Lakers ini memakai sepatu Nike LeBron 20 yang dimodifikasi. Pembuatnya adalah Dominic Ciambrone, yang dikenal sebagai "Ahli Bedah Sepatu". Nike awalnya meminta Ciambrone mengerjakan proyek modifikasi sepatu LeBron, namun sekarang Nike justru menggugat Ciambrone dianggap sudah terlalu jauh dalam memodifikasi sepatu mereka.

Dimulai ketika LeBron James sudah mendekati rekor poin sepanjang masa NBA tahun lalu. Nike menginginkan sepasang sepatu unik yang dibuat untuk menandai pencapaian tersebut. Ternyata Nike memilih pekerjaan bergengsi ini tidak diberikan kepada desainer internal. Sebaliknya, Nike merekrut Dominic Ciambrone.

Ciambrone, yang juga dikenal sebagai "Shoe Surgeon", bekerja di studio produksinya di South Los Angeles. Dia memulai proyek rekonstruksi sepasang sepatu Nike LeBron 20 yang akan digunakan LeBron James pada malam pemecahan rekor. 

Ciambrone menggunakan kulit buaya berwarna putih dan hiasan emas berkilau. Di sol luar biru yang tembus pandang, Ciambrone menuliskan 38.388. Angka-angka tersebut merupakan jumlah poin yang dicetak James untuk memecahkan rekor Kareem Abdul-Jabbar. Foil emas bermotif buaya dijahit di atas logo Nike yang ikonik. Sepatu tersebut diberi nama Nike LeBron 20 "The Moment", yang kini bernilai lebih dari AS$100 ribu setelah dipakai untuk memecahkan rekor poin terbanyak sepanjang masa.

Namun, ikatan antara Nike dan Ciambrone yang telah dibangun sejak 2017, kabarnya memburuk. Pada bulan Juli, raksasa pakaian olahraga tersebut menggugat Ciambrone dan perusahaannya di LA, Surgeon Worldwide, dengan tuduhan melakukan pemalsuan, kustomisasi massal, dan pelanggaran merek dagang.

Dalam pernyataan kepada The Times, Nike mengatakan bahwa pihaknya menghargai hubungan Ciambrone yang menggunakan sepatu Nike sebagai obyek kreatifitasnya. Namun, Nike menuduh Ciambrone sudah bertindak terlalu jauh dengan meningkatkan operasinya, dengan cara yang ilegal. Tindakan Ciambrone tersebut disinyalir bisa menipu konsumen, dan menciptakan kebingungan pasar. 

Nike mengatakan bahwa pihaknya telah mencoba menyelesaikan masalah dengan Ciambrone sebelum mengajukan gugatan untuk melindungi integritas mereknya. Kabarnya, Nike menuntut ganti rugi sebesar AS$60 juta.

"Terkejut," kata desainer 38 tahun tersebut, ketika tahu Nike mengajukan gugatan padanya. "Saya tidak ingin membalas. Saya tidak ingin berperang." 

Ciambrone, pendiri sekaligus direktur kreatif Surgeon Worldwide, mengatakan bahwa ia tidak menyadari adanya masalah. Ia menegaskan bahwa apa yang ia buat adalah karya seni dan tidak mengancam Nike. Dia mengakui jika sepatu Nike sering menjadi kanvas kustomisasi yang ia lakukan. Tapi Ciambrone mengatakan sepatunya hasil karyanya selalu autentik dan desainnya mudah dibedakan dari sepatu asli Nike.

Ciambrone telah membuat modifikasi sepatu sejak ia masih kecil di Santa Rosa, California. Awalnya, ia mewarnai kaus berlogo Supremes miliknya dengan spidol oranye Sharpie. Dia juga mengecat Nike Air Force 1 miliknya dengan cat yang dibelinya di toko kain dan kerajinan. Kini, ia telah menjalin kerjasama dengan Justin Bieber, Drake, Odell Beckham Jr., Jake Paul, dan Lil Jon di antara klien-kliennya.

Untuk Super Bowl pada bulan Februari 2024, Ciambrone membuat sepatu kets Usher yang dikenakannya di atas panggung selama pertunjukan jeda pertandingan. Shaquille O'Neal juga memiliki " Sneak'er " rancangan Ciambrone. Dinamakan demikian karena setiap sol Reebok dilengkapi dengan ruang rahasia yang dapat menyembunyikan sekaleng Pepsi Mini.

Kolektor kaya di seluruh dunia mengirimkan sepatu kets langka mereka ke Ciambrone dan membayarnya untuk menghiasinya dengan kulit dan bulu binatang eksotis, batu permata berharga dan emas 24 karat, serta bahan yang dipotong dari tas tangan Louis Vuitton dan pusaka keluarga. Bagian atas sepatu Nike mungkin dibuat ulang dengan kain monogram Gucci, atau sepatu Adidas yang dihias dengan sol Balenciaga.

Kembali ke kasus yang dihadapi Ciambrone. Ternyata kasusnya lebih kompleks dari dugaan. Nike juga menggugat SRGN Academy, yang menyelenggarakan kelas kustomisasi secara langsung dan daring. Ciambrone telah mengembangkan beberapa lokakarya, yang biayanya mencapai AS$3 hingga 5 ribu. Di salah satu lokakarya yang diadakan di Melrose Avenue pada tahun 2018, misalnya, para penggemar sepatu kets belajar cara mendekonstruksi dan merekonstruksi sepasang Air Jordan 1 yang mereka bawa pulang di akhir lokakarya. Nike tidak suka dengan tindakan tersebut yang dianggap telah merusak desain asli sepatunya. 

Surgeon Worldwide juga tengah melawan gugatan hukum yang diajukan pada bulan Juni oleh rumah mode mewah Prancis Goyard, yang menuduh adanya pelanggaran merek dagang dan penyebutan asal produk yang salah.

Sementara itu, kasus yang dihadapi Ciambrone ini memberikan gambaran tentang medan sulit yang harus dihadapi para wirausahawan kreatif. Mereka membangun produk mereka sendiri, namun mengandalkan kekayaan intelektual perusahaan lain. Dan, sejauh ini Nike akan berusaha untuk melindungi wilayah mereka. 

"Sulit bagi seniman, khususnya, untuk memahami: Apa itu lisensi kreatif, dan bukankah saya berhak menggunakan apa pun yang saya inginkan dalam berekspresi dalam seni?" kata Preetha Chakrabarti, seorang pengacara merek dagang. "Sebenarnya, dalam hal hukum merek dagang, tidak demikian." 

Ilegal atau tidaknya mungkin tergantung pada keputusan juri. Namun, Surgeon Worldwide yang dikelola secara pribadi telah berkembang menjadi konglomerasi bisnis yang lahir dari keberhasilan alas kaki yang dibuat sesuai pesanan konsumen. Namun untuk saat ini, Ciambrone telah berhenti menerima pesanan khusus yang meminta Nike untuk digunakan sebagai sepatu dasar. Dia juga menolak memodifikasi sepasang Nike yang kabarnya dihargai AS$4 juta.

"Sepatu itu akan dilapisi emas dan berlian," kata Ciambrone.

Meskipun komisi swasta dan kemitraan merek merupakan inti bisnisnya, Surgeon Worldwide telah menjual beberapa produk siap kirim ke publik secara daring. (*)

Foto: Jason Armond - LA Times

Komentar