Timnas putri Indonesia mengalami peningkatan prestasi dalam beberapa tahun terakhir. Mulai dari raihan medali tiap SEA Games, emas pertama di SEA Games 2023, dan akhirnya promosi ke FIBA Women’s Asia Cup 2025 Divisi A. Kondisi itu diraih tanpa adanya liga reguler.
Manajer sekaligus Penanggung Jawab Timnas Putri Christopher Tanuwidjaja memberikan pandangannya terhadap pembinaan atlet putri tanah air. Menurutnya pembinaan juga harus disesuaikan dengan kondisi masing-masing negara.
Baca juga: FIBA Women's Asia Cup Divisi A, Kami Datang!
Dalam jumpa pers di Kantor PP Perbasi di GBK Arena, Jakarta pada Senin (21/8) itu, Itop melihat tidak ada yang salah dan benar antara liga profesional dan pemusatan latihan jangka panjang.
Masalah utama untuk negara-negara di kawasan Asia Tenggara adalah minimnya talenta. Itop mengakui dengan adanya liga akan membangkitkan minat untuk membangun lebih banyak pilihan talenta-talenta basket tanah air. Tapi hal itu masih belum bisa diterapkan di Indonesia.
“Untuk proses menuju kesana bukan cuma mengadakan liga profesional. Liga profesional diadakan dengan standar dan talenta yang kurang, itu tidak banyak membantu timnas,” imbuhnya.
Itop sudah berpengalaman dengan hal tersebut. Ia menyebut liga putri terbaik pernah diadakan pada 2012-2015 atau saat itu bernama WNBL. Kemudian Itop menilai salah satu performa timnas terbaik pada 2012.
Jika memaksakan diri dengan mengadakan liga profesional, hasilnya kurang maksimal. Persaingan tidak sehat karena adanya beberapa tim yang dominan dan membuat tim tidak termotivasi untuk bersaing lagi.
“Kondisi seperti itu tidak baik. Buktinya setiap gim pertama SEA Games, timnas hancur. Karena kaget bertemu asing yang sebelumnya berpikir sudah jadi yang terbaik,” kata mantan manajer CLS Knights Surabaya itu.
Baca juga: Setelah Promosi ke Divisi A, Timnas Putri Akan Menguji Kualitas di Asian Games
Liga putri profesional terakhir yaitu Srikandi Cup 2020 yang terpaksa berhenti karena pandemi. Setelah itu persiapan timnas putri menggunakan sistem pemusatan latihan jangka panjang. Juga mendatangkan pelatih-pelatih asing untuk membantu meningkatkan kualitas individu pemain.
“Jadi, jawabannya tidak ada benar atau salah. Ada liga bagus tapi tergantung liganya. Yang bagus itu memperbaiki liga juniornya dulu, pemainnya banyak, timnya banyak, dari situ terbentuk liga profesional,” ujar Itop.
Lain halnya dengan Amerika Serikat atau Cina. Mereka menggunakan liga profesional karena memang talenta di negara tersebut banyak. Sehingga tidak perlu pemusatan latihan jangka panjang.
“Jika itu semua solid, tidak perlu pemusatan latihan jangka panjang. Masalahnya kita belum bisa begitu karena talenta kita sedikit. Yang bermain memang banyak tapi yang bagus sedikit.” (rag)
Foto: FIBA, Yoga Prakasita