Entah butuh berapa banyak bukti lagi untuk Indonesia bahwa size atau ukuran tubuh, tak pernah jadi yang utama. Bahwa posisi ring basket yang di atas tak pernah ada hubungannya dengan kehebatan seorang pemain basket. 

Satu lagi bukti yang jelas sekali menggambarkan ini adalah keberhasilan Abraham Damar Grahita meraih gelar MVP ketiga di IBL sepanjang kariernya. Lebih lagi, Abraham mendapatkannya dengan tiga tim yang berbeda. Pertama bersama Indonesia Patriots di 2020, lalu Prawira Harum Bandung di 2022, dan Satria Muda Pertamina Jakarta di musim ini, musim 2024. 

Abraham memliki tinggi 180 sentimeter. Tinggi yang saya yakini ada di bawah rata-rata liga. Saya tidak menghitung secara resmi, namun berkaca pada data di 2020, kala itu pemain IBL memiliki rata-rata tinggi badan 187,1 sentimeter. Musim ini, pemain asing ada tiga dengan salah satunya lebih dari dua meter. Maka jelas rata-rata liga pasti lebih tinggi karena tidak bantyak pemain dengan postur sangat kecil masuk ke liga. 

Bahkan untuk pemain lokal saja, banyak pemain yang lebih tinggi daripada pemain yang akrab disapa Bram tersebut. Lantas, mengapa Bram tetap unggul daripada mereka? Mengapa Bram tetap muncul sebagai pencetak angka terbanyak (top skor) di barisan pemain lokal? Ke mana mereka yang jaraknya memasukkan bola ke ring lebih dekat?

Bahkan, jika Bram kita tarik dari perbincangan MVP. Nominasi selanjutnya yang terdekat adalah Yudha Saputera dan Abraham Wenas, dua nama yang lebih pendek lagi daripada Bram. Mereka yang mendominasi adalah mereka yang kalian bilang kecil-kecil ini. 

"Ah itu karena setiap tim fokus mengambil pemain asing di posisi bigman Indonesia."

Lah, kan sudah jelas aturannya. Hanya satu yang boleh di atas dua meter. Lainnya harus di bawah tersebut. Dengan program Perbasi yang fokus mencari pemain dari tinggi badan di atas 180 atau 185 sentimeter, sejatinya pemain-pemain Indonesia masih bisa bersaing bukan? Kalau tidak bisa, apakah karena tinggi badannya?

Kalau jawaban kalian adalah otot dari pemain asing, maka jawabannya adalah pengembangan atlet Indonesia sendiri. Mengapa tidak semua atlet memperbaiki kekuatan mereka? Memangnya pemain-pemain asing tersebut terlahir dengan otot yang langsung besar saja? Kan tentu tidak. 

Foto di atas adalah bukti bagaimana Bram menyadari kekurangannya dan berusaha memperbaiki dirinya. Bram pada 2018 dan Bram pada 2024 adalah sosok dengan kekuatan fisik yang berbeda. Sebagai orang yang menyadari akan hidup di basket, ia mendorong dirinya untuk terus menjadi lebih baik, termasuk salah satunya adalah langkah bermain hampir semusim di Divisi 3 liga Jepang (B3) bersama Velex Sizhuoka. 

Saya ingat betul perbincangan dengan Bram setelah sekitar dua pekan di Jepang. Ia mengaku kaget, bahwa ia yang sudah cukup kuat secara fisik di Indonesia sebagai pemain garda, masih banyak yang lebih kuat di sana (Jepang). Bahkan, pemain dengan tinggi badan yang lebih rendah darinya. 

"Kuat-kuat banget orangnya. Bahkan, yang badannya tidak berotot besar, tidak yang kata orang-orang kering ototnya, ternyata juga kuat-kuat. Kalau cepat mah semuanya cepat. Satu lagi, ketahanan fisiknya (endurance) juga ngeri banget," ceritanya kala itu. 

Di atas langit ada langit. Bram membuktikan sendiri hal tersebut. Ia merasa cukup baik di Indonesia dan coba mencari tahu bagaimana di luar sana dengan berkompetisi langsung. Hasilnya memang tidak cukup baik. Namun kini Bram tahu apa yang ia butuhkan untuk mencapai ke sana. Jikapun bukan Bram yang harus ke sana di masa mendatang, Bram bisa menularkan yang ia ketahui kepada generasi selanjutnya. 

Ada satu lagi logika yang keliru selain posisi ring yang ada di atas. Ucapan bahwa, "Bram, Yudha, Abraham Wenas jago, tapi coba kalau tinggi mereka 190 sentimeter, pasti lebih jago lagi." Dari mana logika konyol ini muncul sejujurnya saya tidak tahu. Satu yang jelas ketimbang perandaian tersebut adalah tidak ada satupun pemain dengan tinggi 190 sentimeter atau bahkan dua meter di liga yang lebih baik daripada mereka di IBL 2024. Bahkan saat bicara sebaran nasional, mungkin hanya Agassi Goantara yang berpeluang menjadi sosok mengerikan dengan tinggi yang masuk standar Perbasi tersebut. Namun demikian, kita semua tahu bahwa Agassi bukan bentukan Indonesia. Pada usia pengembangan yang paling penting, Agassi menimba ilmu di Amerika Serikat. 

Kami di Mainbasket, bahkan secara pribadi saya sendiri, tak akan lelah untuk menggalakan kampanye tinggi badan tidak penting ini. Mengapa? selain karena kami menganggap ini adalah tinggi badan sebagai hal utama adalah logika yang salah, kami sangat berharap basket Indonesia bisa berkembang lebih baik lagi. Tak sadarkah Anda, pemahaman ini, memberikan alasan kalah tinggi di setiap kekalahan adalah salah satu penghambat utama pengembangan basket kita. Jika prinsip ini terus dipercaya, selamanya kita akan kalah, bahkan sebelum bermain. Lantas, mengapa kita perlu bertanding? Memangnya tinggi badan pemain akan berubah saat di lapangan? 

Kita terus bermain karena kita percaya kita bisa menang. Persiapan, kekuatan, ketangkasan, akurasi, adalah hal-hal yang mendekatkan kita untuk menang. Tidak ada keberuntungan yang sungguh-sungguh. Bahkan, orang bijak berbicara bahwa keberuntungan akan menghampiri kita yang terus bersiap diri. Jika kita tak pernah berbenah, terus menyalahkan kuasa Tuhan (tinggi badan pemberian Tuhan), keberuntungan pun malas menghampiri. 

Saya tak melihat akan ada pemain di atas 190 sentimeter yang akan mendobrak IBL sampai lima musim ke depan, kecuali jika Derrick Michael kembali. Namun, kami harap ini tidak akan pernah terjadi. Kami harap Derrick bisa menemukan jalan untuk terus bermain di luar sana, bersaing dengan yang lebih baik. Saya harap, akan ada lebih banyak pelatih yang mau mencari tahu, menambah ilmu lebih dalam, bagaimana caranya mengembangkan pemain muda menjadi pemain basket yang komplet, terlepas berapapun tingginya. Semoga, kami juga bisa terus menjaga semangat untuk terus tumbuh tersebut selamanya sampai akhirnya kita bisa menghasilkan pemain yang kita harapkan dan bersaing di level yang baik. Semoga.

Foto: Ariya Kurniawan

Komentar