Rupanya tidak mudah hidup di Republik Demokratik Kongo (sebelumnya bernama Zaire), sebuah negara di Afrika Tengah, berbatasan dengan Sudan di utara dan Angola di Selatan. Pasalnya, akibat perang saudara tiada henti sejak 1996, negara tersebut mengalami kehancurannya sendiri. Rakyat menjadi hidup dekat dengan kemiskinan dan keterpurukan.
Di sebuah kota tambang bernama Lubumbashi, hiduplah seorang anak dari keluarga miskin. Namanya Bismack Biyombo Sumba. Saking miskinnya, untuk membeli sepasang sepatu saja sulitnya minta ampun. Orangtuanya bahkan harus tertatih mencari pekerjaan hanya demi memenuhi kebutuhan sehari-hari.
“Saya tidak pernah memakai sepasang sepatu yang pas,” tutur Biyombo seperti dilansir The Undefeated. “Saya pakai sepatu formal karena tidak punya sepatu basket. Saya bermain tanpa sepatu.”
Soal kemiskinan, jangan pernah heran, meski memiliki populasi lebih dari 79 juta jiwa, Kongo sebetulnya kesulitan mengembangkan sumber daya manusianya. Sesuai laporan Human Development Index per tahun 2015, negara ini berada di peringkat 176 dari 188 negara dalam urusan pengembangan SDM. Sebagai perbandingan, Indonesia saja masih lebih unggul 66 peringkat di tahun yang sama.
Namun, hidup memang sulit ditebak. Alih-alih mengalami hidup yang sangat sulit, Biyombo justru menggunakan alasan itu untuk tidak mudah menyerah. Ia selalu memperjuangkan apa yang memang perlu ia perjuangkan. Misalnya, soal urusan sekolah. Bayangkan, untuk pergi ke sekolah, ia rela berjalan menyusuri perjalanan panjang.
“Saya bisa berjalan 45 menit sampai 1 jam setiap pagi ke sekolah,” katanya.
Terkadang Biyombo berjalan dengan rasa lapar dan tanpa makanan. Ia tidak punya bekal untuk dimakan di sekolah. Bahkan kadang-kadang Biyombo hanya makan sekali sehari.
Bukankah ini terlalu keras untuk Biyombo yang saat itu masih anak-anak?
Hidup kelihatannya memang tanpa harapan. Namun, juru selamat justru datang belakangan. Biyombo beranjak remaja dan berkenalan dengan basket. Ia melihat sebuah potensi besar dalam dirinya di lapangan sana. Sampai-sampai ia berani bermimpi untuk menjadi orang sukses. Akan tetapi, perjalanan karirnya tidak berbeda dengan perjalanan ke sekolah, selalu ada palang melintang di hadapannya.
Sejak mengenal basket, Biyombo jadi gemar dan senang memainkan olahraga ciptaan James Naismith itu. Bakatnya kemudian terendus tim basket asal Qatar. Mereka menawari sebuah kontrak pada Biyombo supaya dapat memperkuat tim. Saat itu usianya masih sangat muda, sekitar 16 tahun.
Tantangan dimulai dari sini.
Demi kehidupan yang layak, Biyombo lantas memberanikan diri melakukan sebuah perjalanan bersama rekan-rekannya ke Qatar. Ia ingin mendapatkan pekerjaan itu. Hanya saja perjalanannya terpaksa terhenti di Tanzania. Ia ditahan karena tidak memiliki cukup dokumen untuk melewati perbatasan.
Petugas berwenang di Tanzania awalnya mengira Biyombo kabur dari Kongo. Padahal jelas-jelas tujuannya bukan untuk kabur, melainkan mendapatkan pekerjaan layak untuk hidup yang sama layak. Pengalaman itu lantas menjadi kali pertamanya mendekam di penjara. Ia mengaku tidak ingin merasakannya lagi.
“Setiap kali saya melihat polisi, saya takut karena ingat bagaimana saya tumbuh,” ujarnya.
Biyombo dan rekan-rekannya ditangkap pukul tiga pagi. Mereka baru dilepas tiga jam kemudian. Setelah itu, ia dan kawan-kawannya melakukan perjalanan ke Yemen. Sulit rasanya menembus perbatasan tanpa dokumen lengkap.
