“Seorang pria menjelajahi seluruh dunia untuk mencari apa yang dia butuhkan dan kembali ke rumah untuk menemukan itu.”
Adalah George Augustus Moore, seorang penulis berkebangsaan Irlandia, yang menulis kalimat di atas. Ia mengatakan bahwa beberapa orang kenyataannya rela meninggalkan rumah untuk mencari apa yang ia butuhkan. Tidak terkecuali saya.
Lima tahun terakhir ini saya memang sudah tidak sering di rumah. Seperti juga kebanyakan teman-teman yang merantau, saya meninggalkan rumah untuk memenuhi kebutuhan dalam hidup saya. Setidaknya ada tiga hal yang saya cari: relasi, ilmu, dan uang. Demi ketiga hal itu, pada akhirnya rumah adalah tempat yang ingin ditinggalkan ketika tumbuh, lalu pulang setelah melalui berbagai macam proses pendewasaan.
Suatu hari, masih dalam perantauan itu, saya menemukan sebuah kisah yang mirip dengan kutipan di muka. LeBron Raymone James adalah salah satu atlet bola basket yang sesuai gambaran kalimat tersebut. Megabintang NBA itu tumbuh di rumahnya sendiri, lalu pergi ketika merasa rumah itu sudah tidak cukup lagi baginya, dan kembali ketika ia mulai menua.
James lahir di Akron, Ohio, Amerika Serikat, pada 30 Desember 1984. Ia tumbuh melalui kesulitan-kesulitan dalam hidupnya. Apalagi ketika melahirkan, ibunya masih berusia 16 tahun. Tentu itu usia yang terlalu muda untuk menjadi seorang ibu. Belum lagi ia sendirian mengurus James dari apartemen ke apartemen. Kehidupan mereka tidak pernah stabil, sampai akhirnya ia menitipkan James ke sebuah keluarga.
Dari keluarga itu, James mengenal bola basket. Basket yang menjadikannya seseorang atau sesuatu. Bahkan para pandit telah mencium kehebatannya sejak ia masih remaja. Saat itu ia bermain untuk Fighting Irish, tim basket sekolah St. Vincent-St. Mary’s.
Setelah lulus, bukan tidak mungkin bagi James yang notabene bintang SMA untuk mengikuti NBA Draft 2003. Saat itu atlet SMA memang masih diperbolehkan langsung mengikuti draft setelah lulus. Dengan prediksi masa depan yang cerah, ia kemudian terpilih di urutan pertama oleh Cleveland Cavaliers, sebuah klub dari kampung halamannya sendiri.
Selama bermain dengan Cavaliers, ia tumbuh menjadi pemain bintang. Berbagai prestasi individu telah ia raih, termasuk MVP 2009 dan 2010. Akan tetapi, timnya sendiri belum pernah menjuarai NBA. Mereka sebatas kuda hitam yang hanya mampu melaju sampai ke Playoff.
Sampai akhirnya James merasa rumah sudah tidak cukup lagi bagi talentanya. Pada 2010 ia membuat sebuah keputusan tidak populer yang membuatnya dibenci banyak orang. Bahkan penggemarnya sampai membakar seragamnya sendiri karena kesal.
“Faktor utamanya adalah ini kesempatan terbaik saya untuk menang dan menang sekarang dan di masa mendatang. Utamanya bagi saya adalah membantu rekan-rekan setim menjadi lebih baik dan menang,” jelas James tentang keputusannya pindah ke Miami Heat seperti dilansir The Telegraph.
Ya, James pindah ke Heat untuk bergabung bersama Dwyane Wade dan Chrish Bosh. Kehadiran dua orang itu sangat mempengaruhi kepindahannya. Orang-orang kemudian menyebutnya dengan sebutan Big Three Miami. Akan tetapi, sialnya, ia tidak mampu juara di musim pertamanya. Ia gagal meraih gelar juara itu pada 2011. Saat itu Dallas Mavericks menjadi dalang kekalahan tim yang dihuni trio superstar tersebut.
Kejayaan Heat baru dimulai setelahnya. Usai kalah oleh Mavericks, James dkk. bangkit di musim berikutnya. Mereka menjuarai liga pada 2012 dan 2013 lengkap dengan gelar MVP di musim yang sama. Itu pun dengan catatan selalu masuk final sejak bergabungnya James ke tim itu. Kehadirannya tentu saja berdampak baik pada tim asuhan Erik Spoelstra.
Tahun 2014 menjadi tahun yang unik bagi James—atau boleh jadi bagi semua orang yang merayakan—karena ia memutuskan kembali ke Cleveland. Melalui tulisannya seperti diceritakan Lee Jenkins di Sports Illustrated, ia memutuskan untuk pulang. Baginya rumah adalah tempat yang paling berkesan dalam hidupnya, tempat kembali ketika ia mulai menua.
