Orang boleh pandai setingi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.
-Pramodya Ananta Toer
Kareem Abdul-Jabbar, namanya tidak juga pudar meski ia memutuskan pensiun dari NBA pada 1989. Bukan hanya karena ia telah mencatatkan raihan-raihan fantastis di liga, tetapi juga karena ia lebih besar dari bola basket itu sendiri. Apalagi setelah ia aktif di beberapa kesempatan untuk mengamalkan apa yang ia punya dan menulis pemikiran-pemikirannya ke dalam sebuah artikel.
Upaya Abdul-Jabbar dalam menuliskan isi kepalanya tentu cocok dengan deskripsi Pram di awal tulisan ini. Orang-orang tidak bisa melupakannya meski ia hilang dari pertandingan-pertandingan bergengsi sekelas NBA. Salah satu alasannya adalah karena ia menulis.
Abdul-Jabbar sejak dulu memang senang menulis. Ia juga senang berdiskusi tentang segala hal, terutama mengenai isu-isu sosial seputar orang-orang berkulit hitam dan Islam. Apalagi Amerika Serikat memiliki masa-masa kelam yang menyeret orang-orang keturunan afrika-amerika diperlakukan tidak adil di negerinya sendiri. Kasus-kasus seperti itu bahkan masih sering terjadi dewasa ini di belahan dunia manapun, di mana manusia berpijak dengan hati yang kotor selalu tampil tak tahu diri.
Suatu ketika, setelah Presiden AS Donald Trump menolak para pengungsi masuk ke negaranya, Abdul-Jabbar menjadi salah seorang penentang yang cukup vokal menyuarakan pemikirannya. Ia mengaku tidak setuju dengan sikap Trump yang demikian itu. Ia menyebutnya sebagai “kejahatan yang murni” (pure evil) karena melanggar nilai-nilai suci tentang kemanusiaan.
Ketika masih menjadi seorang pemain, Abdul-Jabbar pernah menolak mengikuti Olimpiade. Penolakan itu ia lakukan menyusul protes atas perlakuan tidak adil AS kepada orang-orang berkulit hitam. Ia lebih memilih diam di rumah dan bekerja untuk memenuhi kehidupannya. Apalagi saat itu ia membutuhkan biaya supaya dapat menyelesaikan kuliahnya, karena beasiswa tidak menjamin pendidikannya.
Baca juga: Boikot Olimpiade dan Belajar ke Bruce Lee (Kisah Kareem Abdul-Jabbar (2/4))
Semakin sering ia bersuara, semakin sering pula ia menulis. Abdul-Jabbar pun menerbitkan autobiografi berjudul “Giant Steps” yang ditulis bersama Peter Knobler pada 1983. Sejak itu, ia menjadi rajin menerbitkan buku-buku kolaborasi. Salah satu yang terkenal adalah Brothers in Arms: The Epic Story of the 761st Tank Battalion, World War II's Forgotten Heroes, sebuah buku tentang sejarah pasukan tentara berkulit hitam di Perang Dunia II.
Aktif menulis membuat media-media di Amerika Serikat memanggilnya untuk menjadi salah satu pembicara atau narasumber. Suatu waktu, Time malah meminang Abdul-Jabbar menjadi salah satu kolumnis mereka. Ia pun jadi sering muncul untuk salah satu media besar di dunia itu. Salah satu artikelnya yang fenomenal membicarakan tentang bagaimana Islam tidak bisa disalahkan atas aksi-aksi terorisme sebagaimana Kristen tidak bisa disalahkan atas aksi-aksi yang menyalahkan mereka. Bukan karena ia adalah seorang Muslim, tetapi seorang Muslim menurutnya tidak akan melakukan hal itu, sebab Islam sama sekali tidak mengajarkan menjadi teroris.
“Saya tidak memiliki kesalahpahaman tentang keimanan saya. Saya sangat prihatin dengan orang-orang yang mengaku sebagai Muslim yang membunuh orang dan menciptakan semua kekacauan ini di dunia. Itu bukan Islam, dan hal itu tidak semestinya menjadi apa yang dipikirkan orang saat mereka memikirkan Muslim. Tapi terserah kita semua untuk melakukan sesuatu tentang semua itu,” ujar Abdul-Jabbar dalam wawancaranyanya bersama NPR pada 2015 silam.
Selain Time, Abdul-Jabbar juga belakangan menulis untuk The Guardian, sebuah media besar yang bermarkas di Inggris. Salah satu artikelnya tentang bagaimana NBA bakal menjadi masa depan olahraga Amerika Serikat setelah NFL (National Football League) tidak lagi menjadi primadona. Kebanyakan dari warga AS kini beralih ke olahraga yang lebih aman karena sepak bola amerika (american football) sesuai penelitiannya ternyata menyumbang banyak masalah kesehatan.
Baca juga: Basket Indonesia dan Pungutan Suara (Tanggapan Insta Stories Rocky Padila)
Di sisi lain, setelah pensiun, Abdul-Jabbar juga sempat melatih basket. Ia tercatat pernah menjadi asisten pelatih L.A. Lakers dan Seattle SuperSonics. Ia juga pernah membantu pemain-pemain muda seperti Andrew Bynum, Michael Olowokandi, dan Kwame Brown. Sebisa mungkin Abdul-Jabbar selalu membuat dirinya berguna walau sudah tidak bermain lagi.
Baca kisah lainnya:
Lahirnya Ferdinand Lewis Alcindor Jr. (Kisah Kareem Abdul-Jabbar (1/4))
Boikot Olimpiade dan Belajar ke Bruce Lee (Kisah Kareem Abdul-Jabbar (2/4))
Pencetak Angka Terbanyak dalam Sejarah NBA (Kareem Abdul-Jabbar (3/4))
Foto: Esquire, The Miami Student, Huffington Post