Sambil melengkapi dokumen untuk bisa melewati perbatasan, Biyombo bermain di sebuah klub basket lokal. Mereka hanya berani membayar Biyombo dkk. dengan harga AS$600. Namun, lantaran membutuhkan biaya, Biyombo mau tidak mau harus ikut bermain di turnamen antarpemuda supaya bertahan hidup.
Hidupnya saat itu masih saja sulit. Ia bahkan masih terlalu muda untuk melakukan sebuah perjalanan jauh dan melakukan pekerjaan itu. Biyombo muda sampai harus menghemat makanan dan bisa tidur berjam-jam hanya untuk menjaga energinya supaya bisa bermain basket. Dalam turnamen antarpemuda itu, di sanalah cerita hebatnya dimulai.
Atas aksi-aksinya dalam turnamen itu, seorang pelatih asal Portugal bernama Mario Palma terpukau. Sebuah pertemuan penting itulah yang membuat Biyombo diboyong ke Spanyol. Di sana ia bergabung dengan klub Fuenlabrada-Getafe pada 2009-2010. Ia baru pindah ke CB Illescas di musim berikutnya, dan bermain di Baloncesto Fuenlabrada pada 2011. Kemudian pada suatu kesempatan melawan tim nasional Spanyol, pencari bakat NBA melihat potensi besar dalam dirinya. Mereka tertarik membawa Biyombo ke Amerika Serikat.
Lonjakan besar pada karirnya terjadi ketika Biyombo bermain di Hoops Summit 2011 di Portland, Oregon, Amerika Serikat. Ajang itu menjadi tempat berkumpulnya anak-anak SMA dari Amerika Serikat melawan pemuda internasional. General Manager (GM) NBA dan pencari bakat datang menonton dan mengamati mereka. Biyombo, yang datang dari Spanyol, kembali memukau para pencari bakat ketika itu. Tidak berapa lama, masih di tahun yang sama, ia berhasil masuk NBA Draft.
Sacramento Kings memilihnya di urutan ketujuh dalam bursa pilih NBA Draft 2011. Akan tetapi, mereka langsung mengirimnya ke Charlotte Bobcats (sekarang Charlotte Hornets). Sebelum resmi bergabung, Charlotte saat itu harus membayar AS$525 ribu demi melepaskan Biyombo dari klub asalnya di Spanyol. Proses pembebasan itu membuat Biyombo absen di turnamen pra musim. Setelah selesai, ia langsung bisa bermain bersama Charlotte dengan penghasilan sekitar AS$2,7 juta di tahun pertamanya. Dengan penghasilnya itu, ia tidak perlu pusing lagi untuk membeli sepasang sepatu.
Empat musim, Biyombo bermain selama empat musim sampai orang-orang mulai meragukannya. Permainannya di Charlotte tidak cukup menjawab ekspektasi. Pada 2015, tim tidak memperpanjang kontraknya dan menjadikannya free agent. Akibatnya, Biyombo khawatir karirnya meredup di sini, tetapi akhirnya Toronto Raptors tertarik menggunakan jasa center-forward muda. Maka bergabunglah ia dengan klub asal Kanada itu.
Bersama Raptors, Biyombo bermain cukup bagus dan sukses menembus Playoff 2016. Sayang, timnya harus kalah 4-2 melawan sang juara Cleveland Cavaliers di final wilayah Timur. Akan tetapi, bagaimana pun, musim itu menjadi pengalaman berharga bagi Biyombo. Apalagi di bawah kepemimpinan manajer Masai Ujiri dan Kepala Pelatih Dwane Casey, ia telah banyak berkembang. Statistik menunjukkan, Biyombo membukukan rata-rata 5,5 poin, 8 rebound, dan 1,6 blok selama satu musim itu.
Rayuan Orlando Magic
Cleveland Cavaliers benar-benar sulit ditaklukkan. Bismack Biyombo dkk. hampir tak berdaya di hadapan mereka. Kekalahan di Playoff 2016 menjadi penutup karir Biyombo di tim itu. Ia lagi-lagi berurusan dengan status free agent setelah musim 2015-2016 usai. Akan tetapi, kali ini ia tidak perlu khawatir seperti sebelumnya. Orlando Magic mengaku tertarik kepadanya. Mereka ingin Biyombo berada di tim ini.