Begini kesan rumah itu bagi James, saya kutip dari Sports Illustrated:
Sebelum ada yang peduli di mana saya akan bermain bola basket, saya adalah anak dari Northeast Ohio. Di situlah saya berjalan. Di situlah saya berlari. Di situlah saya menangis. Di situlah saya berdarah. Ia memiliki tempat khusus di hati saya. Orang-orang di sana telah melihat saya tumbuh dewasa. Kadang saya merasa saya anak mereka. Hasrat mereka bisa sangat banyak. Tapi itu membuat saya tertegun. Saya ingin memberi mereka harapan saat saya bisa. Saya ingin menginspirasi mereka kapan pun saya bisa. Hubungan saya dengan Northeast Ohio lebih besar dari bola basket. Saya tidak menyadarinya empat tahun yang lalu. Saya sadar sekarang
Ingat saat saya duduk di Boys & Girls Club di tahun 2010? Saya berpikir, ini sangat sulit. Saya bisa merasakannya. Saya meninggalkan sesuatu yang telah lama saya kembangkan. Jika saya harus melakukannya lagi, saya pasti akan melakukan hal-hal yang berbeda, tapi saya masih akan pergi. Miami, bagi saya, hampir seperti perguruan tinggi untuk anak-anak lain. Empat tahun terakhir ini membantu mengangkat saya menjadi diri saya. Saya menjadi pemain yang lebih baik dan pria yang lebih baik. Saya belajar dari tim yang selama ini saya inginkan. Saya akan selalu menganggap Miami sebagai rumah kedua saya. Tanpa pengalaman yang saya lakukan di sana, saya tidak dapat melakukan apa yang saya lakukan hari ini.
Dari tulisan itu rasanya rumah bagi James lebih daripada sekadar tempat. Meminjam kalimat Pidi Baiq, Ohio (Cleveland Cavaliers) baginya tidak hanya masalah geografis, lebih dari itu melibatkan perasaan. Bagaimanapun ada keterikatan antara James dengan kotanya sendiri. Dengan rumah yang ia cintai sejak kecil.
Kepulangan James kemudian disambut dengan sukacita. Rasanya kebencian empat tahun silam menjadi bias bahkan hilang. Disadari atau tidak, ia telah menjadi harapan baru di Ohio. Ia adalah seorang pria yang menjelajahi dunia untuk mencari apa yang ia butuhkan, lalu kembali ke rumah untuk menemukannya. Sang putra daerah yang hilang kembali pulang.
Di musim pertamanya setelah kembali, James langsung menunjukkan kedigdayaannya. Ia kembali membawa timnya—kini Cavaliers—ke final NBA. Akan tetapi, lagi-lagi ada palang melintang. Golden State Warriors yang fenomenal itu berhasil menumbangkan Cavaliers dan menjadi juara musim 2015.
Setahun berselang, kedua tim besar itu bertemu kembali di final. Warriors masih dengan kehebatannya. Mereka sangat prestisius di musim reguler dengan rekor 73-9. Di final, lawan sudah unggul 3-1. Warriors hanya membutuhkan satu kali kemenangan lagi untuk jadi back-to-back champion. Akan tetapi, James dkk. memiliki magis tersendiri. Cavaliers berhasil mengejar ketinggalan itu sampai akhirnya memenangkan laga final 4-3. Padahal sebelumnya tidak ada satu pun tim yang bisa kembali dari kekalahan 3-1. Cincin juara musim 2016 layak melingkar di jari James.
Dengan raihan juara itu, James pada akhirnya kembali menjadi pahlawan kota. Ia telah membawa trofi bergengsi yang tidak pernah singgah ke Ohio selama 52 tahun dalam semua ajang olahraga. Bayangkan, 52 tahun tanpa gelar juara di ajang apapun! Dan ia telah menjadikan rumahnya sendiri kebahagiaan untuk “keluarga besarnya”. Mungkin ini akan menjadi momen terbaik dalam hidup seorang Raja (King James adalah sebutan untuk LeBron James).
Maka suatu hari, jika saya mulai menua, saya juga akan kembali ke rumah. Lima tahun bukan waktu yang sebentar, tapi juga tidak cukup lama untuk membentuk diri menjadi lebih baik lagi. Sementara ini, saya membutuhkan lebih banyak waktu untuk berproses. Suatu hari, akan ada saatnya pulang membawa dan membangun sesuatu. Seperti LeBron James.
Omong-omong, selamat ulang tahun, LeBron James!
Foto: Sports Illustrated