Belakangan ini sulit sekali menonton pertandingan bola basket tanpa melihat pemainnya memakai aksesori. Dari lapangan megah NBA, kejuaraan-kejuaraan kampus, sampai pertandingan kecil di jalanan. Mudah sekali menemukan berbagai macam aksesori; baik di kepala, lengan, maupun kaki; dari headband, atheletic tape, shooting sleeve, sampai leg sleeve. Semuanya mudah terlihat dan mudah didapat.
Toh, sekarang toko-toko olahraga seringkali menjualnya dengan bebas.
LeBron James, misalnya, selalu memakai aksesori kepala di lapangan. Ia akan mengenakan headband (ikat kepala) hampir di setiap pertandingan yang ia lakoni. Saking seringnya, Brian Windhorst dari ESPN suatu hari berkata kepada Darren Rovel yang menulis kutipan itu di CNBC, “Kamu melepas headband LeBron, maka ia terlihat seperti telanjang.”
Menariknya, ternyata ada juga loh yang percaya bahwa headband adalah magis bagi LeBron. Jika LeBron tidak memakai headband, ia seperti Samson yang bulu ketiaknya dipotong. Kepercayaan ini serupa dengan apa yang pernah ditulis Taufik Nur Shidiq di Pandit Football tentang temannya yang seorang pemain futsal amatir.
Dalam tulisan Taufik itu, ia menceritakan bahwa pada sebuah kejuaraan, sang teman—yang ia sebut saja Fulan—yang biasanya bermain angin-anginan memutuskan untuk mengenakan wrist tape di kedua lengannya pada pertandingan itu. Ia bermain bagus di pertandingan tersebut sehingga ia memutuskan untuk kembali mengenakan wrist tape di pertandingan kedua. Ajaib, ia mencetak semua gol dalam kemenangan 4-0 yang diraih timnya.
Padahal wrist tape atau athletic tape pada dasarnya adalah sokongan eksternal yang membantu pemain dalam penyembuhan atau pencegahan cedera. Begitu pun dengan headband yang biasanya digunakan supaya menyerap keringat di sekitar dahi, meski pun beberapa pemain mengaku menggunakan headband untuk menahan rambut supaya tidak mengganggu pandangan. “Alasannya antara lain, karena rambut saya kalau keringatan suka turun, jadi kalau pakai headband bisa tertata,” ungkap Galank Gunawan, center bank BJB Garuda Bandung.
Selain Galank, pemain yang juga sering memakai headband adalah Mario Wuysang dari CLS Knighst Indonesia yang berlaga di ASEAN Basketball League (ABL). Dalam hal ini, tidak mungkin headband berfungsi untuk menahan rambut karena ia berkepala plontos. Fungsi headband dalam menyerap keringat lebih mungkin terjadi pada kasus Mario.
Contoh lain, Wendha Wijaya, point guard NSH Jakarta, seringkali terlihat mengenakan armband di lengan kirinya. Menurutnya, ia mengenakan itu sebagai fesyen. “Pakai ini (armband) supaya lebih mudah lap keringat juga,” katanya.
Lain Wendha, lain pula Audy Bagastyo. Point guard Satria Muda Pertamina Jakarta ini sering mengenakan armband lantaran menutupi bekas lukanya. Jika ia jatuh, biasanya ia bertumpu pada siku kiri sehingga sering terluka di bagian itu. Armband berfungsi untuk menutupi noda hitam bekas luka di kulitnya.
Sementara itu, Rodmundus Ottu Ray, yang sempat bermain dengan CLS Knights dan Bima Perkasa Yogyakarta, sering tampil mengenakan kaus dalam. Menurutnya, kaus dalam membuatnya lebih nyaman di lapangan.
“Kalau pakaian yang digunakan nyaman, bakal berdampat buat saya juga di lapangan,” terang Ottu.
Selain headband, sports compression sleeve (di lengan atau di kaki) justru akan lebih sering terlihat di lapangan. Hampir semua pemain basket dewasa ini menggunakannya. Misalnya, Carmelo Anthony, Russell Westbrook, dan Stephen Curry.
Tidak jelas dari mana tren ini dimulai, tetapi banyak yang menduga kalau Allen Iverson adalah dalang dari meningkatnya penggunaan aksesori tersebut. Padahal pada mulanya hal itu dilakukan bukan karena gaya semata, tetapi lebih kepada pencegahan pasca cedera, karena sebelumnya Iverson pernah mengalami cedera di bagian siku pada 2000 silam.
Nah, sports compression sleeve itulah yang kemudian berfungsi menghangatkan otot-otot Iverson. Tekanan yang dihasilkan sleeve memeras pembuluh darah sehingga menyebabkan pembuluh itu terbuka dengan kuat. Hal itu memungkinkan lebih banyak darah dan oksigen mengalir dan membantu menurunkan detak jantung.
Dua buah penelitian dari American Journal of Medicine (1987) dan Journal Sports Science mengungkapkan, memakai sleeve dalam olahraga dapat meningkatkan performa dan mengurangi nyeri. Hal itu juga berguna untuk mempercepat penyembuhan. Itulah yang menjadi alasan mengapa pemain cedera biasanya memakai sleeve saat masa penyembuhan.
Menariknya lagi, ternyata penggunaan aksesori pasca cedera boleh jadi termasuk kategori efek placebo. Itu adalah sebuah istilah medis yang berarti sebuah upaya pengobatan dengan cara memberikan sugesti positif kepada pasien agar rasa sakit yang diderita pasien berkurang. Dalam artian lain, ini seperti menanamkan “kebohongan” untuk membantu orang keluar dari masalahnya.
Hal itu diungkapkan Steven Kotler dalam sebuah tulisan di Phsicology Today. Pada kesempatan itu, ia menceritakan pengalamannya ketika cedera tempurung lutut akibat bermain ski. Setelah cedera itu, ia jadi selalu memakai knee sleeve setiap kali bermain ski, dan mengira lututnya sudah sembuh. Suatu hari, ketika ia membuka aksesori itu ternyata lututnya berdenyut. Lantas ia bertanya kepada Dr. Howard Brody, penulis buku The Placebo Response, tentang apakah kasus itu termasuk sugesti. Katanya, efek yang terjadi karena knee sleeve itu ternyata memang termasuk ke dalam ketegori placebo.
Placebo juga terjadi dalam kasus gelang ajaib yang sempat fenomenal pada medio 2008. Gelang bernama Power Balance muncul dengan iming-iming optimalisasi tubuh dengan energi alami lewat hologram. Namun, beberapa penelitian justru membuktikan bahwa Power Balance membohongi dunia.
Kendati demikian, jika mengingat soal efek placebo dan cerita soal aksesori di atas, sebenarnya Power Balance tidak salah-salah amat. Karena dengan sugesti positif yang ditularkan dari upaya promosinya, gelang tersebut membuat orang-orang di seluruh dunia mau percaya.
Nah, Anda termasuk yang mana? Tim magis atau tim sains?
Baca juga: (Fenomena Power Balance, Ketenaran sampai Kejatuhannya)
Foto: HoopsCritic