Biyombo kemudian melakukan pertemuan dengan manajemen Magic. Guard Elfrid Payton dan forward Aaron Gordon turut hadir dalam pertemuan itu. Mereka diminta untuk membujuk dan meyakinkan Biyombo supaya mau berlabuh di Orlando.
Payton dan Gordon saat itu datang bersama GM Rob Hennigan, Asisten GM Scott Perry, dan kepala pelatih anyar Frank Vogel demi seorang Biyombo. Mereka berusaha keras menjelaskan apa yang ingin mereka coba lakukan musim depan. Payton bahkan sampai harus mengutarakan harapannya kepada Biyombo, dan ingin ia ada di sana bersamanya.
“Itu (pengalaman membujuk Biyombo) keren,” ujar Payton kepada Orlando Sentinel. “Itu sebuah pengalaman, memintaku untuk bersama mereka (para petinggi klub) adalah pertanda rasa hormat. Aku berterima kasih untuk itu.”
Setelah penjelasan itu, Biyombo merasa tertarik berlabuh di Orlando. Ia mengaku kagum kepada usaha para penggawa Magic membujuknya untuk bergabung. Ia menilai tim ini memiliki hasrat untuk memenangkan pertandingan. Belum lagi dengan komposisi tim yang terbangun atas karakter gabungan antara pemain muda dan veteran. Biyombo sepakat untuk meneken kontrak dua tahun bersama tim ini.
“Apa yang akan saya bawa adalah sikap kepemimpinan,” jelas Biyombo tentang keputusannya seperti dilansir The Undefeated. “Saya ingin masuk sebagai sesuatu yang berbeda dan membawa kesungguhan untuk menang. Saya berharap membawa budaya di mana kami bersaing setiap malam.”
Kembali ke Kongo
NBA musim 2016 memang telah lama selesai. Namun, hingar-bingar perpindahan pemain masih terus berlanjut di tahun itu. Mike Conley mengalami lonjakan gaji besar-besaran, Kevin Durant berusaha membangun dinasti Splash Family dengan bergabung ke Golden State Warriors, Tim Duncan pensiun, Kevin Garnett gantung sepatu, dan cerita lain yang tidak kalah serunya. Sementara itu, setelah melabuhkan hatinya kepada Orlando Magic, Bismack Biyombo memutuskan kembali ke kampung halaman.
Pulang ke kota tambang, Lubumbashi, Biyombo menggelar sebuah program pengembangan. Ia mengajarkan apa yang telah ia pelajari selama ini, mulai dari basket sebagai fondasinya sampai keterampilan hidup kepada anak-anak Kongo. Nantinya ia tidak hanya mengajar di kotanya sendiri, tetapi juga di Kinshasa dan Goma, dua kota lain di Kongo.
Belum cukup sampai di situ, Biyombo rupanya juga memberikan beasiswa ke sekolah-sekolah. Ia berencana mengunjungi sekolah-sekolah itu satu per satu sekaligus merayakan lapangan baru di Goma. Dua lapangan lagi rencananya akan dibangun musim panas nanti. Sudah kebiasaannya saat jeda antarmusim untuk pulang ke negaranya dan membangun sesuatu demi kehidupan yang layak.
Mengenai hal itu, Biyombo mengaku, di Amerika Serikat ia memang pemain basket. Akan tetapi, jika sudah di rumah ia ingin lebih dari sekadar pemain. Ia ingin jadi manusia yang berguna untuk orang lain.
Pada akhirnya, dari jumlah penduduk Kongo sebanyak itu, satu orang telah menjadi seorang agen perubahan. Melalui basket yang ia cintai, Biyombo berusaha membangun negaranya sendiri dengan caranya sendiri. Ia mengorbankan waktunya untuk pulang, hanya untuk mencari tahu permasalahan di sekitarnya, dan berusaha memecahkannya.
Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit. Seorang pemuda 16 tahun—yang sempat dipenjara itu—rupanya telah tumbuh menjadi seorang dewasa yang dermawan. Ia sudah cukup besar dan kuat untuk membantu menjauhkan saudara-saudaranya dari kemiskinan. Ini bukan akhir kisah, tapi awal dari cerita di halaman baru. Mari doakan supaya Biyombo berhasil menulis kisah baik lainnya.
Foto: Orlando Magic Daily